Mengenang
Sang Wali
Mohamad Sobary ; Esais;
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 23 Maret 2015
Menghidupkan
kembali kenangan tentang Gus Dur, sang wali, dengan rasa hormat, tapi
sesedikit mungkin keterlibatan emosi yang menggusur makna sejarah pribadinya
menjadi mitologi, merupakan sebuah tantangan.
Diskusi
tentang Gus Dur, tiap saat, tergelincir ke dalam pemitosan, dan kultus yang
“menyenangkan”, tapi mungkin sebetulnya merugikan yang dikenang maupun yang
mengenangnya. Orang-orang yang dekat Gus Dur, pribadi maupun kelompok,
termasuk para pemuja di kalangan etnis China, komunitas yang disebut Gus Durian,
maupun kelompok-kelompok kaum nahdliyin sendiri, yang selalu punya waktu dan
hati buat Gus Dur, sering merasa seolah tak cukup memandang Gus Dur sekadar
sebagai tokoh sejarah.
Bahkan
mungkin mereka diam-diam melupakannya untuk lebih menempatkan Gus Dur sebagai
tokoh mitologis, yang penuh makna, sarat dengan pujaan dan kultus. Kita tahu,
posisi kewaliannya sudah dikenal luas sejak masa hidupnya, dan menjadi
semakin kukuh sesudah, atau ketika, jutaan umat mengantarkannya ke tempat
peristirahatan terakhirnya, yang penuh kedamaian, di makam keluarga, di dalam
lingkungan pekarangan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Di
sana, dalam ketiadaannya, Gus Dur terasa makin “ada”, dan makin begitu dekat
di hati umat. Tangis “rohaniah” yang tak kunjung reda, dan keterlibatan makna
“ngalap berkah”, disertai tindakan pemujaan dalam bentuk memungut segenggam
tanah segar yang masih merah di gundukan pusaranya, untuk dibawa pulang,
apakah ini namanya bila bukan pemujaan yang terlewat hangat? Boleh jadi, Gus
Dur sendiri tak menyukainya karena dia paham sepaham-pahamnya bahwa tindakan
itu secara keagamaan, kebudayaan, maupun politik merugikan.
Tapi,
demi “ngemong” citarasa keagamaan umatnya, sikapnya yang longgar dan
akomodatif, niscaya tak bakal tega dia melarang mereka memunguti segenggam
demi segenggam tanah kuburannya. Dengan sikapnya yang serba- “semeleh",
kira-kira Gus Dur akan bergumam, seolah buat dirinya sendiri: ‘Lha wong cuma
ngambil tanah saja kok ndak boleh.
Memangnya
mereka harus ngambil apa lagi, selain tanah?’ Jika ada yang mengingatkannya
bahwa tindakan itu termasuk wujud kemusyrikan, Gus Dur pasti dengan santai
menjawab:“ Ya tergantung niatnya. Kalau niatnya menganggap segenggam tanah
kuburan saya itu sebagai sekadar suvenir, ya ndak apa-apa.”
Jika
ada argumen yang menyatakan bahwa di balik tindakan itu ada semangat kultus
atau pemujaan yang terlalu jauh dan tak dibenarkan agama, Gus Dur pasti punya
jawaban lain: “Kalau mereka hanya menyatakan cinta, dan penghormatan biasa
pada saya, seperti layaknya mereka menaruh rasa hormat dengan simbol berupa
‘mencium tangan kiai’, ya insya Allah ndak apaapa.
Tuhan
tahu, dan tak mudah terkecoh seperti kita.” Betapa enak Gus Dur memahami
berbagai kesalahpahaman yang menegangkan. Baginya, apa yang bersifat salah
paham, tak usah ditanggapi secara serius. Di dalam hidup ini ada
bertumpuk-tumpuk pemahaman yang benar, yang minta diberi saluran komunikasi
yang sehat, dan akomodatif, untuk membangun suatu tingkat pemahaman yang
lebih tinggi, agar kita tak terpancing terusmenerus oleh kesalahpamahan yang
tak kita perlukan.
Syukur
bila tingkat pemahaman yang lebih tinggi itu tak dibiarkan sekadar sebagai
bentuk kemajuan di dalam dunia gagasan dan pemikiran, melainkan diberi ruang
di wilayah kebijakan, untuk diwujudkan menjadi sebuah “amal ilmiah” dan “ilmu
yang amaliah”. Melalui tindakan-tindakan seperti itu, perlahan-lahan kita
memberi makna lebih kontekstual, lebih membumi, apa yang kita sadari bahwa
Islam membawa rahmat bagi semesta alam.
Kenangan
ini dikembangkan lebih lanjut dari kesadaran filosofis Gus Dur atas suatu
teori. Sering Gus Dur bilang, suatu teori, betapapun baiknya, jika tak bisa
dipraktikkan, teori yang baik tadi boleh jadi tak ada gunanya. Di sini
tampak, Gus Dur menghormati setinggitingginya teori, tapi juga menuntut
kemudahannya untuk diterapkan dalam hidup. Ini memiliki banyak implikasi di
dalam cara dan sikapnya memandang hidup. Gus Dur tak pernah bersikap
hitam-putih.
Dunianya bertakiktakik, kompleks, dan
memiliki banyak ruang tak terduga dan tak terselami oleh kita seperti sebuah
gua yang besar, banyak ruang-ruang gelap di dalamnya, dan juga banyak
keteduhan yang bisa dinikmati oleh para pencari kebenaran, dan para “salik”,
yang sudah berjalandijalan-Nya, tapi selalu bertanya lebih dalam: aku bukan
mencari jalan, melainkan mencari Tuhan.
Para
pencari “hakikat” Tuhan, yang selalu haus, yang “rindu rasa”, “rindu rupa”,
seperti Amir Hamzah, tak mungkin bisa dipuaskan sekadar oleh ditemukannya
jalan. Bagi mereka—termasuk pula bagi penyair Sutardji Calsoum Bahri—yang
“emoh” menerima jalan karena jalan bukan Tuhan.
Urusan
halal-haram itu dihormati sepenuh hati dan menjadi bagian dari orientasi
nilai utama dalam hidup. Tapi, Gus Dur jarang menghukum orang dengan haram,
sesat, musyrik, dan sejenisnya. Pun tidak mengumbar pujaan bahwa seseorang
telah “lurus”, “benar”, tanpa unsur “sesat”, dan sejenisnya. Kesadaran
teologis dan makna kebenaran pada umat berbeda antara satu bagian dengan
bagian yang lain, antara yang terpelajar dan kaum awam. Baginya, kedua-duanya
bagian dari keumatan yang dihimpun baikbaik, dan dicintai, seperti dia
mencintai keluarganya sendiri.
Pada
tahap ini kenangan kita tentang sang wali, mengarahkan kesadaran kita bahwa
Gus Dur bukan sekadar milik keluarga. Gus Dur sudah menjadi dunia nilai, tapi
Gus Dur pun ibaratnya sudah menjadi representasi suatu institusi. Maka sekali
lagi, dia bukan hanya milik keluarga, melainkan milik umum, milik dunia
nilai, milik kesadaran yang lebih luas. Keluarga Gus Dur itu umat manusia,
dan segenap nilai kemanusiaan, yang diperjuangkannya selama masa hidupnya,
yang begitu produktif, berani, berisiko, tapi tak pernah dirisaukannya.
Dia
tahu tiap perjuangan mengandung risiko. Tidur-tiduran, bermalasmalasan tanpa
mengerjakan sesuatu pun ada risikonya. Apalagi berjuang, dengan semangat
melawan arus deras kehidupan yang tak pernah terlalu ramah. Gus Dur memang
sudah tak ada lagi di tengah kita. Tapi, dalam kesadaran banyak pihak,
ketiadaannya itu sebetulnya ada.
Dia
ada, dan selalu akan ada, tiap saat kita mengalami masalahmasalah yang dulu
diurus dengan berani oleh Gus Dur, tapi sekarang tak diurus oleh siapa pun. Di
sini kenangan kita menjadisebuahkerinduan. Kitarindu seorang wali, yang
mewakili dunia nilai dan moralitas, yang sekarang sudah, maaf, mampus.
Kita
pun rindu seorang pemimpin, yang berani bertindak demi kebenaran, dan tak
takut. Sekali lagi, Gus Dur sudah tak ada, tapi sebetulnya dia ada. Dia tetap
hidup dalam kenangan umat, yang bukan hanya umat NU, bukan hanya umat Islam,
tapi jauh di luar batas-batas itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar