Perpanjangan
MoU RI-Freeport :
Mencari
Titik Ekuilibrium
Ichsan Montang ; Mahasiswa
Commercial & Company Law,
Erasmus University Rotterdam
|
DETIKNEWS,
25 Maret 2015
Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Kutipan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas
ramai diperbincangkan orang mengingat pada akhir Januari 2015 pemerintah
Indonesia memutuskan untuk memperpanjang negosiasi kontrak karya dengan
Freeport untuk jangka waktu enam bulan ke depan.
Permasalahan utama antara pemerintah dan
Freeport terletak pada pengimplementasian Pasal 170 juncto Pasal 103 (1) UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) di
mana setiap pemegang kontrak karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU
Minerba diundangkan, yaitu 12 Januari 2014.
Pengolahan dan pemurnian hasil tambang
dilakukan melalui suatu pabrik smelter. Untuk membangun pabrik smelter
tidaklah mudah, selain membutuhkan investasi sangat tinggi sebuah smelter
wajib memiliki sarana dan prasarana memadai seperti ketersediaan listrik,
bahan baku, dan lahan luas.
Pemerintah secara tersirat memahami bahwa
terdapat permasalahan dalam pembangunan smelter dengan menerbitkan Peraturan
Menteri ESDM No.1 tahun 2014 (“Permen 1/2014”). Berdasarkan peraturan ini,
tidak semua perusahaan pertambangan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
di Indonesia. Pemerintah membatasi bahwa hanya perusahaan tambang dengan
bahan tambang kadar tertentu, yang wajib melakukan pengolahan hasil tambang
di Indonesia. Hal ini merupakan suatu kemunduran dari semangat UU Minerba,
yang sebelumnya mewajibkan seluruh pemegang izin usaha pertambangan dan
kontrak karya melakukan pengolahan dan pemurnian bahan tambang di Indonesia.
Berdasarkan Permen 1/2014, Freeport diwajibkan
untuk melakukan pengolahan dan pemurnian bahan tambang di Indonesia. Freeport
menyatakan bahwa sampai dengan 12 Januari 2014 mereka belum sanggup untuk
membangun smelter akan tetapi berjanji untuk terus mengupayakan pembangunan.
Setelah negosiasi alot maka pemerintah dan Freeport membuat nota
kesepahaman/MoU untuk memberikan Freeport izin ekspor mineral mentah dalam
jangka waktu Juli 2014-Januari 2015 dengan syarat Freeport wajib membangun
pabrik smelter di Indonesia.
Menjelang berakhirnya periode MoU pada akhir
Januari, Freeport belum membangun smelter tetapi telah bernegosiasi dengan PT
Petrokimia Gresik untuk menyewa lahan di Gresik guna dijadikan smelter.
Permasalahan pun muncul ketika pemerintah dan DPR bersikeras agar Freeport
membangun smelter di Papua.
Lalu apakah perpanjangan MoU ini sudah tepat?
Secara hukum tidak tepat, karena Freeport tidak mematuhi peraturan
pertambangan yang berlaku dengan belum membangun smelter. Akan tetapi,
tindakan pemerintah dapat dibenarkan karena apabila MoU tidak diperpanjang
maka izin ekspor Freeport pun akan dicabut, akibatnya Freeport akan
mengurangi jumlah produksi dan dampak luasnya adalah kemungkinan adanya
pemutusan hubungan kerja dengan karyawan yang mayoritas berkewarganegaraan
Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia mencoba berupaya untuk
tetap menyelamatkan nasib pekerja Indonesia di Freeport.
Penulis berpendapat bahwa untuk menciptakan
win-win solution antara pemerintah dan Freeport, maka dapat ditempuh
langkah-langkah berikut:
Pertama, pemerintah memberikan klausul tegas
dalam perpanjangan MoU bahwa Freeport wajib melakukan tindakan konkrit
pembangunan smelter, seperti: pembayaran uang sewa lahan, pembelian bahan
baku pembangunan smelter dan memberikan uang jaminan pembangunan smelter.
Apabila tidak ada langkah konkrit dalam jangka waktu MoU, maka izin ekspor
Freeport akan dicabut.
Kedua, pemerintah membebaskan Freeport untuk
membangun smelter di mana pun asalkan tetap di wilayah Indonesia mengingat
tidak ada dasar hukum yang mewajibkan Freeport untuk membangun pabrik smelter
di Papua. Lokasi pembangunan smelter murni semata-mata keputusan bisnis Freeport.
Ketiga, apabila pemerintah tetap menuntut
pembangunan smelter di Papua, maka pemerintah wajib membantu Freeport dalam
pembangunan smelter, seperti dengan cara menjamin bahwa biaya sewa lahan
untuk smelter di Papua setidaknya sama dengan uang sewa yang ditawarkan oleh
PT Petrokimia Gresik, memudahkan perizinan terkait pembangunan smelter, serta
menjamin ketersediaan listrik dan air selama masa pembangunan smelter dan
selama smelter beroperasi di Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar