Lee
Rhenald Kasali
; Pendiri Rumah
Perubahan
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2015
”Bahkan dari ranjang
saya, ketika Anda ingin memasukkan jasad ini ke liang lahad, tetapi saya
merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Singapura, saya akan bangun.
Mereka yang percaya bahwa setelah saya meninggalkan pemerintahan,
meninggalkan posisi saya sebagai Perdana Menteri, saya akan pensiun secara
permanen, harus benar-benar memeriksakan kepalanya.”
Anda pasti tahu siapa yang mengucapkan kalimat
itu. Dia adalah Lee Kuan Yew. Kalimat itu ia ucapkan pada 1988, dua tahun
sebelum Lee mengundurkan diri dari posisinya sebagai Perdana Menteri
Singapura dan menyerahkan ke Goh Chok Tong. Lalu Goh Chok Tong yang orang
bilang sebagai perdana menteri transisi, kemudian menyerahkan posisinya
kepada anak sulung Lee, Lee Hsien Loong atau BG Lee. Senin dini hari, 23
Maret 2015, Lee meninggal dunia pada usia 91 tahun setelah sekian lama
dirawat akibat menderita menyakit pneumonia. Singapura, juga kita, ikut
berduka.
Kendali Penuh
Lee adalah Singapura. Singapura adalah Lee.
Dunia mengakuinya. Lee mampu membawa Singapura, sebuah negara kecil menjadi
negara yang bukan saja penting dalam kancah perdagangan dunia, tetapi juga
sangat strategis. Pelabuhan Singapura, menurut World Shipping Council, saat ini menjadi pelabuhan tersibuk ke-2
di dunia dilihat dari volume kargonya.
Kemudian saat ini sekitar 50% perdagangan
minyak mentah dunia harus lewat Pelabuhan Singapura dan ”memaksa”
perusahaan-perusahaan minyak dunia membuka kantor perwakilan di sana.
Singapura saat ini menjadi pusat pertukaran mata uang asing terbesar ke-4 di
dunia setelah London, New York, dan Tokyo.
Badan-badan ekonomi dunia menilai Singapura,
termasuk dalam peringkat 10 negara yang perekonomiannya paling terbuka,
paling kompetitif, dan paling inovatif di dunia. Ribuan ekspatriat
bekerja di sana. Untuk bersaing merebut pasar Asia, hampir semua perusahaan
multinasional membuka perwakilan di Singapura. Menurut
catatan majalah bisnis Fortune, ada 425 perusahaan Amerika beroperasi di
sana.
General Electric, salah satu yang
terbesar, bahkan punya tujuh pabrik perakitan di Singapura. Hadirnya
perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, selain membuka ribuan
lapangan kerja, juga menciptakan proteksi alamiah. Banyak negara di luar sana
berkepentingan melindungi Singapura dari berbagai ancaman yang bisa
mengguncang roda perekonomian negeri itu.
Perusahaan-perusahaan itu juga membayar pajak
dalam jumlah tidak sedikit. Kombinasi semua faktor itu yang membuat Singapura
menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Produk domestik bruto (PDB) per
kapita Singapura sampai tahun lalu menempati peringkat ke-3 teratas, setelah
Qatar dan Luksemburg.
Bagaimana Lee bisa membuat the little red dot menjadi negara
seperti itu? Padahal Singapura sama sekali tak memiliki sumber daya alam,
seperti minyak atau mineral. Dulu sebagian wilayah Singapura bahkan berupa
rawa-rawa. Satusatunya anugerah yang dimiliki Singapura hanya pelabuhan.
Kuncinya, menurut saya, adalah kendali. Lee mengontrol semua yang ada di
Singapura.
Birokrasi, BUMN, perusahaan swasta, bahkan
rumah tangga dan perilaku setiap warga negaranya. Lee mengelola negara
seperti dia mengurus perusahaan. Sebagai Perdana Menteri, Lee adalah Chairman
sekaligus CEO Singapore Inc. Fortune menyebut Lee sebagai Autocratic Chief Executive dari Singapore
Inc.
Di dalam korporasi, Anda tahu tak ada
demokrasi. Anda boleh bersuara dan menyampaikan pendapat, tetapi keputusan
sepenuhnya ada di tangan CEO. Sebagai CEO Singapura, Lee sangat peduli dengan
imbal hasil investasi (rate of return)
dari setiap penanam modal, baik yang dilakukan investor maupun negara.
Filosofi ekonomi Lee sangat sederhana. ”We do not expect something for nothing,” begitu
katanya. Lee juga mengendalikan penuh upah buruh. Semua itu ia lakukan untuk
membuat produk-produk Singapura kompetitif di pasar internasional. Sama
sekali tak ada toleransi untuk aksi-aksi yang berpotensi mengganggu
perekonomian negara itu. Meski begitu, Lee tak pelit memberi subsidi.
Buruh-buruh berpenghasilan rendah hanya menghabiskan
13% dari gajinya untuk membayar sewa apartemen. Bahkan, sebagian dari mereka
berani mencicil apartemen. Sebagai kepala rumah tangga Singapura, ia bahkan
merasa berkepentingan mengendalikan perilaku setiap orang yang ada di
dalamnya. Lee melarang anak-anak muda Singapura berambut gondrong. Ia menilai
itu sebagai simbol perlawanan ala budaya barat dan menganggapnya bisa merusak
etos kerja.
Lee mengakui kebijakannya itu. Katanya, ”Saya sering dituduh mencampuri kehidupan
pribadi masyarakat. Iya, saya akui. Saya mengatur cara mereka bersuara,
bagaimana mereka meludah, atau bahasa yang mereka pakai. Saya memutuskan apa
yang saya anggap benar. Saya lakukan itu tanpa penyesalan.” Lee membela
kebijakannya itu dengan mengatakan, ”Jika
saya tidak melakukan itu, kita tak akan berada di sini pada hari ini. Ekonomi
kita tidak akan maju.” Sampai saat ini mungkin Lee benar.
Beberapa Tanya
Singapura adalah Lee. Lee adalah Singapura.
Kini pemegang penuh kendali atas Singapura itu telah tiada. Sebagian orang
mulai bertanya-tanya, seperti apa masa depan Singapura tanpa Lee. Dalam
kolomnya di harian terbitan Malaysia, Tan Wah Piow menulis, ”With his dead,
the truth about the man will emerge.” Tan, kini pengacara, adalah mantan
tokoh mahasiswa yang pada 1976 diasingkan ke London.
Pada 1987, Pemerintah Singapura menuduh Tan
sebagai dalang gerakan Marxist
Conspiracy. Lee juga memiliki banyak lawan politik. Dulu ia tak
segansegan memenjarakan penentangnya tanpa prosedur hukum. Memang politik
bukan menjadi isu penting di negara itu. Saya pernah beberapa kali bertemu
anak-anak muda Singapura. Mereka berujar dengan mimik wajah jijik, ”Politics is rubbish.” Tapi, itu dulu ketika Lee masih sangat powerful meski sudah bukan PM.
Kritik juga terarah pada keluarga Lee yang
mengendalikan penuh bisnis-bisnis BUMN-nya. Menantu Lee, Ho Ching yang juga
istri PM Singapura saat ini, Lee Hsien Loong alias BG Lee adalah CEO dan
Direktur Eksekutif Temasek. Anda tahu, Temasek adalah holding company dari semua BUMN Singapura.
Tapi bedanya, di Singapura mereka perform, negaranya maju, kendati semua
individu tak bisa hidup seenak hati seperti di sini. Semua orang dilarang
bicara sembarangan, demo sesuka hati, atau hidup bermalas-malasan. Semuanya
produktif.
Selamat jalan Lee.
Semoga Singapura baik-baik saja sehingga Anda tak perlu bangkit dari kubur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar