Mengulang
Skenario Kudatuli PDI pada Golkar dan PPP
Bambang Soesatyo; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 23 Maret 2015
Politik
pecah belah seperti yang dialami Partai Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) saat ini tak bisa dilepaskan dari kehendak dan ambisi
penguasa. Apa yang dialami Partai Golkar seperti mengulang skenario memecah
belah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) oleh Orde Baru, yang ditandai dengan
adu domba kubu Soerjadi dukungan penguasa melawan Megawati Soekarnoputri
untuk memperebutkan kepemimpinan PDI pada 1996.
Ada
yang ingin melampiaskan dendamnya pada Partai Golkar? Skenario adu domba itu
ingin diulang saat ini dengan menunggangi konflik internal Partai Golkar.
Melalui wewenang dan kekuasaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly,
kekuatan-kekuatan politik pendukung pemerintah mendorong dan menempatkan
Partai Golkar pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) hasil Musyawarah Nasional
(Munas) Bali berhadap-hadapan frontal dengan kubu Partai Golkar pimpinan
Agung Laksono (AL) hasil Munas Ancol.
Seperti
copy paste dari skenario Mega vs Soerjadi oleh Orde Baru pada ARB vs AL oleh
penguasa sekarang. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada konflik
berkepanjangan ditubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menkumham Laoly
terangterangan mengadu domba DPP PPP pimpinan Djan Faridz hasil Muktamar
Jakarta, melawan DPP PPP pimpinan M Romahurmuziy (Romi) hasil Muktamar Surabaya.
Skenario
Mega vs Soerjadi berujung pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996 yang dikenal
dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Saat itu kader PDI
loyalis Mega menduduki dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dan
menggelar mimbar bebas. Para orator pro-Mega memanfaatkan mimbar bebas itu
untuk mengkritik dan mengecam Orde Baru. Sabtu subuh 27 Juli 1996, Kantor DPP
PDI itu diserang sekelompok orang.
Serangan
mematikan itu menewaskan banyak kader PDI loyalis Mega. Komnas HAM mencatat
lima pendukung Mega tewas, 149 orang terluka dan 136 lainnya ditahan. Namun,
para saksi mata yakin jumlah yang tewas mencapai puluhan orang, 300 lainnya
luka parah. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa yang harus bertanggung
jawab atas peristiwa berdarah Kudatuli itu.
Namun,
tragedi Kudatuli itu menjadi cikal bakal lahirnya Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Beberapa bulan lalu nyaris terjadi peristiwa berdarah di
lokasi yang sama ketika para simpatisan PPP loyalis Suryadharma Ali
(SDA)-Djan Faridz merangsek masuk dan coba menguasai Kantor DPP PPP di Jalan
Diponegoro. Aksi serupa dibalas lagi oleh kubu Romi pada 3 Desember 2014.
Dua
kubu akhirnya sepakat untuk bersama-sama mengamankan kantor DPP itu. Juga
karena kepemimpinan yang terbelah, DPP Partai Golkar pimpinan ARB pun untuk
sementara mengalah dengan tidak berkantor di DPP Partai Golkar di Slipi.
Dengan ancaman kekerasan, Kantor DPP Partai Golkar diduduki secara paksa oleh
AL dkk. Kubu ARB mengalah karena tidak ingin menempuh kekerasan guna
menghindari jatuh korban. Tetapi, sudah jelas bahwa persoalan Partai Golkar
belum tuntas.
Dengan
memaksakan kemenangan Golkar Munas Ancol, yang ditandai pengesahan
kepengurusan DPP Partai Golkar dengan Ketua Umum AL, persoalan justru tambah
rumit. Manuver politik Menkumham Laoly ini sangat berisiko karena
mengeskalasi masalah. Alasan utamanya, masih ada proses hukum yang juga
seharusnya diakui dan dihormati oleh Menkumham.
Pengesahan
DPP Partai Golkar Hasil Munas Ancol yang dipaksakan itu bahkan cacat hukum
karena hanya berlandaskan keputusan Mahkamah Partai yang telah dimanipulasi
oleh Menkumham sendiri. Menkumham terang-terangan mengabaikan fakta hukum dan
mendahului keputusan pengadilan.
Padahal,
mengacu pada sejumlah fakta, utamanya fakta tentang pemalsuan surat mandat
DPD I-II Partai Golkar, Munas Ancol itu nyata-nyata ilegal sebab sarat dengan
tindak pidana pemalsuan. Aksi pemalsuan itu sudah ditelanjang di ruang
publik. Kasus tindak pemalsuan surat mandat DPD I dan II Partai Golkar
sebagai syarat penyelenggaraan Munas Ancol itu sudah dilaporkan ke Polri dan
sedang didalami Bareskrim Mabes Polri.
Antisipasi Ekses
Pengesahan
itu pun menjadikan DPP Partai Golkar abnormal karena tidak dilengkapi dokumen
dan sejumlah persyaratan yang mutlak diperlukan. Dokumen yang belum
dilengkapi kubu Ancol meliputi bukti mandat asli DPD I-II Partai Golkar,
notulen rapat, absensi, hasil sidang komisikomisi, serta pemandangan umum DPD
I -II Partai Golkar di sidang paripurna Munas Ancol.
Selain
itu, dokumen pengesahan kepengurusan berupa akta notaris juga patut
diragukan. Logikanya, tidak ada notaris yang berani mengesahkan hasil Munas
Ancol karena sarat dokumen palsu sebab ada sanksi pidana bagi notaris yang
membuat pengesahan berdasarkan dokumen palsu. Karena itu, Yusril Ihza
Mahendra dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum DPP Partai Golkar hasil Munas
Bali sudah mengambil ancang-ancang.
“Kami sedang berupaya
mendapatkan konfirmasi dari Kemenhumkam atas ditandatanganinya SK (surat
keputusan pengesahan) itu. Alangkah baiknya jika kami mendapatkan copy
atausalinanSKituagarkami segera mengambil langkah hukum. Jangan akal-akalan,”
ucap Yusril. Bagi Yusril, langkah hukumlah yang harus diambil karena SK
Menkumham adalah sebuah keputusan hukum.
Demi
menegakkan hukum dan konstitusi, rakyat akan melihat yang mana yang lebih
kuat di negara ini, hukum atau kekuasaan. “Mari kita sama-sama menyaksikannya
dalam suatu pertarungan hukum yang fair, adil, dan tidak memihak. Sejarah
akan mencatatnya,” kata Yusril. Kerumitan akan menjadijadi karena kubu ARB
tidak akan diam. Kubu ARB berencana melaporkan Menkumham Laoly ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung dengan sangkaan melanggar
Pasal 23 UU 31/1999 tentang Tipikor junctoPasal 421 KUH Pidana.
Itulah
rangkaian masalah yang ditumpuk-tumpuk Laoly akibat caranya menyikapi konflik
internal Partai Golkar. Perlawanan Partai Golkar kubu ARB tentu akan diikuti
PPP kubu Djan Faridz. Para elit dua partai yang merasa terzalimi diyakini
akan menempuh saluran hukum. Persoalannya, bagaimana akar rumput dua partai
menyikapi konflik para elitenya? Ini yang juga seharusnya dikalkulasi
penguasa saat ini, khususnya Menkumham Laoly.
Sebagai
pembantu Presiden, Menkumham jangan menutup mata, apalagi mengesampingkan
realitas politik itu. Menkumham yang bertindak atas nama Presiden dan
pemerintah harus bertanggung jawab jika keputusannya memihak kubu Ancol akan
menimbulkan konflik horizontal di akar rumput Partai Golkar seperti yang
pernah dialami Megawati ketika organisasi politiknya masih beridentitas PDI
(hasil Kongres Surabaya).
Skenario
Mega vs Soerjadi sebaiknya jangan di-copy paste pada ARB vs Agung untuk
konteks perpolitikan di era demokrasi sekarang ini. Jika pertikaian ARB vs
Agung dibiarkan berlarut-larut dan terjadi ekses seperti Kudatuli, akan
muncul anggapan bahwa ada pihak yang ingin melampiaskan dendam sejarah
politiknya pada Partai Golkar.
Saat
terjadi tragedi Kudatuli, Golkar yang masih berstatus ormas menjadi pendukung
utama dan mesin politik Orde Baru. Presiden Joko Widodo jelas tidak memiliki
dendam sejarah itu. Namun, jika ekses serupa Kudatuli terjadi, Presidenlah
yang akan menerima getahnya. Gerak maju reformasi politik akan terhenti.
Dinamika politik Indonesia akan mengalami kemunduran karena terbentuk
persepsi bahwa penguasa masih ingin mengontrol dan mengendalikan
partai-partai politik.
Langkah
paling konstruktif untuk mencegah ekses adalah kearifan penguasa untuk
mengedepankan sikap dan posisi yang independen. Harus muncul kemauan politik
dari semua unsur penguasa untuk keluar dari gelanggang pertikaian di tubuh
Partai Golkar maupun PPP. Pemerintah dan unsur kekuatan lain yang berada di
belakang pemerintah harus legawa, membiarkan pihakpihak yang bertikai mandiri
menyelesaikan persoalan internalnya, baik melalui proses islah maupun melalui
proses hukum.
Penyelesaian
pertikaian internal Partai Golkar masih akan menempuh proses dan perjalanan
panjang. Proses penyelesaian itu berpotensi menimbulkan instabilitas politik.
Semoga, potensi instabilitas itu juga dikalkulasi oleh Presiden Joko Widodo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar