Anak Muda di Tengah Pusaran Radikalisme
Masdar Hilmy
; Wakil
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
JAWA
POS, 27 Maret 2015
Keterlibatan kaum muda dalam pusaran ideologi radikalisme
dan terorisme keagamaan merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Selalu ada
sekelompok anak muda yang secara aktif terlibat dalam setiap peristiwa
kekerasan atau terorisme keagamaan, baik di tanah air maupun di belahan dunia
lain. Memperhatikan kenyataan itu, diperlukan sebuah kebijakan dan program
deradikalisasi yang secara spesifik menempatkan anak muda sebagai target
utama, bukan lagi kebijakan biasa yang berlaku umum.
Di Indonesia, sejumlah peristiwa radikalisme
dan terorisme selalu melibatkan anak muda. Sekalipun bukan dalam kapasitas
sebagai ideolog atau mentor spiritual, para pelaku aktif selalu didominasi
anak muda. Lihat saja nama-nama di balik serangkaian peristiwa terorisme
seperti bom Bali I dan II, bom Kuningan, bom di depan kedutaan Australia, bom
di masjid Polres Cirebon, bom di Gereja Injil Sepenuh Solo, hingga pelaku
penembakan polisi beberapa saat lalu. Semua peristiwa tersebut digerakkan dan
dilakukan anak-anak muda berusia 17–35 tahun.
Di Eropa, terjadi kecenderungan yang sama,
terutama setelah tragedi 11 September 2001. Jika para aktivis gerakan radikal
sebelum tragedi WTC didominasi ’’kaum tua’’ yang berpengalaman berperang di
daerah konflik seperti Afghanistan, para pelaku radikalisme belakangan ini
memperlihatkan semakin mudanya usia mereka. Hal itu mengindikasikan bahwa
kepenganutan ideologi radikalisme dan terorisme keagamaan di Eropa juga
cenderung bergerak semakin ’’muda’’ (Stepanova,
2007: 150).
Menurut data yang dirilis Europol, di antara
706 aktivis radikal yang ditangkap di Eropa pada 2006, lebih dari 2/3 (lebih
dari 470 orang) terdiri atas anak muda berusia 26–41 tahun. Di beberapa
negara di benua tersebut, terutama Inggris, terdapat sejumlah pelaku dengan
usia yang jauh lebih muda, yakni 17 dan 19 tahun. Hal itu mengindikasikan
bahwa ideologi radikalisme memiliki daya pesona yang cukup kuat bagi anak
muda, tidak hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga
di negara-negara maju.
Keterlibatan kaum muda di balik fenomena ISIS
bahkan lebih mencengangkan. Sebagaimana yang dapat kita saksikan melalui
media sosial seperti YouTube, terdapat anak-anak berusia 10 tahun ke bawah
yang menjadi pelaku kekerasan dan bom bunuh diri. Artinya, anak-anak telah
menjadi korban radikalisasi ideologi keagamaan oleh para orang tua yang
seharusnya menjadi penjaga ideologi bagi anak-anaknya.
Kepenganutan kaum muda terhadap ideologi
radikalisme merupakan isu yang harus dicermati di tengah bonus demografi yang
tengah berlangsung di negeri ini. Di antara total 250 juta penduduk pada
2015, sebanyak 66,5 persen (163 juta jiwa) adalah penduduk usia produktif
(15–65 tahun). Jika ledakan usia angkatan kerja produktif tidak dikelola
secara baik, bonus demografi dapat menjadi musibah daripada berkah. Pada
gilirannya, ledakan penduduk bisa menimbulkan berbagai bentuk patologi sosial
seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, ketimpangan sosial, dan
semacamnya. Dalam kondisi semacam ini, paham radikalisme keagamaan rawan
menjangkiti anak muda.
Pertanyaannya, mengapa anak muda? Bagi para
tokoh radikal, anak muda menjadi potential recruit yang mudah dibujuk
’’narasi tipis’’ ideologi radikalisme. Anak muda adalah segmen usia yang
rentan terhadap keterpaparan paham keagamaan radikal. Kebanyakan pakar
radikalisme dan terorisme (J.M. Venhaus, 1995: 21) menunjuk pada faktor
psikologis-sosial sebagai pemicu keterlibatan anak muda dalam fenomena
radikalisme seperti (1) krisis psikologis, (2) identifikasi sosial, (3)
pencarian status, dan (4) balas dendam terhadap ’’musuh’’.
Dalam rangka mengantisipasi semakin maraknya
keterlibatan anak muda dalam pusaran ideologi radikalisme, negara perlu
mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, mendesain materi dan metode
deradikalisasi yang relevan dengan karakteristik psikologis anak muda. Harus
diakui, program deradikalisasi di negeri ini kurang mengakomodasi metode
serta materi yang menggugah, inspiratif, dan relevan dengan kebutuhan
psikologis-intelektual anak muda. Sebab, target program deradikalisasi selama
ini adalah kelompok usia dewasa.
Kedua, perluasan jangkauan program
deradikalisasi ke wilayah-wilayah yang selama ini dianggap privat seperti
keluarga. Program deradikalisasi oleh BNPT selama ini hanya menyentuh
ormas-ormas keagamaan dewasa yang jumlahnya terbatas. Dalam konteks ini,
jumlah anak muda yang tidak terlibat dalam program deradikalisasi jauh lebih
banyak.
Ketiga, mengatasi dislokasi dan deprivasi
sosial anak-anak muda melalui program pelibatan sosial (social inclusion). Selama ini, proses kognitif dan psikologis
anak muda kurang terawasi dengan baik oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.
Mereka menjadi radikal karena komunikasi sosial mereka dengan orang-orang
terdekat terputus. Solusinya, anak muda harus sesering-seringnya diajak
berdialog dan berkomunikasi dengan orang dewasa.
Keempat, penanaman wawasan keagamaan yang
terintegrasi dengan wawasan kebangsaan. Harus diakui, wawasan keagamaan anak
muda selama ini lebih banyak terceraikan dari wawasan kebangsaan. Akibatnya,
wawasan keagamaan mereka menjadi kering, harfiah, dan antisosial. Dalam
kondisi semacam ini, pemahaman keagamaan bisa menimbulkan loyalitas yang
terbelah (split loyalty) di
kalangan anak muda. Loyalitas terhadap nilai-nilai keagamaan berkorelasi
negatif terhadap loyalitas kenegaraan dan kebangsaan.
Kelima, perlu penciptaan role model yang bisa
dijadikan rujukan dan panutan dalam kehidupan keagamaan anak-anak muda.
Namun, anak-anak muda kita mengalami krisis keteladanan di kalangan orang
dewasa karena kehidupan bangsa ini lebih banyak dijejali figur ’’pendosa’’
yang tidak patut dicontoh. Bagi anak muda kita, menemukan figur orang dewasa
yang patut dicontoh ibarat menemukan sebuah jarum di tengah onggokan jerami
kering. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar