Distribusi
Tertutup LPG Melon
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum PP
Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
|
KORAN
SINDO, 25 Maret 2015
Sejak
1968 masyarakat Indonesia mulai mengenal liquefied petroleum gas (LPG) dengan
brand Elpiji yang dikeluarkan oleh Pertamina. Awalnya LPG dipasarkan
perusahaan pelat merah itu untuk memanfaatkan produk samping dari hasil
pengolahan minyak di kilang, sekaligus sebagai bahan bakar alternatif yang
lebih bersih untuk memasak selain minyak tanah. Seiring berjalannya waktu,
LPG semakin disukai karena sifatnya yang lebih praktis dan bersih. Selain itu
jauh lebih cepat pemanasannya jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya.
Dengan
harga yang lebih tinggi dari minyak tanah, LPG merupakan bahan bakar yang
populer di kalangan masyarakat menengah ke atas. Sejak 2007 pemerintah
menggulirkan program Konversi Minyak Tanah ke LPG, dengan tujuan untuk
mengubah pengguna minyak tanah bersubsidi yang mayoritas merupakan kalangan
masyarakat ekonomi lemah menjadi pengguna LPG.
Dengan
mengubah penggunaan minyak tanah bersubsidi menjadi LPG bersubsidi,
pemerintah memperhitungkan akan mendapatkan penghematan dari sisi subsidi,
selain juga memberikan akses kepada masyarakat ekonomi lemah terhadap bahan
bakar yang lebih bersih. Hasil pemeriksaan BPK RI, kebijakan pemerintah ini
bisa menghemat hingga Rp16,2 triliun.
Agar
lebih bisa menjangkau daya beli masyarakat kelas bawah, LPG untuk rumah
tangga yang selama ini dikemas dalam kemasan 12kg dibuat dalam kemasan yang
lebih kecil yaitu 3kg. Dengan pemberian subsidi, harga jual dapat ditekan
lebih rendah dan masyarakat ekonomi lemah dapat memperolehnya dengan relatif
mudah.
Kini,
setelah delapan tahun program ini digulirkan, LPG subsidi 3 kg yang harusnya
diperuntukkan hanya oleh masyarakat kecil masih dijual bebas dengan harga
yang terpaut jauh lebih murah dari yang bobot 12kg.
Akibat
lemahnya pengawasan distribusi dan disparitas harga tersebut, migrasi
penggunaan LPG 12 kg ke LPG subsidi 3 kg menjadi meningkat tajam. LPG ”melon”
3 kg bisa dinikmati siapa saja, termasuk golongan kaya.
Dilema Subsidi
Pemberian
subsidi merupakan kelanjutan strategi pembangunan yang mencakup tiga aspek.
Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi (progrowth budget). Kedua, perluasan
kesempatan kerja (projob budget). Ketiga, mempercepat penanggulangan
kemiskinan (pro-poor budget). Subsidi merupakan kebijakan yang dinilai
efektif dalam meringankan beban rakyat.
Secara
umum, kebijakan subsidi mencakup dua jenis yaitu subsidi energi dan subsidi
nonenergi. Subsidi energi terdiri atas: (1) subsidi bahan bakar minyak (BBM),
(2) gas alam cair (LPG), dan (3) bahan bakar nabati (BBN). Sedangkan subsidi
nonenergi cakupannya lebih beragam yaitu terdiri atas: (1) subsidi pangan,
(2) subsidi pupuk, (3) subsidi benih, (4) subsidi untuk public service
obligation (PSO), (5) subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak
ditanggung pemerintah (DTP).
Subsidi
BBM adalah subsidi yang diberikan kepada masyarakat yang menggunakan premium,
minyak tanah, dan minyak solar. Subsidi LPG diberikan kepada masyarakat
pengguna kompor gas yang menggunakan LPG melon. Khusus subsidi LPG ini,
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan mendapat postur beban baru
sebesar 28 triliun.
Kini
budget itu harus naik jadi Rp35 triliun dalam APBN Perubahan 2015. Padahal di
sisi lain, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mem o t o n g drastis
anggaran subsidi energi dari Rp206,9 triliun menjadi Rp137,8 triliun dalam
APBN-P 2015. Penurunan drastis anggaran subsidi energi berasal dari anggaran
subsidi BBM, LPG, dan bahan bakar nabati (BBN) yang tercatat anjlok Rp211,3
triliun.
Dari
sebesar Rp276 triliun di RAPBN 2015 menjadi Rp64,7 triliun di APBN-P 2015.
Kondisi tersebut sebenarnya tidak baik untuk Indonesia. Saat ini di Jakarta
harga LPG 3 kg sebesar Rp16.000 per tabung atau sekitar Rp5.300 per kg.
Sementara harga LPG 12 kg mencapai Rp129.000 atau Rp10.750 per kg.
Terdapat
selisih harga yang tinggi di antara dua produk tersebut. Akibat tingginya
disparitas harga tersebut, tingkat konsumsi LPG 3 kg pun terus meningkat.
Pada 2014 konsumsi LPG melon mencapai 5,6 juta metrik ton. Jumlah ini
meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pada 2009 yang konsumsinya
hanya 1,76 metrik ton.
Konsumsi
LPG 12kg relatif tidak berubah di kisaran 900.000 sampai 1 juta metrik ton
per tahun. Bila migrasi LPG ini terus terjadi, subsidi yang seharusnya
diberikan masyarakat kelas bawah pengguna LPG 3 kg semakin melenceng dari
sasaran. Subsidi LPG melon bisa menjadi ”ancaman” bagi keuangan Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah berupaya membatasi melalui regulasi dan sistem
distribusi yang jelas.
Distribusi Tertutup
Mengatasi
dilema subsidi LPG melon tersebut, pemerintah sebaiknya mempersiapkan program
mekanisme distribusi tertutup. Tujuan dari penyaluran secara tertutup ini
adalah penyaluran LPG melon tepat sasaran kepada keluarga kurang mampu dan
usaha mikro.
Pemerintah
sebaiknya segera merealisasikan itu. Ini diperlukan untuk memberi kepastian
kepada masyarakat bahwa pengguna LPG melon tidak akan mengalami kelangkaan
karena disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Menurut
Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009,
Pendistribusian Tertutup adalah sebuah sistem pendistribusian LPG tertentu
untuk rumah tangga atau usaha mikro yang menggunakan LPG tertentu yang
terdaftar menggunakan kartu kendali.
Kartu
kendali ini tanda pengenal resmi yang diberikan kepada rumah tangga dan usaha
mikro yang menggunakan LPG tertentu sebagai alat pengawasan dalam
pendistribusian LPG tertentu. Kartu pengendalian tersebut bisa menggunakan
kartutanda pendudukelektronik(e- KTP) atau kartu keluarga sejahtera (KKS)
yang diterbitkan pemerintah di bawah koordinasi menko pembangunan manusia dan
kebudayaan.
Untuk
mengawal distribusi tertutup agar tidak dipermainkan oleh sekelompok pihak,
penegakan hukum (law enforcement)
perlu dilengkapi melalui SK pemerintah daerah masingmasing. Tanpa ada
punishment yang kuat bagi yang melanggar mustahil sistem distribusi tertutup
bisa berjalan.
Sistem
ini juga bisa beroperasi aman jika didukung kebijakan harga eceran tertinggi
(HET) yang kondusif untuk mendorong suasana bisnis yang sehat. Penentuan HET
sebaiknya tidak pada level agen, namun pada titik pengecer sehingga
meminimalkan permainan harga dari agen sampai konsumen akhir.
Disparitas harga adalah kunci kemelut LPG.
Semakin lebar kesenjangan, para spekulan makin berpesta dengan mempermainkan
stok dan harga. Potensi kriminal lain adalah pengoplosan isi LPG melon dengan
tabung biru, lantas dijual dengan harga nonsubsidi. Pemerintah harus berani
mengambil kebijakan seperti yang dilakukan pada bahan bakar minyak.
Subsidi
BBM yang bertahun-tahun membebani anggaran negara menjadi lebih longgar sejak
diberlakukan mekanisme subsidi tetap. Kebijakan ini pula yang sekarang
diperlukan untuk komoditas LPG. Khusus terhadap LPG melon harus menggunakan
mekanisme distribusi tertutup. Kita tunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar