Infrastruktur dan Arah Perekonomian
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 30 Maret 2015
Berbeda
dengan China, yang saat ini sedang mencoba menggeser motor pertumbuhan
ekonomi dari investasi ke konsumsi domestik, Indonesia justru berupaya
menyeimbangkan sumber utama pertumbuhan ekonomi dari konsumsi ke investasi.
Alasan
China memperkuat konsumsi domestik salah satunya karena pelemahan pasar
ekspor global, yang mengakibatkan turunnya kinerja manufaktur sehingga
menggerus pertumbuhan ekonomi negara itu. Selain itu, potensi siklus deflasi,
anjloknya harga energi, over-supply fasilitas produksi nasional, dan
lambannya pertumbuhan permintaan domestik membuat pengambil kebijakan di
Negeri Tirai Bambu berusaha memperkuat konsumsi dan pasar domestik mereka.
Pada
2014, pertumbuhan ekonomi China sebesar 7,4% dan meskipun pemerintah negara
itu optimistis pada 2015 dapat merealisasikan pertumbuhan ekonomi di atas 7%,
namun banyak kalangan yang memperkirakan perlambatan ekonomi masih berlanjut
tahun ini.
Sementara
itu, Indonesia memiliki tren yang berlawanan arah dalam mendesain penggerak
utama pertumbuhan ekonomi nasional bila dibandingkan dengan China. Selama
ini, konsumsi domestik merupakan sektor penyumbang terbesar pembentukan
produk domestik bruto (PDB).
Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang 56% pembentukan PDB
nasional pada 2014. Sektor lain seperti belanja pemerintah menyumbang 9,54%
PDB dan pembentukan modal tetap bruto berkontribusi 32,57%. Seiring dengan
semakin besarnya alokasi belanja infrastruktur dalam APBNP 2015 yang mencapai
lebih dari Rp290 triliun, hampir dapat dipastikan kontribusi belanja
pemerintah terhadap pembentukan PDB untuk 2015 dapat mencapai di atas 11%.
Jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Sebenarnya komitmen
untuk shifting arah perekonomian
menuju perimbangan dari sisi supply-side telah dilakukan juga di era
sebelumnya. Pada 2011, pemerintah meluncurkan program yang disebut sebagai
MP3EI. MP3EI tidak hanya sebuah program nasional percepatan dan perluasan
pembangunan infrastruktur, tetapi dari perspektif ekonomi, kebijakan ini juga
menandai pergeseran orientasi arah pembangunan yang tidak hanya mengandalkan
sisi konsumsi.
Infrastruktur
dan sektor riil perlu didorong seiring dengan semakin meningkat dan
menguatnya konsumsi domestik. Pada saat itu, bottlenecking, kenaikan laju impor dan antrean terjadi. Seiring
dengan meningkatnya aktivitas ekonomi domestik, antrean kerap terjadi baik di
pelabuhan, bandara udara, jalan tol, pemenuhan kebutuhan listrik, maupun
sarana-prasarana lainnya.
Konsekuensi
dari komitmen ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat tajam
dari 1,55% pada 2010 menjadi 2,07% pada 2011. Saat ini pemerintah melakukan
kebijakan politik semakin menegaskan pentingnya membangun infrastruktur
nasional. Melalui penetapan kebijakan penghematan subsidi BBM dan kemudian
dialokasikan ke pembangunan infrastruktur, diharapkan akan mendorong lebih
meningkatnya produktivitas nasional untuk memenuhi tingginya permintaan
domestik.
Salah
satu indikator dan target yang ingin dicapai adalah menekan biaya logistik
dari 23,5% pada 2014 menjadi 19,2% pada akhir 2019. Sejumlah target
pembangunan dari mulai jalan, bandara, pelabuhan, jalur kereta api, angkutan
massal perkotaan, waduk dan irigasi, pembangkit listrik, pita
lebar/broadband, dan rusunawa juga telah disusun untuk jangka waktu lima
tahun ke depan.
Melalui
arah baru kebijakan fiskal ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB
meningkat tajam dari 2,08% pada 2014 menjadi 3,20% pada 2015. Seiring dengan
serapan dan realisasi belanja infrastruktur, pemerintah berharap dapat
mendorong dan menggerakkan perekonomian di tingkat daerah ataupun nasional.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, total kebutuhan
anggaran infrastruktur lima tahun ke depan sebesar Rp5.519,4 triliun. Dari
jumlah tersebut, anggaran diharapkan bersumber dari APBN sebesar 40,14% atau
Rp2.215,6 triliun, BUMN 19,32% atau Rp1.066,2 triliun, swasta murni atau
dalam bentuk public private partnership
(PPP) sebesar 30,66% atau Rp1.692,3 triliun dan sisanya BUMD.
Multiplier effect dari rencana
pembangunan infrastruktur di atas diharapkan dapat membantu penciptaan
lapangan kerja, pemerataan pembangunan, mengurangi kebergantungan impor, dan
pengentasan kemiskinan. Kita semua tentunya berharap, pergeseran orientasi
pembangunan yang lebih menyeimbangkan supply-demand
side juga akan diikuti oleh kebijakan yang tetap mempertahankan daya beli
domestik.
Hal
ini menjadi semakin penting ketika kita semua menyadari, sampai saat ini
konsumsi domestiklah yang berkontribusi paling besar terhadap pembentukan
PDB. Menjaga daya beli masyarakat dapat dilakukan dari sisi menjaga
keterjangkauan harga domestik. Salah satu faktor penting selain aspek dalam
negeri dalam menjaga daya beli masyarakat, adalah harga minyak mentah dunia.
Kita
bersyukur harga minyak mentah dunia saat ini masih berada dalam kisaran
USD50-58/barel, meskipun akhir-akhir ini harga minyak mentah dunia mulai
menunjukkan arah rebound seiring eskalasi konflik dan ketegangan baru di
Timur Tengah. Pada saat yang bersamaan, tren pelemahan rupiah saat ini juga
masih terjadi yang membuat biaya keekonomian BBM jenis premium dan solar
semakin mahal.
Akibatnya
pemerintah kembali menaikkan harga BBM jenis premium dan solar sebesar Rp500
per liter, mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia dan pelemahan
rupiah. Dengan skema penetapan harga BBM seperti saat ini, pemerintah perlu
sangat mewaspadai apabila harga minyak mentah dunia berada dalam posisi,
katakanlah USD80/barel, dan nilai tukar rupiah juga masih mengalami tekanan
akibat ketidakpastian penyesuaian suku bunga di Amerika Serikat.
Kedua
aspek ini dipastikan akan melambungkan harga jual BBM jenis premium dan solar
yang berakibat menurunkan daya beli masyarakat. Memacu pembangunan
infrastruktur dan sektor riil sepertinya tetap perlu menjaga permintaan
domestik. Apabila daya beli masyarakat tidak terjaga, target pertumbuhan
ekonomi yang ditetapkan dalam APBNP sebesar 5,7% dikhawatirkan sulit dicapai.
Selain
itu, juga para pengambil kebijakan nasional perlu terus mewaspadai tren
perekonomian dunia mengingat ketidakpastian masih akan sangat tinggi
sepanjang 2015. Selain masih menunggu kepastian The Fed menyesuaikan suku
bunga di Amerika Serikat, munculnya eskalasi baru di Timur Tengah setelah
Arab Saudi menggempur pemberontak di Yaman akan berdampak pada perekonomian
nasional.
Dua
tren saat ini, yaitu kembali menguatnya harga minyak mentah dunia dan masih
tertekannya nilai tukar rupiah, perlu diwaspadai. Kedua hal tersebut
berpotensi menurunkan daya beli masyarakat melalui penyesuaian kembali harga
BBM jenis premium dan solar di kemudian hari.
Bagi
Indonesia yang sedang melakukan pergeseran arah pembangunan ekonomi, menjaga
dan mengelola daya beli masyarakat juga sama pentingnya dengan memacu
pembangunan infrastruktur dan sektor riil di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar