Reformasi Polri dalam Catur Cita
Teddy Rusdy ; Mantan Direktur BAIS, Asrenum Panglima
ABRI/TNI 1987-1992
|
SINAR
HARAPAN, 24 Maret 2015
Rapat Akbar mahasiswa dan alumni berbagai perguruan
tinggi di kampus UI Salemba, Jumat (20/3), mengusung catur cita perjuangan,
yaitu perkuat KPK, reformasi Polri dan lembaga peradilan, bersihkan demokrasi
dari oligarki, turunkan harga, serta berantas mafia. Di antara empat butir
cita-cita perjuangan itu, satu hal yang menarik perhatian yaitu butir kedua
tentang reformasi Polri.
Hari ini, sebagian tokoh sudah menyerukan
reformasi jilid II, dan di antaranya adalah mereformasi Polri. Institusi ini
mendapat sorotan tersendiri karena dalam persepsi publik berdasarkan banyak
survei dianggap paling buruk kinerjanya. Apalagi, masih belum dihentikannya
kriminalisasi terhadap para komisioner dan penyidik KPK serta masyarakat
luas, meski dari Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, hingga Tim 9
bentukan presiden sudah berkali-kali minta polisi tidak melakukan
kriminalisasi. Seolah tidak mendengarkan seruan satuan atasnya, polisi terus
memburu mereka yang bersikap kritis untuk ditarget sebagai tersangka.
Kenapa Polri dapat dengan leluasa, tanpa
kontrol dari satuan atasannya, sering mengkriminalkan siapa saja yang
dianggap mengganggu petingginya atau lembaganya?
Tidak hanya pemimpin KPK, seperti BW dan AS,
yang sudah dijadikan tersangka dalam kasus yang disebut ketua Tim 9 Syafi’i
Ma’arif sebagai kasus yang dicari-cari itu, dua komisioner tersisa,
Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, juga diancam ditersangkakan. Belakangan,
mantan kepala PPATK Yunus Husein dan mantan wakil menteri hukum dan HAM Denny
Indrayana, juga ditarget dengan delik yang diciptakan tiba-tiba.
Sudah banyak yang mengalami hal serupa. Tidak
tertutup kemungkinan, pada masa mendatang pun model kriminalisasi demikian
potensial terus bermunculan. Kenapa demikian?
Ada dua perspektif antara polisi yang merasa
dikriminalisasi saat ada petingginya menjadi tersangka, atau polisi
mengkiriminalisasi pihak lain. Lebih menarik untuk menyoroti yang kedua,
dengan pertimbangan hal inilah yang lebih banyak dirasakan masyarakat.
Untuk membaca hal tersebut, pertama-tama
marilah kita perhatikan reaksi Polri sejak Komjen Susno Duadji, Irjen Djoko
Susilo, Brigjen Didik Purnama, hingga Komjen Budi Gunawan (BG), ketika
ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Dalam catatan sejarah, Polri sebagai lembaga
penegak hukum saat itu justru bereaksi aneh tanpa tedeng aling-aling
melakukan gelar geger
celeng melawan penetapan, menghambat
pengusutan, lalu menyeruduk dan memburu penegak hukum KPK sebagai tersangka
kasus-kasus rekayasa kelas picisan.
Apa sebab kriminalisasi itu dengan mudah
dilakukan Polri? Jawaban utamanya adalah, karena saat ini kedudukan Polri
berada di tempat yang salah dalam struktur organisasi kenegaraan kita.
Kedudukan yang ketinggian itu membuat Polri tidak terkoreksi dari satuan atas
sebagaimana lazimnya seperti satuan bersenjata lain.
Ini terjadi sejak ditetapkan dalam TAP MPR
Nomor VI dan VII/2000, diikuti pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 2/2002,
Polri terpisah dari TNI, lalu berperan sebagai bagian dari penegak hukum dan
penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. UU ini juga menempatkan polisi
langsung berada di bawah seorang presiden tanpa ada satuan atas lain sebagai
komando yang bersifat teknis.
Ini adalah pangkal masalahnya. Sebagai satuan
aparat sipil bersenjata, untuk mengendalikan dan menggerakkannya perlu satuan
atas dalam fungsi komando dan pembinaan, sebagaimana seorang kepala staf
angkatan darat/laut/udara, ke atas masih ada panglima TNI, menteri
pertahanan, dan menteri koordinator.
Kepala Polri yang dahulu sejajar dengan kepala
staf, kini berada langsung di bawah presiden atau menghapus tiga level
sebelumnya. Dikarenakan tidak berada dalam struktur yang benar, Polri
bermasalah sedikit saja langsung mengganggu presiden, dan presiden sebagai
satuan atas ke bawah tidak dapat memberikan komando dan pembinaan berupa
perintah, instruksi, dan teguran.
Sesungguhnya, struktur teknis ini bukan
wilayah seorang presiden. Oleh karena itu, presiden sering tidak berkutik,
bahkan dalam banyak hal seperti kasus penetapan tersangka Komjen BG dan
penangkapan komisioner KPK, presiden terkesan bingung, bahkan mengambil sikap
tidak jelas karena takut dituduh intervensi hukum atau politisasi polisi.
Padahal, komando dan pembinaan itu adalah konsekuensi logis dari struktur
yang diatur UU tentang Polri dan mendapat sandaran kuat dalam TAP MPR
terkait.
Untuk menghindari kriminalisasi dan bentuk
penyimpangan lain kembali terjadi, struktur Polri dalam bagan lembaga
kenegaraan kita harus ditinjau ulang agar dengan alasan independensinya,
Polri tidak lagi menjadi lembaga liar dan ganas tanpa kendali. Oleh karena
polisi adalah aparat yang bersenjata, seharusnya berada dalam koordinasi
satuan atas teknis tertentu.
Jika tidak ada reposisi tempat duduk Polri,
presiden sebagai satuan atas strategisnya akan selalu terseruduk kasus demi
kasus yang melibatkan polisi. Untuk mengurangi risiko di pihak satuan atas
yang seorang presiden itu, Polri harus dikembalikan ke tempat yang benar
dengan dimulai meninjau ulang TAP VI dan VII MPR/2000 dan UU terkait Polri.
Dari sandaran hukum Polri, reformasi Polri itu
dimulai sebagaimana yang menjadi tuntutan catur cita yang digelorakan
mahasiwa, dosen, dan alumni berbagai perguruan tinggi di UI Salemba, Jumat
silam. Jika tidak didudukkan kembali pada posisi yang benar dengan doktrin
yang tepat, Polri akan tetap menjadi bola liar di NKRI. Lantas mau jadi apa
Polri kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar