Sabtu, 28 Maret 2015

Reformasi Polri dalam Catur Cita

Reformasi Polri dalam Catur Cita

Teddy Rusdy  ;  Mantan Direktur BAIS, Asrenum Panglima ABRI/TNI 1987-1992
SINAR HARAPAN, 24 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Rapat Akbar mahasiswa dan alumni berbagai perguruan tinggi di kampus UI Salemba, Jumat (20/3), mengusung catur cita perjuangan, yaitu perkuat KPK, reformasi Polri dan lembaga peradilan, bersihkan demokrasi dari oligarki, turunkan harga, serta berantas mafia. Di antara empat butir cita-cita perjuangan itu, satu hal yang menarik perhatian yaitu butir kedua tentang reformasi Polri.

Hari ini, sebagian tokoh sudah menyerukan reformasi jilid II, dan di antaranya adalah mereformasi Polri. Institusi ini mendapat sorotan tersendiri karena dalam persepsi publik berdasarkan banyak survei dianggap paling buruk kinerjanya. Apalagi, masih belum dihentikannya kriminalisasi terhadap para komisioner dan penyidik KPK serta masyarakat luas, meski dari Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, hingga Tim 9 bentukan presiden sudah berkali-kali minta polisi tidak melakukan kriminalisasi. Seolah tidak mendengarkan seruan satuan atasnya, polisi terus memburu mereka yang bersikap kritis untuk ditarget sebagai tersangka.

Kenapa Polri dapat dengan leluasa, tanpa kontrol dari satuan atasannya, sering mengkriminalkan siapa saja yang dianggap mengganggu petingginya atau lembaganya?

Tidak hanya pemimpin KPK, seperti BW dan AS, yang sudah dijadikan tersangka dalam kasus yang disebut ketua Tim 9 Syafi’i Ma’arif sebagai kasus yang dicari-cari itu, dua komisioner tersisa, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, juga diancam ditersangkakan. Belakangan, mantan kepala PPATK Yunus Husein dan mantan wakil menteri hukum dan HAM Denny Indrayana, juga ditarget dengan delik yang diciptakan tiba-tiba.

Sudah banyak yang mengalami hal serupa. Tidak tertutup kemungkinan, pada masa mendatang pun model kriminalisasi demikian potensial terus bermunculan. Kenapa demikian?

Ada dua perspektif antara polisi yang merasa dikriminalisasi saat ada petingginya menjadi tersangka, atau polisi mengkiriminalisasi pihak lain. Lebih menarik untuk menyoroti yang kedua, dengan pertimbangan hal inilah yang lebih banyak dirasakan masyarakat.

Untuk membaca hal tersebut, pertama-tama marilah kita perhatikan reaksi Polri sejak Komjen Susno Duadji, Irjen Djoko Susilo, Brigjen Didik Purnama, hingga Komjen Budi Gunawan (BG), ketika ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Dalam catatan sejarah, Polri sebagai lembaga penegak hukum saat itu justru bereaksi aneh tanpa tedeng aling-aling melakukan gelar geger
celeng melawan penetapan, menghambat pengusutan, lalu menyeruduk dan memburu penegak hukum KPK sebagai tersangka kasus-kasus rekayasa kelas picisan.

Apa sebab kriminalisasi itu dengan mudah dilakukan Polri? Jawaban utamanya adalah, karena saat ini kedudukan Polri berada di tempat yang salah dalam struktur organisasi kenegaraan kita. Kedudukan yang ketinggian itu membuat Polri tidak terkoreksi dari satuan atas sebagaimana lazimnya seperti satuan bersenjata lain.

Ini terjadi sejak ditetapkan dalam TAP MPR Nomor VI dan VII/2000, diikuti pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 2/2002, Polri terpisah dari TNI, lalu berperan sebagai bagian dari penegak hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. UU ini juga menempatkan polisi langsung berada di bawah seorang presiden tanpa ada satuan atas lain sebagai komando yang bersifat teknis.

Ini adalah pangkal masalahnya. Sebagai satuan aparat sipil bersenjata, untuk mengendalikan dan menggerakkannya perlu satuan atas dalam fungsi komando dan pembinaan, sebagaimana seorang kepala staf angkatan darat/laut/udara, ke atas masih ada panglima TNI, menteri pertahanan, dan menteri koordinator.

Kepala Polri yang dahulu sejajar dengan kepala staf, kini berada langsung di bawah presiden atau menghapus tiga level sebelumnya. Dikarenakan tidak berada dalam struktur yang benar, Polri bermasalah sedikit saja langsung mengganggu presiden, dan presiden sebagai satuan atas ke bawah tidak dapat memberikan komando dan pembinaan berupa perintah, instruksi, dan teguran.

Sesungguhnya, struktur teknis ini bukan wilayah seorang presiden. Oleh karena itu, presiden sering tidak berkutik, bahkan dalam banyak hal seperti kasus penetapan tersangka Komjen BG dan penangkapan komisioner KPK, presiden terkesan bingung, bahkan mengambil sikap tidak jelas karena takut dituduh intervensi hukum atau politisasi polisi. Padahal, komando dan pembinaan itu adalah konsekuensi logis dari struktur yang diatur UU tentang Polri dan mendapat sandaran kuat dalam TAP MPR terkait.

Untuk menghindari kriminalisasi dan bentuk penyimpangan lain kembali terjadi, struktur Polri dalam bagan lembaga kenegaraan kita harus ditinjau ulang agar dengan alasan independensinya, Polri tidak lagi menjadi lembaga liar dan ganas tanpa kendali. Oleh karena polisi adalah aparat yang bersenjata, seharusnya berada dalam koordinasi satuan atas teknis tertentu.

Jika tidak ada reposisi tempat duduk Polri, presiden sebagai satuan atas strategisnya akan selalu terseruduk kasus demi kasus yang melibatkan polisi. Untuk mengurangi risiko di pihak satuan atas yang seorang presiden itu, Polri harus dikembalikan ke tempat yang benar dengan dimulai meninjau ulang TAP VI dan VII MPR/2000 dan UU terkait Polri.

Dari sandaran hukum Polri, reformasi Polri itu dimulai sebagaimana yang menjadi tuntutan catur cita yang digelorakan mahasiwa, dosen, dan alumni berbagai perguruan tinggi di UI Salemba, Jumat silam. Jika tidak didudukkan kembali pada posisi yang benar dengan doktrin yang tepat, Polri akan tetap menjadi bola liar di NKRI. Lantas mau jadi apa Polri kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar