Duh,
Lucunya Orang Madura
Moh Mahfud MD ; Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi
|
JAWA
POS, 23 Maret 2015
SALAH
satu ciri utama yang melekat pada orang Madura adalah kelincahannya dalam
berkelit dengan logika-logika polos. Orang Madura, konon, pandai berkelit dan
cerdik, tapi tidak licik sehingga setiap kelincahan berdebat sering dikaitkan
dengan kelincahan orang Madura. Simaklah contoh ini.
Suatu
hari seorang antropolog asal Jerman melakukan penelitian di Madura. Dia
mendapati seorang di desa yang sedang tidur-tiduran di kobhung (langgar
keluarga) dengan santainya sekitar pukul 09.00. Sang peneliti bertanya,
”Mengapa Anda tidur-tiduran dan tidak bekerja saja?” Orang Madura itu
menjawab malas bekerja. ”Enakan begini, santai sambil minum kopi dan makan
tela rebus,” kata orang Madura itu.
”Kan
lebih baik bekerja agar nanti sesudah tua bisa punya tabungan dan tinggal
tidur-tiduran dengan enak, menikmati masa tua,” kata si peneliti. ”Lho,
mengapa untuk tidur-tiduran harus bekerja dulu dan menunggu masa tua?
Sekarang saja saya sudah tidur-tiduran,” jawab orang Madura itu dengan
lincah. Si peneliti Jerman melongo, kalah. Dia pun ingin mewawancarai orang
tersebut lebih jauh dan naik ke kobhung sambil bertanya.
”Apakah
di sini aman dan tidak ada ular? Saya takut dipatuk ular,” kata si peneliti.
”Tenang, Tuan, di sini aman, tak ada ular,” jawab orang Madura itu. Tetapi,
tiba-tiba di bawah kobhung ada ular yang sangat besar menyelinap dan terus
masuk ke semak-semak di dekat kobhung itu. ”Lho, katanya di sini tak ada
ular. Itu ada ular besar sekali. Hiii, takut,” kata peneliti Jerman tersebut
dengan muka pucat karena saking takutnya. ”Oh, di sini memang tidak ada ular,
Tuan. Yang barusan lewat itu adalah ibunya. Ibunya ular,” kata orang Madura
tersebut dengan tenang.
Boleh
jadi cerita itu tidak pernah benar-benar terjadi atau terjadi di tempat lain
dan bukan di Madura. Tetapi, kecerdikan menjawab dan berkelit telah menjadi
ciri khas orang Madura sehingga cerita seperti itu sering dikaitkan dengan
orang Madura. Untuk menimbulkan kesan kecerdasan yang polos, spontan, dan
lucu, kerap periwayat cerita seperti itu menyebutnya sebagai cerita dari
Madura.
Orang-orang
seperti Gus Dur, Cak Nun, Hasyim Muzadi, dan Sujiwo Tejo sering mengaitkan
ceramah atau tulisan-tulisannya dengan cerita lucu yang, katanya, dari
Madura. Padahal, cerita tersebut kadang tak jelas dari mana asalnya atau
terkadang dibuatnya sendiri. Biar menarik dan terasa lucu, disebutlah cerita
itu dari Madura. Hasyim Muzadi, misalnya, pernah bercerita bahwa gelar atau
titel akademik doktorandus (Drs) bagi orang Madura jauh lebih tinggi daripada
gelar dokter atau doktor sekalipun.
Ceritanya,
Pak Imam mengadakan pesta syukuran karena anaknya lulus menjadi dokter (dr)
dari Fakultas Kedokteran Unair. Pak Hamim yang anaknya lulus sebagai
dokterandes (Drs) dari IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel) tak kalah
gaya. Dia pun mengadakan pesta syukuran. ”Anak saya lebih tinggi gelar dan
ilmunya daripada anaknya Imam. Anaknya Imam hanya dokter, sedangkan anak saya
sudah dokter masih ada andesnya. Bayangkan itu, sudah dokter, masih andes.
Hebat, kan?” kata Pak Hamim tanpa peduli dirinya ditertawakan oleh hadirin.
Memang
cerita-cerita lucu dan cerdas sering dikaitkan dengan suku Madura meskipun
mungkin tak benar-benar terjadi di Madura. Cerita antropolog asal Jerman yang
melakukan penelitian di Madura pada awal tulisan ini, misalnya, menurut saya
tak pernah terjadi di Madura. Cerita itu di-Madura-kan karena kelucuan,
keluguan, kecerdikan, dan kecerdasan yang melekat pada orang Madura. Orang
Madura sendiri bukanlah pemalas yang hanya suka tidur-tiduran dan bersantai.
Orang
Madura pada umumnya punya etos dan semangat kerja yang tinggi. Hampir semua
orang Madura hafal lagu ”kesukubangsaan” Madura tentang semangat dan kewajiban
bekerja keras, yaitu lagu Tandhuk Majang dan Pajjhar Lagghu. Tandhuk Majang
(Pulang Melaut) dan Pajjhar Lagghu (Fajar Pagi) adalah dua lagu
kesukubangsaan yang menggambarkan betapa uletnya orang Madura dalam bekerja,
menjelajah alam, serta mencari kehidupan siang dan malam.
Makanya,
merantau ke mana pun, orang Madura pada umumnya bisa survive, bahkan berhasil
membangun ekonominya dengan gemilang, mulai tukang sate, pedagang besi tua,
akademisi, bahkan pejabat tinggi setingkat menteri atau kepala staf di
lingkungan TNI dan Kapolri. Selain pekerja keras yang gigih, orang Madura
juga dikenal sebagai orang yang agamais, egaliter, pemberani, dan sportif.
Setelah
Jembatan Suramadu diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
pada 2010, masyarakat Madura mau tak mau harus menghadapi perkembangan dan
melakukan pembangunan dengan sentuhan-sentuhan baru. Agar budaya dan karakter
orang Madura yang membanggakan itu bertahan, prinsip dan rambu-rambu
pembangunan di Madura harus diperhatikan.
Badan
Silaturahmi Ulama-Ulama Se-Madura (Bassra) sudah menggariskan bahwa
pasca-Suramadu, pembangunan untuk Madura harus diartikan sebagai pembangunan
Madura, bukan pembangunan di Madura. Pembangunan Madura itu bertumpu pada
empat hal: manusiawi, indonesiawi, islami, dan madurawi. Katakan, ”Aku bangga
pada Madura.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar