Fenomena
Ahok
Pongki Pamungkas ; Penulis Buku
The Answer is Love
|
KORAN
TEMPO, 23 Maret 2015
Di suatu media cetak,
Agustus 2014, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang pada saat itu menjabat
Wakil Gubernur DKI Jakarta, menceritakan satu anekdot. Cerita itu untuk
menggambarkan posisinya dalam penertiban Pasar Tanah Abang Jakarta.
Ia bercerita, “Seorang
nenek jatuh ke laut dari kapal yang dijubeli penumpang. Kagak ada yang mau
nolong. Tahu-tahu ada pemuda yang nyebur ke air. Dia kelihatan kaget dan
panik, tapi berhasil menyelamatkan si nenek. Penumpang sorak-sorak, memuji si
pemuda. Bukannya bangga, si pemuda malah marah-marah, “Tadi siapa yang
mendorong saya ke laut?” Sambil terbahak, Ahok berkata, “Nah, saya seperti
pemuda itu. Telanjur kecemplung di Tanah Abang.”
Kisah di atas adalah
gambaran bahwa, dalam kiprahnya sebagai pejabat, ia bertindak karena
“terdesak” oleh keadaan yang mendorongnya demikian. Ia tak punya keinginan
pribadi untuk “menjadi pahlawan” sebagaimana anekdot di atas. Ia bukan termasuk
orang-orang dalam sindiran William Randolph ini (penguasa lahan Virginia abad
ke-17), “Politikus adalah orang-orang
yang akan melakukan apa pun untuk mempertahankan posisinya, termasuk
melakukan hal-hal yang patriotik.”
Ahok selalu bersikap nothing to lose. Kita bisa melihat
fakta-faktanya. Ia mundur dari Gerindra, partai yang mengusungnya menjadi
Wakil Gubernur DKI. Ia mundur gara-gara memiliki perbedaan prinsip aturan
pemilihan kepala daerah yang diwacanakan, salah satunya oleh Gerindra, untuk
tidak dipilih langsung oleh rakyat.
Sementara di sisi lain,
gaya Ahok dalam berkomunikasi adalah suatu gaya yang sama sekali tak
dianjurkan dalam budaya bangsa kita ini. Berbicara blakblakan saja sebetulnya
juga bukan hal yang biasa kita rasakan sebagai bangsa Timur yang penuh dengan
tradisi ewuh-pakewuh. Apalagi
kemudian memaki dan mencerca orang-orang lain dengan predikat-predikat yang
negatif: maling, perampok, bandit, plus kata-kata lain yang tak layak keluar
dari mulut seorang pejabat negara.
Gaya berkomunikasinya
cenderung konfrontatif. Bukan persuasif. Karena ingin menegakkan kebenaran,
basa-basi sebagai warna kesantunan, bukanlah gaya yang dipilihnya. Ia selalu
straight to the point, main tembak langsung. Bila lawan bicara atau pihak
yang dihadapinya tidak siap dengan kebenaran faktual, atau memiliki
agenda-agenda terselubung yang manipulatif, pasti akan sangat jengah. Akan
langsung mati gaya!
Ahok tampaknya menyadari
benar pepatah kuno ini dengan segenap risikonya, “Mulutmu harimaumu”. Tutur
katanya sering kali membuat banyak orang merah kuping dan marah. Wajar bila
mereka merespons dengan keinginan mengubah diri menjadi harimau. Mereka
bernafsu untuk menggigit Ahok, dan Ahok tampak siap meladeni ancaman harimau
itu.
Ahok dalam konteks
teori-teori kepemimpinan, bukanlah seorang pemimpin yang ideal. Thomas
Jefferson memiliki pandangan soal pemimpin dalam konteks ini, “Dalam soal gaya, selayaknya pemimpin
berenang secara luwes sesuai dengan gelombang air. Dalam soal prinsip,
pemimpin harus tegak kokoh bagai batu karang.” Ahok adalah pemimpin yang
seperti batu karang. Kokoh dengan pendiriannya. Tapi yang tidak menjadikannya
sebagai seorang pemimpin ideal, gaya Ahok sama sekali tidak luwes. Ia bukan
orang yang senang dengan prinsip menang-menang (win-win), khususnya terhadap hal-hal yang ia yakini kebenarannya.
Tampaknya ia memiliki
karakter sebagaimana ucapan Martin Luther King Jr. ini, “Tempat yang paling panas di neraka disiapkan bagi orang-orang yang
mengambil sikap netral dalam masa berlangsungnya konflik moral.” Ia ingin
selalu mengambil sikap, suatu posisi (stand-point)
yang jelas, hitam atau putih.
Ahok dalam dunia politik
Indonesia saat ini, yang cenderung bernuansa negatif, bisa disebut, ia bukan
seorang pemain politik. Ia bukan politikus. Niccolo Machiavelli mengatakan, “Politik tak ada hubungannya dengan
moral.” Dalam kasus Ahok, ia sangat menjunjung tinggi aspek moral. Yang
paling utama baginya adalah integritas, sebagai bagian dari aspek moral itu.
Ahok seorang pemimpin yang
bernyali besar, sesuai dengan pandangan ini, “‘Keselamatan adalah hal utama’
(safety first) telah menjadi moto
ras manusia selama jutaan tahun. Tapi sesungguhnya itu bukan moto seorang
pemimpin sejati. Seorang pemimpin sejati harus berani menghadapi bahaya. Ia
harus mengambil risiko dan celaan, bagian terberat dari badai,” kata Herbert
N. Crasson, seorang jurnalis terkemuka dari Kanada yang meninggal pada 1951.
Di luar pelbagai aspek
karakter di atas, dari aspek kompetensi terlihat pula Ahok pada dasarnya
bukanlah politikus, sesuai dengan wajah kualitas politik hari ini. Mohon
maaf, kalimat ini tampaknya benar, meskipun menyedihkan, “Dalam politik,
kebodohan bukanlah suatu rintangan (handicap),”
kata Napoleon Bonaparte. Wajah kualitas kancah perpolitikan saat ini tak bisa
dimungkiri, banyak dihiasi para pemain politik yang jauh dari pintar (saya
tak bernyali untuk mengatakan, kebanyakan para politikus kita adalah
orang-orang bodoh). Sedangkan Ahok diakui oleh sebagian besar masyarakat
sebagai seorang pejabat tinggi yang pintar.
Dengan segala keunggulan
karakter dan kompetensi Ahok di atas, disertai kelemahan parah Ahok dalam
berkomunikasi, survei dari LSI menunjukkan, 65 persen warga DKI mendukung
Ahok dalam posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pelbagai langkah Ahok sebagai
Gubernur didukung oleh mayoritas masyarakat. Sebagai contoh, 97,2 persen
suara masyarakat menyetujui langkah Ahok melaporkan dana siluman di APBD ke
KPK (majalah Tempo, 16-22 Maret 2015).
Tampaknya, masyarakat kita
telah memilih, biarlah soal gaya, soal kesantunan dalam bertutur-kata
dikesampingkan, paling tidak untuk sementara waktu. Dengan harapan besar,
semoga Ahok akan mengubah gayanya untuk lebih santun, lebih pas dalam kultur
bangsa ini. Sedangkan integritas adalah persoalan yang lebih penting.
Integritas, dalam kasus kepemimpinan Ahok, perlu didahulukan daripada
kesantunan. Substansi lebih penting daripada format. Tampaknya masyarakat
menyadari benar, tak ada kesempurnaan di dunia ini. Tak ada manusia sempurna
(nobody perfect). Tak ada pemimpin
yang sempurna. Ahok bukan pemimpin sempurna. Dan masyarakat menerima. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar