Jumat, 06 Maret 2015

Tembak!

Tembak!

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
JAWA POS, 05 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

RODRIGO Gularte, salah seorang terpidana mati yang rencananya dieksekusi, dikabarkan mengidap gangguan dan bahkan penyakit jiwa. Karena itulah, muncul keinginan sebagian pihak agar eksekusi mati atas Rodrigo ditunda atau bahkan –jika mungkin– dibatalkan.

Pertanyaan mendasar atas kondisi Rodrigo adalah apa tipe guncangan psikologis yang dialami penjahat narkoba itu. Dalam khazanah psikologi forensik, guncangan psikologis yang diidap para narapidana (napi) menjelang pelaksanaan eksekusi mati telah lama menjadi bahan sorotan. Walau bukan merupakan sebutan ilmiah yang tercantum pada buku-buku acuan diagnosis psikologi dan psikiatri, kondisi psikis para terpidana mati itu diistilahkan sebagai death row phenomenon. Bisa diterjemahkan secara bebas sebagai fenomena antrean eksekusi mati. Para terpidana mati yang mengalami fenomena tersebut memperlihatkan serangkaian tanda yang disebut gejala atau sindrom antrean eksekusi mati (death row syndrome).

Fenomena antrean eksekusi mati dalam literatur Barat diulas sebagai wujud penderitaan para terpidana mati yang disebabkan masa penantian yang panjang serta praktik isolasi yang dikenakan terhadap mereka sejak hakim menjatuhkan hukuman mati hingga hari pelaksanaan eksekusi. Kalangan yang anti hukuman mati menganggap fenomena tersebut sebagai penzaliman ganda oleh negara. Pasalnya, setelah hakim memutuskan terdakwa diganjar hukuman mati, penghukuman terhadap terpidana justru sudah berlangsung akibat kepastian nasib bahwa dia akan dimatikan, namun tanpa kepastian kapan eksekusi dilaksanakan. Prosesi kematian seakan bukan lagi misteri dan masa tunggu menjelang prosesi itu diselenggarakan bisa mencapai bilangan puluhan tahun.

Fenomena antrean eksekusi mati, menurut hemat saya, memberikan penekanan pada pentingnya penyelenggaraan eksekusi selekas-lekasnya sejak hakim membuat putusan mati bagi terdakwa. Kesegeraan juga penting mengingat unsur tersebut merupakan salah satu unsur yang harus direalisasikan guna mengaktifkan fungsi penghukuman untuk menimbulkan efek jera dan efek tangkal. Dua unsur lainnya adalah keajekan dan beratnya hukuman. Bersandar pada tiga unsur tersebut, pantas berharap hukuman mati yang dilakukan secara ajek dan segera akan bisa membuat jera sekaligus menangkal penyalahgunaan narkoba di tanah air.

Kembali ke kabar tentang kondisi psikis terkini Rodrigo, apa yang perlu dicermati?

Pertama, perlu dipastikan tipe keguncangan psikologis yang diperlihatkan Rodrigo. Semua orang, dalam situasi beragam, bisa mengalami ketidakstabilan psikologis. Mulai yang relatif ringan hingga yang berat. Dengan demikian, tidak semua guncangan psikologis harus disikapi sebagai kondisi yang dapat memengaruhi pertanggungjawaban seseorang yang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran hukum.

Apalagi, secara manusiawi pula, hampir bisa dipastikan, ada berbagai dinamika psikis yang berlangsung pada diri terpidana mati menjelang dikirim ke alam baka. Jangankan hukuman mati, baru sebatas dipanggil untuk menghadiri persidangan pun pada dasarnya merupakan pengalaman tak menyenangkan yang sedapat mungkin dihindari siapa pun.

Juga, kapan gerangan guncangan psikis Rodrigo itu muncul dan apa pula penyebabnya? Benar, terpidana harus menjalani masa penantian sebegitu lama sebelum ditembak mati. Namun, faktanya, panjangnya masa penantian itu juga disebabkan berbagai upaya hukum yang dilakukan si terpidana sendiri. Andai dia bisa langsung menerima vonis hakim pada persidangan tingkat pertama bahwa dia bersalah dan pantas dihukum mati, hari eksekusi tentu tidak akan sejauh jika si terpidana melakukan berbagai upaya hukum agar lolos dari tangan algojo. Artinya, apabila benar terpidana mati mengalami fenomena antrean eksekusi mati, terbentuknya dan memburuknya kondisi psikis yang bersangkutan pada dasarnya juga merupakan buah dari ulah sendiri.

Kaitan antara fenomena antrean eksekusi mati dan pengisolasian terhadap terpidana, sebagaimana menjadi bahan perdebatan di negara-negara Barat, juga tidak bisa ditegakkan di Indonesia. Di negara-negara lain, setelah divonis hukuman mati, terpidana akan menjalani hari-harinya seorang diri di balik jeruji. Tanpa jendela, tanpa ”privilese” sebagaimana yang diperoleh para terpidana nonmati. Sejumlah catatan bahkan menunjukkan bahwa di banyak penjara para terpidana mati itu hanya punya waktu tak lebih dari satu jam per hari untuk keluar dari sel isolasi masing-masing. Selebihnya, dia betul-betul hanya bisa mondar-mandir di dalam penjara yang dihuninya. Makan dan urusan sanitasi pun dilakukan di dalam situ.

Situasi tersebut berbeda dengan di sini. Sebagaimana terlihat pada rekaman video rahasia tentang para terpidana mati kloter pertama beberapa pekan lalu, mereka tetap bisa beraktivitas di luar sel untuk jangka waktu tertentu sejak hakim memutuskan hukuman mati bagi mereka. Pemberitaan bahwa duo Bali Nine sudah melakukan kebaikan ke sesama napi juga menunjukkan betapa isolasi superketat terhadap terpidana mati tidak diberlakukan di penjara-penjara Indonesia. Tambahan lagi fakta adanya terpidana mati yang tetap bisa menjalankan bisnis narkoba dari dalam lembaga pemasyarakatan, semakin mematahkan argumentasi bahwa terpidana mati dikerangkeng secara keji.

Dari perspektik etiologi (bahasan tentang sebab musabab) pun, gangguan psikis tidak pernah disimpulkan disebabkan faktor tunggal. Fenomena antrean eksekusi mati, dengan demikian, tidak mungkin pula disebabkan semata-mata oleh masa tunggu dan isolasi yang dijalani terpidana mati. Niscaya ada penyebab majemuk atas kondisi si terpidana sehingga tidak bisa dipastikan perlakuan ”eksklusif” itulah yang menjadi penyebab utama –apalagi satu-satunya– bagi terbentuknya fenomena antrean eksekusi mati. Karena itu pula, sungguh bisa dibantah beraneka komentar yang memosisikan pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas –andai ada–berjangkitnya fenomena antrean eksekusi mati. Termasuk hingga harus menunda, bahkan membatalkan, eksekusi atas para terpidana mati.

Jadi, jangan mundur jangan bimbang. Tim eksekutor, silakan kokang senjata sekarang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar