Jumat, 06 Maret 2015

Investasi dan Pembiaran Konflik

Investasi dan Pembiaran Konflik

Hendrik Kawilarang  ;  Wakil Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
KORAN SINDO, 05 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

”Riskcomesfromnotknowing what you’re doing.” (Warren Buffett)

Sebulan lebih konflik antarpenegak hukum KPK-Polri seperti dibiarkan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini membuat banyak investor berpikir ulang akan rencana mereka. Dari bisik-bisik dan obrolan, mereka jelas waswas. Situasi ini mempertegas ada ketidakpastian hukum di negara ini. Kisruh KPK-Polri membuat optimisme berinvestasi di Indonesia menjadi rusak. Walau akhirnya Presiden Jokowi menyatakan membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri dan diganti calon lain, Komjen Pol Badrodin Haiti, serta menunjuk tiga pelaksana tugas pimpinan KPK yang baru, situasi politik dan kepastian hukum masih berpotensi terjadi di negeri ini.

Investasi salah satu kekuatan otonom penting bagi pertumbuhan ekonomi. Faktor penentu investasi moncer adalah stabilitas sosial-politik dan kepastian hukum. Sejarah mencatat, pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie terjadi kerusuhan dan bentrokan berdarah di mana-mana. Hukum dan aparatur penegaknya hanya berdiri diam. Tak ada transparansi hukum, penegakan hukum jungkir balik.

Di bidang ini pemerintahan Habibie jelas-jelas gagal. Waktu itu investasi asing langsung terhenti. Ekonomi terpuruk. Akibatnya di masa pemerintahan Habibie ini rating ekonomi Indonesia mencapai titik terendah. Di mata kalangan investor, baik asing maupun lokal, empat bulan kepemimpinan Jokowi-JK belum memberi jaminan kepastian hukum. Ini melanjutkan rasa waswas iklim investasi Indonesia yang masih belum kondusif. Sebenarnya sejak awal 2014 investor sudah khawatir dengan konstelasi politik nasional.

Ditambah lagi dengan hasil kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sangat tipis atas rivalnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ikut menambah kekhawatiran tersebut. Dalam sistem politik sekarang ini, Presiden hanyalah sebagian saja dari penguasa politik. Masih banyak lembaga politik lain yang tidak dipimpin Presiden sebagai kepala pemerintahan seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bank Indonesia (BI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Lembaga-lembaga ini notabene lebih banyak tunduk kepada politik di parlemen. Sementara kekuatan politik pemerintah di parlemen kalah jauh dibanding oposisi. Ini membuat programprogram dan kebijakan pemerintah, terutama terkait iklim investasi, bisa mendapat ganjalan. Jika Senayan terus mengedepankan politik balas dendam, iklim investasi menjadi makin tidak kondusif. Ini juga jadi bahan pertimbangan para investor. Akan lain jika koalisi penguasa bisa bergandeng dengan oposisi.

Padahal dunia usaha awalnya optimistis dengan stabilitas politik di Tanah Air. Proyeksi dan rencana kerja pemerintahan baru mendorong investasi dan pembangunan infrastruktur mendapat apresiasi. Ada banyak terobosan yang digagas pemerintahan baru. Tapi, ”gesekan” yang terus berkelanjutan antardua lembaga hukum (KPK-Polri) membuat dunia usaha terhenyak. Dikhawatirkan lagi, situasi ini dapat berkembang ke ranah politik. Kepastian dan kestabilan hukum dan politik menjadi kunci sukses pencapaian target investasi.

Pada 2015 pemerintah menargetkan investasi mencapai Rp519 triliun dengan pertumbuhan sebesar 15%. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada 2013 sebesar Rp406 triliun dan target tahun 2014 sebesar Rp456 triliun. Pemerintah juga harus mengejar daya saing investasi agar mampu merebut hati investor. Indeks daya saing global versi World Economic Forum (WEF) 2014 menempatkan Indonesia di peringkat ke-34 dari 58 negara. Pencapaian ini hanya bergeser sedikit dibandingkan posisi ke-38 pada 2013.

Konflik antara KPK dan Polri jelas menciptakan sentimen negatif bagi pasar keuangan dan saham di Tanah Air. Para investor pasang jurus ”wait and see” sebab mereka tidak mau ambil risiko ketidakpastiaan hukum yang tengah terjadi. Investor pada dasarnya butuh jaminan kepastian hukum, jaminan keamanan, dan kemudahan regulasi apabila menanamkan modalnya di suatu daerah.

 Kepercayaan investor pada Indonesia masih cukup tinggi. Namun, jika berlarut-larut, kemudian ditunggangi permainan politik, Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasi kemungkinan keluarnya danadana asing dari pasar keuangan. Tak hanya di pasar keuangan, para investor asing yang akan mendirikan pabrik juga akan berpikir ulang. Maklum saja, seperti tadi di atas, salah satu pertimbangan investor masuk ke suatu negara adalah ada kepastian hukum, politik, dan keamanan.

Sebagai informasi, sejak Oktober 2014 hingga Januari 2015 tercatat sudah 77 investor asing yang berminat menanamkan modalnya di Indonesia, 46 di antaranya sudah meneken komitmen senilai USD74 miliar. Nah, dengan kondisi hukum, politik, dan keamanan seperti saat ini dan diprediksi bakal lebih amburadul ke depan, bukan tak mungkin mereka membatalkan rencana investasinya. Faktor internal yang buruk itu dibarengi pula faktor eksternal yang bisa mengancam.

Pemerintah Amerika Serikat menginformasikan bahwa jumlah pengangguran di negeri itu turun sebanyak 43.000 orang menjadi 265.000 orang, terendah sejak April 2000. Ini menandakan perekonomian AS semakin membaik. The Fed menunggu hari menaikkan suku bunga 0,25% yang sudah bertahan lebih dari tiga tahun. Ini sinyal The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan pada kuartal II atau III tahun ini. Kalau ini sampai terjadi, hampir pasti banyak investor asing angkat koper dari bumi Indonesia. Bukan apa-apa.

Para pemilik uang itu melihat aset AS dan mata uangnya (dolar AS) lebih menarik ketimbang saham dan mata uang di pasar negara berkembang. Hasil survei yang dilakukan AT Kearney menunjukkan, saat ini AS menjadi pilihan utama tempat berinvestasi yang menarik. AS menggeser China yang turun di posisi kedua. Tahun lalu ketika The Fed mulai memangkas dana stimulus (tapering), pasar saham dan pasar uang di dunia, termasuk Indonesia, panik.

Mereka beramai- ramai melepas asetnya di berbagai instrumen investasi yang dianggap berisiko tinggi. Mereka lebih aman dan nyaman menggenggam dolar AS, lalu membawa dananya ke negara yang berisiko kecil. Aksi lepas barang yang dilakukan para investor asing ini pun telah menekan nilai tukar rupiah dan membuat indeks harga saham gabungan sempoyongan. Dana-dana asing (investasi) yang masuk ke Indonesia, baik lewat obligasi maupun saham, umumnya berjangka pendek.

Dana ini uang panas (hot money) yang bisa check in dan check out kapan saja. Sesuka empunya. Memang sudah kodratnya saat ini karena dana-dana itu memang tak mengenal kewarganegaraan. Bisa saja pagi ini dana tersebut menclok di Thailand, lalu siangnya terbang ke Indonesia dan akhirnya mendarat di Vietnam.

Pemerintah memang punya jaring pengaman berupa Bond Stabilization Framework (BSF) yang merupakan kumpulan dana pemerintah, Bank Indonesia, dan sejumlah BUMN yang dapat dipergunakan menyerap surat berharga negara (SBN) yang dilepas investor asing. Tapi tetap saja, danadana asing itu mudah kabur. Perilaku ”liar” ini bisa mengganggu sistem keuangan. Banyak investor yang merasakan bahwa pemerintah kurang sungguh-sungguh. Selain infrastruktur, yang sering dikeluhkan adalah masalah kepastian hukum dan birokrasi yang berbelit serta masih maraknya permainan uang pelicin buat pejabat negara dan daerah. Ini fakta.

Seharusnya pemerintah mengambil pelajaran dari Thailand yang memiliki board of investment yang bekerja sangat cepat dan sistematis, satu komando. Birokrasi di Thailand lebih ke arah eksekutor, bukan planner. Di Indonesia, birokrasi perlu diperbaiki. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK. Masalah insentif perpajakan untuk investor misalnya banyak yang belum merasakan. Apa yang dijanjikan tidak sepenuhnya sesuai kenyataan di lapangan.

Masalah perburuhan sudah berhasil ditangani pemerintah dan ini cukup membantu dunia usaha. Stabilitas hukum dan politik adalah fondasi bagi dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika kondisi politik stabil, tentu akan berdampak pada exchange rate dan suku bunga yang turun. Perseteruan antarinstansi penegak hukum bukan sinyal yang baik untuk menarik investor karena menyiratkan riak di bidang hukum.

”Gesekan” itu bisa berubah menjadi gelombang ketidakpastian. Alihalih menanamkan modal, investor malah akan mencabut investasi yang sudah mereka tanam karena waswas bakal tergulung gelombang. Pemerintahan Jokowi-JK harus segera menyudahi ketidakpastian di bidang hukum ini. Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Hanya menghabiskan waktu dan tenaga, percuma.

Semua pihak perlu menyadari kita berada di kapal yang sama. Bila tidak kompak, kapal akan melenceng. Bahkan bisa jadi mogok. Tidak mungkin kita bisa meraih target pertumbuhan tinggi tanpa menjaga minat dan semangat investor.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar