Jumat, 06 Maret 2015

Ketika Yang Maha Justru Meminta-minta

Ketika Yang Maha Justru Meminta-minta

Azrul Ananda  ;  Dirut Jawa Pos Koran
JAWA POS, 04 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tolong jangan tersinggung. Tolong jangan berprasangka. Buka hati lebar-lebar. Buka pikiran lebar-lebar. Saya punya masalah dengan istilah ’’mahasiswa’’.

Sebenarnya sudah lebih dari 15 tahun saya menulis soal ini. Sudah lamaaa sekali pengin menanyakan soal ini. Kenapa kok pelajar perguruan tinggi disebut ’’mahasiswa’’?

Ya, ya, ya, karena mereka adalah ’’pelajar level tertinggi’’ di jalur pendidikan normal. Di atas TK, SD, SMP, dan SMA.

Ketika saya ke Mbah Google dan iseng-iseng mengetik ’’arti mahasiswa’’, tidak ada jawaban yang benar-benar konkret. Pada dasarnya bilang sama: Bahwa ini istilah untuk pelajar yang paling tinggi levelnya.

Dalam hati saya, berat lho beban nama ’’maha’’ di depan kata ’’siswa’’ itu. Kalau mahaguru mungkin oke, karena dia guru yang lebih hebat dari yang lain.

Tapi siswa, level apa pun, kan tetap harus belajar. Kalau harus belajar, kok ’’maha’’?

Dan yang saya lebih heran lagi, kenapa kok di luar negeri tidak ada yang memakai kata ’’maha’’ atau setara ’’maha’’ untuk menyebut para pelajar perguruan tinggi?

Di Barat, misalnya, semua level disebut student. Ada high school student untuk anak SMA dan ada college student untuk pelajar perguruan tinggi.

Tidak ada ’’mahastudent’’…

Paling tidak enak lagi kalau lihat ’’mahasiswa’’ beraksi di perempatan jalan.

Sering kan kita melihat mereka berdandan rapi dengan jas almamater berdiri di perempatan, membawa kotak, lalu minta-minta kepada pemakai jalan.

Oke, mereka tidak ’’minta-minta’’ seperti pengemis. Mereka ’’minta-minta’’ untuk sumbangan dengan tujuan yang baik.

Tapi, sebagai ’’maha’’, bukankah seharusnya ada perbuatan lebih produktif lain yang lebih baik daripada minta-minta?

Semoga saya tidak disebut sok luar negeri, karena kebetulan saya memang beruntung dulu jadi pelajar perguruan tinggi di luar negeri.

Di tempat saya kuliah dulu, ketika berorganisasi atau berbuat sesuatu yang bersifat sosial, kami dituntut ’’menyumbangkan’’ sesuatu. Kalau tidak bisa langsung menyumbangkan uang, ya menyumbangkan tenaga yang kemudian menghasilkan uang untuk tujuan yang baik itu.

Bingung?

Contohnya begini: Kami ingin menyumbang penderita kanker yang tidak mampu. Karena tidak punya banyak uang untuk disumbangkan langsung, kami pun berbuat sesuatu untuk mengumpulkan uang.

Caranya, kami menyumbangkan tenaga kami untuk mencuci mobil, memotong rumput, atau pekerjaan lain yang menghasilkan uang. Nah, uang itulah yang lantas disumbangkan untuk penderita kanker.

Jadi, kami menyumbangkan tenaga untuk bekerja yang hasilnya lantas disumbangkan.

Kalau sekadar berdiri di jalan lalu minta-minta, apakah itu berarti menyumbangkan tenaga?

Secara teknis mungkin iya. Tapi, masak ya kreativitas dan kemauan kerja ’’mahasiswa’’ levelnya hanya sampai segitu?

Hmm…

Salut seribu salut untuk para pelajar perguruan tinggi yang sudah sangat kreatif dalam mengumpulkan dana. Misalnya, mengumpulkan baju bekas, berjualan makanan dan minuman, serta hal-hal lain seperti itu.

Itu baru menyumbangkan sesuatu!

Kalaupun berarti ’’pelajar di tingkat tertinggi’’, menurut saya, ya juga bukan pelajar perguruan tinggi.

Secara formal mungkin iya, secara realitas semua orang kan tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya.

Emangnya kalau lulus perguruan tinggi bisa langsung jadi pekerja yang hebat? Langsung bisa memberikan kontribusi hebat untuk perusahaan tempat dia bekerja, atau kepada masyarakat tempat dia berada?

Belum tentu, bukan?

Kalau langsung hebat, buat apa perusahaan bikin job training?

Jadi, setelah lulus perguruan tinggi, dia masih harus belajar lagi menjalani pekerjaan pertamanya. Kemudian, belajar lagi untuk bekerja lebih baik saat naik jabatan, dan begitu seterusnya.

Percaya deh, 90 persen yang saya jalani dalam pekerjaan tidak diajarkan saat kuliah…

Bukan hanya itu. Dia juga lantas harus terus belajar dalam kehidupan pribadinya. Belajar mencari pasangan hidup yang baik (tidak ada sekolahnya), belajar jadi orang tua yang baik (awalnya banyak nilai jeleknya), terus sampai belajar jadi kakek-nenek yang baik (memanjakan cucu, bikin sebel anak), dan terus-menerus belajar.

Dan benar kata orang tua, pelajaran terbaik adalah ketika kita gagal dalam sesuatu di hidup ini. Gagal ujian paling dapat nilai jelek. Gagal dalam hidup dan pekerjaan? Belum tentu ada ujian ulang…

Sorry ending-nya klise. Mungkin karena saya juga mulai menua. Hehehe… But it’s true!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar