Sabtu, 07 Maret 2015

Ruki Kalah dan Menyerah

Ruki Kalah dan Menyerah

Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Madya Institute for Research and Development, Jakarta
SINAR HARAPAN, 05 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Publik sangat kecewa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki. Pasalnya, kasus dugaan korupsi Komjen Budi Gunawan (BG) wewenangnya kini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Di hampir media cetak pada 3 Maret kemarin menurunkan headline "KPK Kalah, tapi Tak Menyerah". Sebuah pemandangan yang tidak biasa pun terjadi. Satu per satu pegawai KPK bergantian berorasi. Mereka yang mengatasnamakan Wadah Pegawai KPK membuat barisan di depan gedung dengan disaksikan langsung oleh Ruki sebagai pemimpin. Mereka kecewa dengan keputusan pelimpahan wewenang kasus BG ke Kejagung.

Meski Ruki berjanji bahwa kasus BG bukan kiamat bagi KPK, ia memastikan pemberantasan korupsi harus terus berlanjut. Pihaknya masih mengantongi 36 kasus lainnya untuk diselesaikan. Namun, publik sangat sangsi akan pernyataan itu, bahkan publik menganggap Ruki sebagai "orang titipan". Kelenturan terhadap pelaku kejahatan korupsi seperti pelimpahan wewenang justru menjadi bumerang bagi KPK. Kepercayaan publik pada KPK semakin merosot setelah kriminalisasi pemimpin KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Mestinya Ruki menaikkan lagi pamor KPK sehingga kepercayaan publik kembali pulih. Namun, publik sudah telanjur kecewa terhadap Ruki. 

Memang kuat dugaan publik selama ini bahwa sedang terjadi pelemahan KPK secara sistemik. Pada awal 2014 publik juga masih ingat, pemerintah di bawah Presiden SBY dan DPR ketika itu akan mengembalikan lagi delik korupsi ke dalam KUHP dan KUHAP. Kini semakin kuat pula dugaan publik kasus-kasus korupsi tampaknya akan dilimpahkan ke Kejagung dan Polri. Jika demikian, KPK sebagai lembaga ad hoc secara otomatis akan bubar. 

Pelemahan KPK tak hanya dilakukan kekuatan di bawah para koruptor, tetapi juga dimainkan institusi negara. DPR mungkin merupakan institusi negara yang akhir-akhir ini secara kasatmata kurang mendukung eksistensi KPK. Alih-alih memperkuat, DPR justru berusaha melemahkan KPK yakni melalui upaya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Para politikus Senayan berupaya memangkas ketajaman kewenangan KPK. Wewenang itu antara lain penyadapan dan penuntutan. Sejumlah pihak menilai upaya tersebut adalah jalan masuk untuk melumpuhkan KPK.

Jika korupsi dinyatakan sebagai extraordinary crime,  semestinya penegakan hukumnya pun harus tajam. Negeri Tirai Bambu, misalnya, sangat keras menghukum koruptor di tiang gantungan. Negeri ini mestinya berkaca dari Tiongkok, bukannya menggerogoti KPK dari dalam.

Setelah Orde Baru tumbang, berbagai pihak pendukung hukuman yang berat, utamanya bagi koruptor. Banyak pihak selalu mengacu ke Tiongkok dan memuji berbagai usaha Tiongkok dalam menumpas penyakit korupsi yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Tiongkok dan dari kebijakannya dalam memberantas korupsi.

Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di Tiongkok pada 2005 dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum Tiongkok memperkirakan sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10.000 orang yang dieksekusi.

Bahkan sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Tiongkok, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberi hukuman yang lebih ringan.

Mahkamah Agung Tiongkok menyetujui amendemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi. Mahkamah Agung Tiongkok akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh hukuman mati. Gerakan ini dilihat sebagai jawaban terhadap meningkatnya kritik publik terhadap meluasnya praktik hukuman mati secara sewenang-wenang (Rainer Adam, 2007).

Setiap negara memang memiliki alasan tersendiri untuk memberlakukan hukuman bagi mafia dan koruptor. Kasus di Tiongkok mungkin yang paling ekstrem di mana koruptor berakhir di tiang gantungan. Melihat hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM maka hukuman berat apa yang harus dijatuhkan, sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera.

Hukuman yang memberatkan bagi mafia dan koruptor yang paling memungkinkan ialah hukuman penjara yang tinggi sekaligus subsider. Langkah ini diambil mengingat tidak sedikit terpidana korupsi lebih memilih hukuman penjara ketimbang membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat.

Karena itulah, selain hukuman penjara dalam waktu yang cukup lama, koruptor juga harus mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan efek jera bagi koruptor, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.

Dengan hukuman yang berat, bagi siapa pun diharapkan akan merasa takut melakukan tindakan korupsi. Itu harus sungguh-sungguh dilakukan pemerintah karena korupsi adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini. Korupsi sudah menimbulkan kesengsaraan pada generasi sekarang. Karena itulah, pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan korupsi harus terus berada di front terdepan supaya calon-calon koruptor benar-benar jera dan tak berbuat tindakan yang kelak merusak negara dan bangsa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar