Ruki
Kalah dan Menyerah
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Madya Institute for Research and Development, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 05 Maret 2015
Publik sangat kecewa pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki. Pasalnya, kasus dugaan
korupsi Komjen Budi Gunawan (BG) wewenangnya kini telah dilimpahkan ke
Kejaksaan Agung (Kejagung). Di hampir media cetak pada 3 Maret kemarin
menurunkan headline "KPK Kalah, tapi Tak Menyerah". Sebuah
pemandangan yang tidak biasa pun terjadi. Satu per satu pegawai KPK
bergantian berorasi. Mereka yang mengatasnamakan Wadah Pegawai KPK membuat
barisan di depan gedung dengan disaksikan langsung oleh Ruki sebagai
pemimpin. Mereka kecewa dengan keputusan pelimpahan wewenang kasus BG ke Kejagung.
Meski Ruki berjanji bahwa kasus BG bukan kiamat bagi KPK,
ia memastikan pemberantasan korupsi harus terus berlanjut. Pihaknya masih
mengantongi 36 kasus lainnya untuk diselesaikan. Namun, publik sangat sangsi
akan pernyataan itu, bahkan publik menganggap Ruki sebagai "orang
titipan". Kelenturan terhadap pelaku kejahatan korupsi seperti
pelimpahan wewenang justru menjadi bumerang bagi KPK. Kepercayaan publik pada
KPK semakin merosot setelah kriminalisasi pemimpin KPK Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto. Mestinya Ruki menaikkan lagi pamor KPK sehingga kepercayaan
publik kembali pulih. Namun, publik sudah telanjur kecewa terhadap Ruki.
Memang kuat dugaan publik selama ini bahwa sedang terjadi
pelemahan KPK secara sistemik. Pada awal 2014 publik juga masih ingat,
pemerintah di bawah Presiden SBY dan DPR ketika itu akan mengembalikan lagi
delik korupsi ke dalam KUHP dan KUHAP. Kini semakin kuat pula dugaan publik
kasus-kasus korupsi tampaknya akan dilimpahkan ke Kejagung dan Polri. Jika
demikian, KPK sebagai lembaga ad hoc secara otomatis akan bubar.
Pelemahan KPK tak hanya dilakukan kekuatan di bawah para
koruptor, tetapi juga dimainkan institusi negara. DPR mungkin merupakan
institusi negara yang akhir-akhir ini secara kasatmata kurang mendukung eksistensi
KPK. Alih-alih memperkuat, DPR justru berusaha melemahkan KPK yakni melalui
upaya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Para politikus
Senayan berupaya memangkas ketajaman kewenangan KPK. Wewenang itu antara lain
penyadapan dan penuntutan. Sejumlah pihak menilai upaya tersebut adalah jalan
masuk untuk melumpuhkan KPK.
Jika korupsi dinyatakan sebagai extraordinary crime, semestinya penegakan hukumnya pun harus
tajam. Negeri Tirai Bambu, misalnya, sangat keras menghukum koruptor di tiang
gantungan. Negeri ini mestinya berkaca dari Tiongkok, bukannya menggerogoti
KPK dari dalam.
Setelah Orde Baru tumbang, berbagai pihak pendukung
hukuman yang berat, utamanya bagi koruptor. Banyak pihak selalu mengacu ke
Tiongkok dan memuji berbagai usaha Tiongkok dalam menumpas penyakit korupsi
yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan
para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku
korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Tiongkok dan
dari kebijakannya dalam memberantas korupsi.
Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770
orang dieksekusi di Tiongkok pada 2005 dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati.
Beberapa ahli hukum Tiongkok memperkirakan sebetulnya jumlah yang
sesungguhnya jauh lebih besar dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per
tahun. Pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10.000 orang yang
dieksekusi.
Bahkan sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi
mati terhadap para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Tiongkok, Xiao Yang,
ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman
mati apabila masih mungkin memberi hukuman yang lebih ringan.
Mahkamah Agung Tiongkok menyetujui amendemen terhadap
undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi. Mahkamah Agung
Tiongkok akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh hukuman mati.
Gerakan ini dilihat sebagai jawaban terhadap meningkatnya kritik publik
terhadap meluasnya praktik hukuman mati secara sewenang-wenang (Rainer Adam,
2007).
Setiap negara memang memiliki alasan tersendiri untuk
memberlakukan hukuman bagi mafia dan koruptor. Kasus di Tiongkok mungkin yang
paling ekstrem di mana koruptor berakhir di tiang gantungan. Melihat hukuman
mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM maka
hukuman berat apa yang harus dijatuhkan, sehingga benar-benar efektif dan
menimbulkan efek jera.
Hukuman yang memberatkan bagi mafia dan koruptor yang
paling memungkinkan ialah hukuman penjara yang tinggi sekaligus subsider.
Langkah ini diambil mengingat tidak sedikit terpidana korupsi lebih memilih
hukuman penjara ketimbang membayar denda karena hukuman penjara relatif
singkat.
Karena itulah, selain hukuman penjara dalam waktu yang
cukup lama, koruptor juga harus mengembalikan uang negara yang semula
dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan efek jera bagi koruptor, tuntutan
hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar
denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat
diselamatkan.
Dengan hukuman yang berat, bagi siapa pun diharapkan akan
merasa takut melakukan tindakan korupsi. Itu harus sungguh-sungguh dilakukan
pemerintah karena korupsi adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini.
Korupsi sudah menimbulkan kesengsaraan pada generasi sekarang. Karena itulah,
pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan korupsi harus terus
berada di front terdepan supaya
calon-calon koruptor benar-benar jera dan tak berbuat tindakan yang kelak
merusak negara dan bangsa kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar