Kamis, 05 Maret 2015

Politik Menjadi Panglima Pemberantasan Korupsi

Politik Menjadi Panglima Pemberantasan Korupsi

Ahmad Khoirul Umam   ;  Research Associate di The Indonesian Institute (TII) ;
Kandidat Doktor Ilmu Politik di The University of Queensland, Australia,
dengan fokus kajian Politik Anti-Korupsi di Negara Berkembang
JAWA POS, 04 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

IKRAR kekalahan yang disampaikan pimpinan KPK yang baru atas keputusan pelimpahan kasus dugaan korupsi Komjen Pol Budi Gunawan dari KPK kepada Kejaksaan Agung membuat masyarakat pendukung gerakan antikorupsi kecewa. Optimisme terhadap agresivitas pemberantasan korupsi di bawah formasi pimpinan sementara KPK itu menjadi kabur. Tidak ayal, sikap kritis dan aksi penolakan atas keputusan tersebut menyeruak di antara gerakan masyarakat sipil dan bahkan internal pegawai KPK sendiri.

Keputusan pelimpahan kasus BG (Budi Gunawan) yang diambil melalui forum konsultasi pimpinan KPK yang baru, Kejaksaan Agung, Polri, Menkumham, dan Menkopolhukam kemarin (2/3/2015) menyiratkan pesan jelas bahwa kepentingan menjaga stabilitas politik dalam negeri telah ditempatkan sebagai prioritas utama ketimbang agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi itu sendiri. Barangkali terselip niat baik bahwa dengan mengompromikan pelimpahan kasus BG ke Kejagung, potensi konfrontasi antarlembaga antikorupsi dalam skala yang lebih besar tidak berlanjut dan eksistensi KPK dapat diproteksi dari berbagai gempuran dan pelemahan yang tengah dilancarkan beragam cabang kekuasaan dan lembaga penegakan hukum.

Kendati demikian, keputusan itu justru berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap institusi KPK. Bahkan, mosi tidak percaya yang ditunjukkan Wadah Pegawai (WP) KPK (3/3/2015) terhadap sikap pimpinan KPK yang baru menjadi fakta empiris bahwa gangguan soliditas kelembagaan telah menghantui KPK secara institusi. Pembusukan dan terkoyaknya soliditas internal KPK itulah yang selama ini dinanti-nanti para pihak yang merasa terancam oleh manuver dan agresivitas KPK dalam agenda jihad melawan korupsi. Semua pihak sudah belajar dari beberapa pengalaman bahwa penghancuran KPK sulit dilakukan melalui serangan eksternal karena benteng pertahanan masyarakat sipil serta media yang kritis dan independen begitu kuat. Sebaliknya, justru pembusukan internal itulah yang menjadi strategi ampuh untuk menjinakkan agresivitas KPK.

Sikap penolakan Wadah Pegawai KPK terhadap keputusan pimpinan KPK melimpahkan kasus BG ke Kejagung itu menjadi pertaruhan dan ujian tersendiri bagi kadar legitimasi pimpinan baru di kalangan internal KPK. Dengan latar belakangnya sebagai senior dan purnawirawan Polri, Taufiqurahman Ruki yang dipercaya sebagai pucuk pimpinan sementara KPK diharapkan mampu memuluskan komunikasi dengan institusi Polri untuk mengungkap kasus BG secara terang- benderang melalui tangan KPK. Tetapi, sikapnya menerima pelimpahan kasus BG ke Kejagung tersebut seolah mengingatkan publik kepada ritme kepemimpinan Ruki pada periode pertama KPK.

Selain dianggap berhasil meletakkan fondasi di awal berdirinya lembaga KPK, sejumlah penggiat antikorupsi kala itu menggarisbawahi bahwa kepemimpian awal KPK kala itu bernuansa ’’tebang pilih’’, cenderung menyasar koruptor-koruptor yang tidak memiliki kekuatan politik, yakni mereka yang umumnya berada di luar lingkaran kekuasaan. Dalam konteks penanganan kasus BG itu, muncul kekhawatiran bahwa Ruki masih menggunakan ritme dan gaya kepemimpinan yang sama demi tujuan alternatif yang tentu tidak kalah penting, yakni menghindarkan KPK dari serangan destruktif pihak-pihak yang merasa kepentingannya terkoyak oleh manuver KPK.

Sikap Indriyanto Senoaji, pimpinan sementara KPK lainnya, yang menggunakan argumentasi prosedural mengenai keengganan KPK mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan karena lembaga penegak hukum laiknya KPK tidak bisa mengajukan PK sebagaimana diatur oleh KUHAP, juga tetap kurang mampu meyakinkan publik terhadap keseriusan pimpinan KPK untuk pasang badan guna menyelesaikan kasus BG. Pimpinan KPK harus mampu menjelaskan secara meyakinkan, baik terhadap publik maupun kepada kalangan internal lembaganya, bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata atas pertimbangan kalkulkasi politik.

Bagimanapun, sikap kritis publik dan internal KPK terhadap keputusan pelimpahan kasus BG dari KPK ke Kejagung yang, tampaknya, juga akan kembali dilimpahkan ke Polri sangat dapat dimengerti. Tidak jelasnya komitmen, keseriusan, dan rekam jejak kinerja institusi Polri dan Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkan aktor-aktor besar (the big fishes) menjadi alasan mendasar kepercayaan publik relatif lemah terhadap dua lembaga konvensional antikorupsi tersebut. Penyelesaian kasus Komjen Pol Susno Duadji –yang dalam proses ’’pull bucket’’ KPK diduga menerima suap Rp 10 miliar dari nasabah Bank Century tiba-tiba di tangan Polri berubah menjadi kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar– menyisakan pengalaman tersendiri. Karena itu, pimpinan KPK sebelumnya pasang badan saat terjadi tarik ulur kasus Irjen Pol Djoko Susilo dengan institusi Polri karena dikhawatirkan akan berakhir sama dengan penyelesaian kasus Susno Duadji.

Masyarakat tidak mengharapkan agenda pemberantasan korupsi sekadar menjadi proses ’’basa-basi’’ yang ujung-ujungnya diarahkan untuk memproteksi kepentingan individu dan kelompok yang berusaha menggunakan legitimasi kelembagaannya agar terhindar dari tebasan pedang keadilan. Masyarakat sudah terlalu sering dipaksa untuk menyaksikan lembaga penegak hukum bersikap enggan mengusut praktik korupsi para aktor besar yang berlindung di balik kebesaran nama lembaga eksekutif, legistilatif, hingga lembaga penegak hukum itu sendiri hanya dengan alasan ’’demi menjaga stabilitas perpolitikan nasional’’. Di sejumlah negara berkembang, banyak pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan aktor besar terpaksa ’’dimandulkan’’ karena dianggap tidak produktif dan hanya akan menciptakan gonjang-ganjing serta instabilitas politik yang justru mengacaukan laju pembangunan.

Tentu sikap semacam itu berpotensi melukai rasa keadilan publik. Terlebih lagi, pilihan-pilihan sikap dan keputusan semacam itu justru akan memperburuk kondisi negara dalam jangka panjang. Ketika penegakan hukum yang seharusnya menjadi panglima dalam pembangunan kembali dipaksa tunduk dan menyesuaikan kepada proses-proses politik yang bersifat kompromistis dan negotiable, keberlanjutan pembangunan justru akan terancam (Kjaer, 2004). Pada level tertentu, kondisi semacam itu bakal kembali menggiring negara ini kepada kelaziman praktik monopoli penegakan hukum bahwa elite penguasa dan elite lembaga penegak hukum tidak akan tersentuh (untouchable). Hukum kembali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penguasa akan memiliki kemampuan lebih besar untuk menegosiasikan dan mengompromikan siapa pihak yang akan dijadikan target atau tidak menjadi target dalam agenda pemberantasan korupsi. Alhasil, agenda pemberantasan korupsi akan kembali terjerembap ke jurang yang lebih dalam sehingga langkah-langkah antikorupsi bakal menjadi lebih rentan (vulnerable) terhadap manipulasi, intervensi, dan tekanan politik.

Untuk kali kesekian, tarik ulur penanganan kasus itu akan menjadi pertaruhan legitimasi pemerintahan Jokowi-JK saat ini. Belajar dari pengalaman konfrontasi Cicak-Buaya jilid I dan II, serta kasus-kasus serupa yang terjadi di Hongkong, Thailand, dan Singapura, lagi-lagi pimpinan puncak politik dan pemerintahan (the top political and governmental leader), dalam konteks ini presiden, akan kembali dihadapkan kepada dilema besar untuk menyinergikan lembaga-lembaga negara dan sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Pemerintahan Jokowi-JK dapat belajar dari pilihan politik Presiden Yudhoyono saat menetapkan otoritas pengusutan kasus Irjen Djoko Susilo ke tangan KPK pada 2012. Meskipun respons Yudhoyono agak terlambat saat itu, langkah tersebut terbukti ampuh meredam gejolak politik dan tergerusnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan di level grassroots.

Jika pilihan pemerintahan Jokowi-JK yang diwakili lembaga-lembaga eksekutif di bawah presiden laiknya Menkum HAM, Menkopolhukam, Polri, dan Kejagung tetap keukeuh melimpahkan pengusutan kasus BG ke Kejagung hingga akhirnya kembali di tangan Polri, Presiden Jokowi sudah kembali mempertegas ’’di mana sejatinya’’ posisi pemerintahannya dalam agenda pemberantasan korupsi yang sesungguhnya. Masyarakat tentu sepakat bahwa Polri dan Kejagung harus diperkuat agar menjadi lembaga antikorupsi yang lebih akuntabel dan dipercaya publik. Kendati demikian, keputusan mengalihkan otoritas pengusutan kasus seseorang kepada lembaga asal yang bersangkutan hingga potensial membuka terjadinya konflik kepentingan (conflict of interests) benar-benar bukan cara yang tepat untuk mewujudkan harapan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar