Kamis, 05 Maret 2015

Matahari Reformasi Itu Kian Redup

Matahari Reformasi Itu Kian Redup

Laode Ida   ;  Sosiolog di Jurusan Sosiologi UNJ,
Mantan Ketua DPD RI 2004-2014
KORAN SINDO, 04 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Munas Partai amanat Nasional (PAN) di Denpasar, Bali telah berlangsung dengan suasana tegang akibat pertarungan dua kubu utama, yakni Hatta Rajasa (HR) dan Zulkifli Hasan (ZH) yang ditopang kuat oleh Amien Rais (AR).

ZH terpilih sebagai ketum PAN periode 2015-2020 dengan kemenangan yang sangat tipis, hanya selisih enam suara (ZH 292, HR 286). Atmosfer politik seperti itu juga diperkeruh dengan pidato AR, ketua MPP PAN, pada pembukaan munas (28/2) yang secara terbuka melontarkan sindiran dan serangan kasar terhadap HR, sehingga sangat terkesan faktor etika dalam komunikasi politik sudah terabaikan.

Banyak pihak pun menilai bahwa sikap AR yang dianggap tak pantas itu dipertontonkan, lebih karena kejengkelannya pada HR di satu pihak dan keinginan kerasnya untuk memenangkan ZH yang tak lain adalah besannya sendiri. Konflik atau ketegangan di internal PAN seperti itu barangkali merupakan bagian dari produk demokrasi dengan psikopolitik para aktornya yang sedang galau.

PAN tak lagi berada di dalam barisan kekuasaan eksekutif seperti setidaknya dialami selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY, yang barangkali posisinya sekarang ini dianggap sebagai bagian dari kesalahan HR dalam lima tahun memimpin parpol berlambang matahari bersinar itu. Pada saat yang sama, barangkali juga AR masih terus merasa sebagai “pemilik parpol” sehingga apa pun yang dikatakannya harus dianggap sebagai fatwa untuk dipatuhi oleh semua orang PAN.

Kepemimpinan HR di PAN sebenarnya “tak jelek-jelek amat”. Ia mampu mempertahankan PAN pada posisi tengah, posisi sama seperti saat dipimpin AR. HR juga tampil sebagai cawapres bersama Prabowo, yang tak lain didukung secara kuat oleh AR dan ZH. Tetapi namanya juga politik yang sarat dengan intrinsikdan“ akal-akalan”, jika ada kepentingan lain maka suasananya akan segera berubah, teman bisa jadi lawan dan jika perlu “dibuat terkapar” yang momentumnya seperti terjadi dalam pemilihan ketum PAN di Bali itu.

Tetapi masih untung tak terjadi seperti Golkar dan PPP yang hingga tulisan ini dibuat kepemimpinannya masih saja terjadi dualisme, buntut dari pertarungan pemilihan pemimpin. PAN kemungkinan akan solid lagi. Hanya pertanyaannya, adakah relevansi antara pergantian kepemimpinan di PAN dan gerakan untuk kembali ke khitahnya sebagai parpol reformasi? Saya masih sangat meragukan itu terjadi dalam gerakan politik PAN ke depan.

Soalnya, dan inilah yang memprihatinkan, selama ini para politisi PAN tak bedanya dengan parpol lain, yakni larut dalam pragmatisme. Tepatnya, tak bisa dibantah lagi terjadi kecenderungan sirnanya nilai-nilai reformasi dalam tubuh, misi, dan gerakan PAN selama ini dan ke depan. Padahal, lambang parpol itu adalah matahari, simbol pencerah penerangan yang kekal mengitari bumi ini. Jika di era Orde Baru dianggap “gelap”, sarat praktik korupsi dan otoriter, maka berdirinya PAN yang dibidani dan dikawal oleh para penggerak reformasi sebenarnya diharapkan tetap konsisten berada pada misi khitah nya itu.

Tetapi, jika jujur diakui, harapan itu bagai mimpi di siang bolong, hanya berupa bayangan fatamorgana. PAN telah eksis “sangat tak berbeda” dengan parpol-parpol lain yang berperan di era reformasi ini, baik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa fakta lapangan yang berlangsung selama ini dan sulit terbantahkan antara lain. Pertama , praktik korupsi yang dilakukan sejumlah kadernya mulai daerah sampai tingkat nasional.

Sebagian di antaranya sudah masuk bui (sudah keluar dan sebagian masih dalam hotel prodeo) dan sebagian sudah kerap berurusan dengan KPK dan konon ada sudah masuk dalam daftar tunggu untuk diperiksa oleh lembaga antirasuah itu, termasuk di dalamnya pemilik rekening gendut. Merekamereka itu agaknya tetap dibiarkan berperan penting di PAN yang, konon, karena dianggap sebagai bagian dari “sumber pemasukan” dari sebagian elite parpol.

Prof Amien Rais pun tampaknya bukan saja seolah-olah tak mau tahu dengan kenyataan seperti itu, melainkan barangkali akan tetap menjadikan mereka berperan menentukan di PAN pasca-Munas Bali ini. Kedua, PAN telah membiarkan terjadinya praktik “membangun dinasti keluarga” dalam politik dan bisnis. Misalnya, di sejumlah daerah praktik dinasti bahkan dipaksakan oleh sejumlah kepala daerah yang dipimpin oleh orang-orang PAN dengan bernaung di bawah isu demokrasi.

Para istri pejabat itu, anak-anak mereka, saudara kandung, sepupu, mertua, dan sejenisnya, disodorkan untuk dipilih oleh rakyat dengan caracara yang tidak sehat, untuk jadi pejabat politik (anggota DPR, DPD, dan atau DPRD). Para pejabat bawahan pun terpaksa harus tunduk pada “instruksi kejahatan reformasi” itu, sebab jika tidak maka akan berisiko pada penyingkiran paksa mereka dari jabatan strategi yang dihadiahkan oleh pejabat kepala daerah (asal PAN) yang mengangkat mereka.

Ini sebenarnya jadi “musuh inti” (main enemy) perjuangan reformasi yang jadi bagian dari kata-kata yang keluar dari mulut Prof Amien Rais di era pengujung kepemimpinan Presiden Soeharto, bagian dari komponen “berantas KKN”. Pada saat yang sama, juga terjadi dalam pengangkatan pejabat lokal yang berasal dari unsur keluarga dan sejenisnya. Demikian dalam kebijakan proyek atau bisnis yang begitu vulgar ditangani oleh keluarga pejabat asal PAN.

Tepatnya, sebagian orang PAN yang jadi pejabat telah membangun dinasti dengan menggunakan tiga pilar yang dikuasai: politik, birokrasi, dan bisnis (proyek). Pihak pendiri PAN, lagi-lagi, telah membiarkan praktik itu berlangsung sehingga bisa dicurigai sebagai hipokrit dan sekaligus barangkali karena memperoleh bagian materi dari proses-proses itu. Ketiga , dan ini yang paling mutakhir, sikap PAN sangat tidak jelas bahkan terkesan mendukung kriminalisasi dari pimpinan KPK dan sekaligus gerakan amputasi lembaga antirasuah yang independen itu.

Seharusnya, jika benar Prof Amien Rais konsisten dengan perjuangannya maka para kader PAN mulai bawah sampai di parlemen diinstruksikan untuk pasang badan membela KPK, dan atau berjuang untuk jadikan KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang permanen di negeri ini. Sikap PAN seperti sekarang ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan orang-orang PAN sangat ketakutan karena sedang masuk dalam radar pantauan KPK.

Singkatnya, dalam rangka menyelamatkan oknum-oknum PAN yang bermasalah dan sekaligus pengkhianat reformasi, KPK pun secara sengaja didukung untuk dihancurkan. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan ZH nanti akan terus bersikap seperti sekarang ini? Entahlah. Kita pantau saja gerakannya pasca-Munas Bali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar