Kamis, 12 Maret 2015

Pembiayaan Partai Politik

Pembiayaan Partai Politik

Bambang Arianto  ;  Penulis
KORAN TEMPO, 12 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang sekaligus kader PDI Perjuangan mengemukakan wacana perlunya negara memberi bantuan dana sebesar Rp 1 triliun kepada setiap partai politik. Dana tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alasannya, partai politik memerlukan dana yang cukup besar untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu, pendidikan kaderisasi, serta melaksanakan program partai, termasuk menekan korupsi politik.

Dalam menyoal pembiayaan partai politik, mafhum disadari, setelah Orde Baru, bantuan negara bagi partai politik memang tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius. Berdasarkan penelitian Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem, 2014), nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya berkisar 1,3 persen dari total kebutuhan operasional partai politik per tahun. Tentu saja bantuan ini tidak sebanding dengan besaran pengeluaran untuk dana kampanye setiap partai politik.

Meskipun Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 telah mengatur sumber keuangan partai politik-di mana ada tiga sumber keuangan partai politik, yaitu (1) iuran anggota partai politik bersangkutan, (2) sumbangan yang sah menurut hukum, (3) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Realitanya, partai politik tetap mengalami kesulitan dan kebingungan mencari sumber pendanaan, apalagi dalam setiap ritual perebutan kursi jabatan publik.

Hadirnya wacana bantuan negara bagi partai politik akhirnya mengkonfirmasi tesis A.A.G.N. Ari Dwipayana (2011) soal pembiayaan gotong-royong (kasus PDI Perjuangan), yang menjelaskan bahwa pembiayaan gotong-royong merupakan fenomena yang sifatnya temporer. Padahal gagasan pembiayaan gotong-royong diharapkan banyak kalangan dapat melembagakan tata kelola pembiayaan partai sekaligus memperbaiki citra partai.

Mengutip Richard Katz dan Peter Mair dalam The Evolution of Party Organization in Europe (1994), partai politik memiliki tiga wajah, party in public office (partai di parlemen), party on the ground (partai di akar rumput), dan party in central office (partai di tataran pusat). Artinya, wajah partai politik idealnya dapat diukur dari aktivitas kader elite politik baik di parlemen, akar rumput, dan tataran pusat yang memiliki relasi sebagai mesin pendeteksi keberhasilan partai politik terutama dalam proses penggalangan dana. Walhasil, wacana bantuan partai politik setidaknya akan membuat elite partai cenderung bertindak mandiri.

Eksesnya akan melunturkan partisipasi serta hilangnya keswadayaan yang akan menciptakan semakin lemahnya ikatan emosional antara warga di akar rumput dengan partai-yang sekaligus berdampak menguatnya sentimen antipartai.

Karena itu, wacana bantuan bagi partai politik seyogianya dibatalkan, karena tidak memiliki dampak yang signifikan bagi pelembagaan partai, terutama aspek kemandirian. Sebelum partai politik memiliki tata kelola manajemen yang baik, terutama soal sistem dan manajemen keuangan, akan sia-sia memberikan bantuan kepada partai politik. Sebab, tidak ada jaminan sindrom korupsi politik dapat ditekan apalagi dihilangkan. Namun, jika partai politik tetap mengemis kepada negara agar dapat bertahan hidup-hal itu menegaskan bahwa gejala pembiayaan partai kartel semakin melembaga di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar