Akik
dan Jebakan Monkey Business
Susidarto ; Pencinta
sekaligus pelestari batu mulia
|
JAWA
POS, 12 Maret 2015
ALKISAH, di sebuah desa, ada seorang kaya raya yang
mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp 50 ribu per ekor. Padahal,
monyet di sana sama sekali tidak berharga karena jumlahnya sangat banyak dan
kerap dianggap sebagai hama pemakan tanaman buah-buahan. Para penduduk desa
yang menyadari banyaknya monyet di sekitar desa pun lantas mulai masuk hutan
dan menangkapnya satu per satu.
Kemudian, si orang kaya membeli ribuan ekor monyet itu
dengan harga Rp 50 ribu. Karena penangkapan secara besar-besaran, akhirnya
monyet-monyet semakin sulit dicari. Penduduk desa pun menghentikan usahanya
untuk menangkapi monyet-monyet tersebut. Maka, si orang kaya pun sekali lagi
kembali mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp 100 ribu per ekor.
Tentu saja hal itu memberikan semangat dan ’’angin segar’’ bagi penduduk desa
untuk kemudian memulai lagi menangkapi monyet.
Tidak berapa lama, jumlah monyet pun semakin sedikit dari
hari ke hari dan semakin sulit dicari. Kemudian, penduduk kembali ke
aktivitas seperti biasanya, yaitu bertani. Karena monyet kini telah langka,
harga monyet pun meroket naik hingga Rp 150 ribu per ekor. Tetapi, tetap saja
monyet sudah sangat sulit dicari. Sekali lagi, si orang kaya mengumumkan
kepada penduduk desa bahwa dia akan membeli monyet dengan harga Rp 500 ribu
per ekor.
Namun, karena si orang kaya harus pergi ke kota karena
urusan bisnis, asisten pribadinya menggantikan sementara atas namanya. Tanpa
kehadiran si orang kaya, si asisten pun berkata kepada penduduk desa, ’’Lihatlah monyet-monyet di kurungan besar
yang dikumpulkan si orang kaya itu. Saya akan menjual monyet-monyet tersebut
kepada kalian dengan harga Rp 350 ribu per ekor. Saat si orang kaya kembali,
kalian bisa menjualnya kembali kepada si orang kaya dengan harga Rp 500 ribu.
Bagaimana?’’
Akhirnya, penduduk desa pun mengumpulkan uang simpanan
mereka dan membeli seluruh monyet di kurungan. Namun, ternyata, penduduk desa
tidak pernah lagi melihat si orang kaya maupun si asisten di desa itu.
Penduduk desa akhirnya meringis karena sudah kehilangan cukup banyak uang
karena jebakan yang dipasang mafia perdagangan monyet. Akhirnya, fenomena
tersebut dikenal orang sebagai monkey
business. Masyarakat desa akhirnya terjebak dan terperangkap dalam monkey business.
Fenomena Akik
Fenomena itu pernah kita alami dengan tanaman aglonema,
pohon anthurium, dan ikan louhan. Sama dengan semua barang yang kita beli,
tetapi bukan karena kita membutuhkannya. Demikian pula dalam demam batu akik
yang terjadi belakangan ini, berpotensi muncul jebakan monkey business. Pada zaman kejayaannya, tanaman dan ikan itu
memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Bahkan, ada yang mencapai Rp 2 miliar
untuk jenis anthurium jemani.
Padahal, di luar sana, harga anthurium tidak
semahal itu. Rata-rata hanya puluhan dolar, sesuailah dengan value for money sebuah objek hobi
Di Indonesia, harganya sungguh menjadi tidak rasional.
Pengusaha nursery di luar negeri bahkan terkaget-kaget melihat wisatawan
Indonesia yang memborong anthurium
berapa pun harga tanaman dibuka. Ada semacam penggiringan opini untuk
menaikkan harga pasar. Tetapi, naiknya tren karena penggiringan alias
pencitraan tidak akan berlangsung lama. Tren louhan, aglonema, dan anthurium
hanya berlangsung dua tahunan. Kini harga tiga item itu pada batas
kewajaran.
Monkey business adalah sebuah permainan yang
diawali satu atau beberapa pihak pemodal besar yang mendesain agar suatu
komoditas bernilai tertentu. Perlahan namun pasti, komoditas tersebut bakal
mempunyai nilai yang terus bertambah, kendati komoditas itu tidak memiliki
manfaat yang jelas serta ilmiah. Kemudian, dengan suatu cara, para pemodal
akan mendapat keuntungan karena telah menyusun skenario. Ketika barang itu
mencapai puncak booming, mereka melepas stok yang disiapkan sejak lama.
Setelah itu, karena terlalu banyak suplai di pasaran dan permintaan yang tidak
sebanding, perlahan harga barang tersebut otomatis turun mengikuti mekanisme
pasar mencari harga yang wajar.
Batu bacan, batu giok Aceh, biosolar, serta batu mulia
lain yang harganya sangat fantastis bukan tidak mungkin terkena jebakan monkey business tersebut. Memang, batu
mulia termasuk un-renewable resources
(sumber daya alam tidak terbarukan) yang sangat berbeda dengan fenomena
anthurium, aglonema, dan louhan (renewable
resources). Namun, jika tidak berhati-hati dalam melangkah, bukan tidak
mungkin kita semua akan terjebak dalam lingkaran setan monkey business
tersebut. Maklum, kondisi masyarakat kita yang sering latah akan dimanfaatkan
oleh para (mafia) pebisnis untuk meningkatkan nilai komoditas.
Terlebih, dalam hal akik, tidak terdapat manfaat ekonomis
nyata yang dapat diasosiasikan dengan batu alam tersebut. Memang, bagi
sebagian kalangan, kepemilikan akik memberikan manfaat berupa kenikmatan atau
utilitas subjektif. Kenikmatan yang diperoleh seseorang dari memiliki atau
menggunakan sebuah cincin akik akan memberikan nilai subjektif pada batu
akik, tetapi bukan nilai intrinsik yang objektif. Itulah fenomena emosional
yang akan menggiring orang ke arah bisnis yang irasional dan ujungnya terkena
jebakan monkey business yang hanya menguntungkan segelintir orang atau
kelompok.
Sejarah sudah membuktikan, sesuatu yang lahir dari
pencitraan atau penggiringan opini akan bertahan sesaat saja. Selanjutnya,
warna atau nilai aslinya akan memudar dan dengan mudah terbaca. Karena itu,
masyarakat pencinta dan pelestari batu akik harus rasional dalam memandang
booming akik ini dalam koridor yang sehat. Dengan cara pandang dan paradigma
semacam itu, kita justru akan menemukan harga standar yang sesungguhnya dari
sebuah batu permata/mulia. Yakni, sebuah harga riil batu mulia yang tercipta
karena mekanisme pasar yang wajar, sehat, serta proporsional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar