Klenik
Supersemar
Asvi Warman Adam ; Visiting
Research Scholar pada CSEAS Kyoto University
|
KORAN
TEMPO, 11 Maret 2015
Diorama pada Monumen Nasional
(Monas) sebetulnya sudah dirancang pada tahun 1964. Rancangan ini mengalami
berbagai perubahan pada masa era Orde Baru (tahun 1970). Diorama yang terkait
Soekarno seperti lahirnya Pancasila 1 Juni, Dekrit Presiden 1959 dan Ganefo
1963 dihilangkan dan diganti dengan diorama Kesaktian Pancasila 1 Oktober.
Diorama Supersemar ditambahkan belakangan.
Tanggal 11 Maret 1977 rencananya
Presiden Suharto akan meninjau atau meresmikan diorama Supersemar tersebut.
Namun malam sebelumnya hujan lebat turun di Jakarta , daerah Monas
kebanjiran, tinggi air di sekitar diorama 30 cm. Acara resmi itu ditunda
selama sepekan. Menurut klenik, Bung
Karno menangis dari dalam makamnya sehingga air pun mengucur deras dari atas
langit.
Diorama Supersemar itu dibuat pada
tahun 1976 dengan melakukan rekonstruksi
terlebih dahulu di Jalan Agus Salim, rumah Soeharto tahun 1965.
Rekonstruksi itu dihadiri sendiri oleh Presiden Soeharto, Jenderal Amir
Machmud, Jenderal Jusuf dan Brigadir Jendral Nugroho Notosusanto. Terjadi
diskusi apakah Soeharto dalam peristiwa digambarkan memakai seragam lengkap
tentara atau memakai piyama. Kalau memakai seragam tampaknya itu kurang masuk
akal, karena diberitakan bahwa tanggal 11 Maret 1966 Soeharto tidak
menghadiri sidang kabinet gara-gara sakit. Sebaliknya kalau memakai piyama
tampaknya kurang berwibawa. Namun pada akhirnya digambarkan Soeharto sedang
terbaring di tempat tidur sedangkan tiga orang Jenderal duduk di kursi di
samping ranjang. Ini untuk memperlihatkan kepasifan Soeharto (McGregor, 2002,
hal 117) bahwa sebetulnya ia tidak berniat apalagi bernafsu untuk mengambil
kekuasaan.
Tentu hal ini akan terbantah bila
masyarakat mengetahui apa yang terjadi tanggal 6 Maret 1966 seperti
diceritakan dalam biografi Hasjim Ning dan
Alamsjah Ratu Prawiranegara. Pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, Dassaat
dan Hasjim Ning diutus (dengan membawa surat dari Suharto) untuk menemui
Presiden Sukarno di Istana Bogor, meminta agar BK menyerahkan pemerintahan
kepada Suharto. Sukarno marah dan sempat melempar asbak, “Kamu sudah pro
Suharto”.
Tahun 2013 saya dihubungi oleh
seorang putra seorang kiai di Jawa Timur. Di rumah
terdapat Supersemar yang sudah diberi pigura dan terkesan antik.
Ia menanyakan kepada saya keaslian surat tersebut. Dokumen itu menurutnya
diperoleh dari Soedjono Hoemardani yang pernah menjadi asisten pribadi
Jenderal Soeharto. Hoemardani meminta kepada sang kiai untuk mendoakan
pengemban Supersemar tersebut. Surat itu setelah diperiksa di ANRI (Arsip
Nasional Republik Indonesia) ternyata tidak otentik.
Tahun 2014 saya ditemui seorang
perempuan Indonesia yang bermukim di Australia. Ia mengatakan pernah menjadi
sekretaris seorang Jenderal yang menjabat Wakasad. Menurutnya ketika Dewi
Soekarno akan berangkat ke Jepang pasca Supersemar 1966, ia dihadiahi Bung
Karno sepucuk keris dan sebuah lukisan wanita cantik. Keris itu disita oleh
pihak keamanan dan entah bagaimana akhirnya jatuh ke tangan perempuan
tersebut. Saya bukan ahli keris, ujar saya ketika pusaka itu diperlihatkan.
Perempuan ini juga mengaku memiliki lukisan yang dibeli dari sebuah rumah lelang di India yang konon
dijual oleh Dewi Soekarno. Konon di balik lukisan wanita cantik itu tersimpan
tembusan Supersemar yang semula dimiliki oleh Soekarno.
Jalan Keluar
Imajinasi masyarat
yang berbaur dengan klenik akan berkembang terus kalau pemerintah tidak
mendudukkan perkaranya secara benar. Pertama, perlu ditetapkan Supersemar sebagai bagian dari
DPA (Daftar Pencarian Arsip) yang kegiatannya dianggarkan oleh negara. Kedua,
penulisan sejarah Supersemar di sekolah harus dikoreksi. Tiga orang Jenderal
datang ke Bogor bukan untuk menemani Bung Karno yang kesepian sebagaimana
ditulis dalam buku pelajaran. Tidak ada ancaman senjata tetapi proses
pemerolehan Supersemar itu dilakukan dengan tekanan. Tanggal 6 Maret 1966 Soeharto telah
mengutus dua pengusaha yang dianggap dekat dengan Bung Karno untuk membujuk
beliau menyerahkan pemerintahan
sehari-hari kepada Soeharto, Soekarno tetap berstatus Presiden. Dan ini ditolak
tegas oleh Soekarno. Dokumen yang otentik belum ditemukan namun substansi
dari berbagai versi Supersemar yang ada di ANRI tetap sama bahwa itu
merupakan penugasan yang harus dilaporkan kembali kepada Presiden Soekarno
(dan pelaporan itu tidak dilakukan Soeharto). Terdapat interpretasi yang berbeda
terhadap makna surat tersebut antara Mayjen Amir Machmud yang menganggap
sebagai pelimpahan kekuasaan dengan Soekarno sendiri yang memandang “bukan
transfer of authority”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar