Kamis, 12 Maret 2015

Klenik Supersemar

Klenik Supersemar

Asvi Warman Adam  ;  Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto University
KORAN TEMPO, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Diorama pada Monumen Nasional (Monas) sebetulnya sudah dirancang pada tahun 1964. Rancangan ini mengalami berbagai perubahan pada masa era Orde Baru (tahun 1970). Diorama yang terkait Soekarno seperti lahirnya Pancasila 1 Juni, Dekrit Presiden 1959 dan Ganefo 1963 dihilangkan dan diganti dengan diorama Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Diorama Supersemar ditambahkan belakangan. 

Tanggal 11 Maret 1977 rencananya Presiden Suharto akan meninjau atau meresmikan diorama Supersemar tersebut. Namun malam sebelumnya hujan lebat turun di Jakarta , daerah Monas kebanjiran, tinggi air di sekitar diorama 30 cm. Acara resmi itu ditunda selama sepekan. Menurut klenik,  Bung Karno menangis dari dalam makamnya sehingga air pun mengucur deras dari atas langit.

Diorama Supersemar itu dibuat pada tahun 1976 dengan melakukan rekonstruksi  terlebih dahulu di Jalan Agus Salim, rumah Soeharto tahun 1965. Rekonstruksi itu dihadiri sendiri oleh Presiden Soeharto, Jenderal Amir Machmud, Jenderal Jusuf dan Brigadir Jendral Nugroho Notosusanto. Terjadi diskusi apakah Soeharto dalam peristiwa digambarkan memakai seragam lengkap tentara atau memakai piyama. Kalau memakai seragam tampaknya itu kurang masuk akal, karena diberitakan bahwa tanggal 11 Maret 1966 Soeharto tidak menghadiri sidang kabinet gara-gara sakit. Sebaliknya kalau memakai piyama tampaknya kurang berwibawa. Namun pada akhirnya digambarkan Soeharto sedang terbaring di tempat tidur sedangkan tiga orang Jenderal duduk di kursi di samping ranjang. Ini untuk memperlihatkan kepasifan Soeharto (McGregor, 2002, hal 117) bahwa sebetulnya ia tidak berniat apalagi bernafsu untuk mengambil kekuasaan.

Tentu hal ini akan terbantah bila masyarakat mengetahui apa yang terjadi tanggal 6 Maret 1966 seperti diceritakan dalam biografi Hasjim Ning dan Alamsjah Ratu Prawiranegara. Pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, Dassaat dan Hasjim Ning diutus (dengan membawa surat dari Suharto) untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor, meminta agar BK menyerahkan pemerintahan kepada Suharto. Sukarno marah dan sempat melempar asbak, “Kamu sudah pro Suharto”.

Tahun 2013 saya dihubungi oleh seorang putra seorang kiai di Jawa Timur. Di rumah terdapat Supersemar yang sudah diberi pigura dan terkesan antik. Ia menanyakan kepada saya keaslian surat tersebut. Dokumen itu menurutnya diperoleh dari Soedjono Hoemardani yang pernah menjadi asisten pribadi Jenderal Soeharto. Hoemardani meminta kepada sang kiai untuk mendoakan pengemban Supersemar tersebut. Surat itu setelah diperiksa di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) ternyata tidak otentik.   

Tahun 2014 saya ditemui seorang perempuan Indonesia yang bermukim di Australia. Ia mengatakan pernah menjadi sekretaris seorang Jenderal yang menjabat Wakasad. Menurutnya ketika Dewi Soekarno akan berangkat ke Jepang pasca Supersemar 1966, ia dihadiahi Bung Karno sepucuk keris dan sebuah lukisan wanita cantik. Keris itu disita oleh pihak keamanan dan entah bagaimana akhirnya jatuh ke tangan perempuan tersebut. Saya bukan ahli keris, ujar saya ketika pusaka itu diperlihatkan. Perempuan ini juga mengaku memiliki lukisan yang dibeli dari  sebuah rumah lelang di India yang konon dijual oleh Dewi Soekarno. Konon di balik lukisan wanita cantik itu tersimpan tembusan Supersemar yang semula dimiliki oleh Soekarno.

Jalan Keluar

Imajinasi masyarat yang berbaur dengan klenik akan berkembang terus kalau pemerintah tidak mendudukkan perkaranya secara benar. Pertama, perlu ditetapkan Supersemar sebagai bagian dari DPA (Daftar Pencarian Arsip) yang kegiatannya dianggarkan oleh negara. Kedua, penulisan sejarah Supersemar di sekolah harus dikoreksi. Tiga orang Jenderal datang ke Bogor bukan untuk menemani Bung Karno yang kesepian sebagaimana ditulis dalam buku pelajaran. Tidak ada ancaman senjata tetapi proses pemerolehan Supersemar itu dilakukan dengan tekanan.  Tanggal 6 Maret 1966 Soeharto telah mengutus dua pengusaha yang dianggap dekat dengan Bung Karno untuk membujuk beliau  menyerahkan pemerintahan sehari-hari kepada Soeharto, Soekarno tetap berstatus Presiden. Dan ini ditolak tegas oleh Soekarno. Dokumen yang otentik belum ditemukan namun substansi dari berbagai versi Supersemar yang ada di ANRI tetap sama bahwa itu merupakan penugasan yang harus dilaporkan kembali kepada Presiden Soekarno (dan pelaporan itu tidak dilakukan Soeharto). Terdapat interpretasi yang berbeda terhadap makna surat tersebut antara Mayjen Amir Machmud yang menganggap sebagai pelimpahan kekuasaan dengan Soekarno sendiri yang memandang “bukan transfer of authority”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar