Meruwat
Para Penyeru Khilafah
Rahmatul Ummah Assaury ; Pegiat Diskusi Majelis Kamisan Cangkir
|
SATU
HARAPAN, 19 Maret 2015
Kehadiran
negara mensyaratkan adanya wilayah, rakyat, kedaulatan dan pengakuan
negara-negara lain atas kedaulatannya. Argumentasi tentang keberadaan negara
Islam masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin masih sangat bisa diterima,
karena persyaratan-persyaratan untuk disebut sebagai sebuah negara terpenuhi,
berbeda halnya dengan cita-cita pendirian khilafah Islam yang berkembang dari
kelompok-kelompok kecil dalam negara-negara yang telah berdaulat.
Gagasan
pendirian negara (khilafah) dalam negara bukan saja tak mungkin, tetapi jika
telah termasuk ide gila dan frustasi untuk mengatasi persoalan kebangsaan
yang dianggap semakin jauh dari cita-cita kesejahteraan, sehingga mereka
menuduh hal ini diakibatkan karena sandaran hukum yang dipakai hasil
cipta-nalar manusia. Para kelompok penyeru khilafah ini seakan mengabaikan
bahwa sesungguhnya interpretasi mereka terhadap teks suci agama juga adalah
hasil cipta-nalar mereka.
Keinginan
mendirikan khilafah Islam sebagaimana tersebut di atas, adalah irrasional dan
terkesan tampak hanya sebagai ilusi dari ambisi kaum fundamentalis.
Perdebatan tentang khilafah kembali dimunculkan akhir-akhir ini, ketika orang
mengalami kebuntuan berpikir untuk keluar dari persoalan-persoalan
kebangsaan, maka secara terburu-buru orang menawarkan khilafah sebagai jalan
keluar dan demokrasi dituduh sebagai biang kerok keterpurukan bangsa.
Perdebatan
panjang tentang bangunan kebangsaan, adalah perdebatan-perdebatan yang
melelahkan sejak pertama kali identitas kebangsaan ini dirumuskan, sampai
pada perdebatan keinginan untuk kembali menghidupkan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, perdebatan-perdebatan yang seharusnya telah diakhiri.
Semua
agama impor, seharusnya menyadari bahwa tak elok dan etis untuk saling
mendominasi dan menegasikan yang lain di bumi nusantara ini. Klaim paling
berjasa atas kemerdekaan republik ini, hanya akan menambah potensi rapuhnya
sendi-sendi bangunan kebangsaan yang selama puluhan tahun dijaga dan dirawat
dengan baik, dengan satu kalimat Bhinneka Tunggal Ika, common platform yang
menjadi pengikat identitas-identitas keragaman.
Agama
seharusnya mampu membangun kerjasama kemanusiaan seperti prinsip kejujuran,
keadilan, musyawarah, persamaan dan solidaritas sebagai bagian strategis
kerjasama antarumat bergama di negeri pluralistik ini. Agama-agama sudah
seharusnya lebih banyak memperbincangkan masalah kemanusiaan dalam masyarakat
ketimbang membahas masalah-masalah teologis yang standarnya seringkali
berbeda-beda antara satu dan lainnya.
Tidak
boleh ada standar ganda dalam berdialog dan kerjasama sehingga tetap
menyisakan pertanyaan, jangan-jangan kita akan dimanfaatkan dan atau kita
memanfaatkan mereka, sebab kita jauh lebih baik dari mereka. Karena perbedaan
cara pandang teologi.
Kerja
sama antarumat harus menyentuh problem-problem riil dalam masyarakat dalam
kerangka menyebarluaskan misi profetik dari yang riil di muka bumi, agama
dengan demikian tidak dihadirkan sebagai dividing
dan disintegretting
factors tetapi sebagai integretting factors.
Jika
gagasan kerjasama antaragama bisa terlaksana, gagasan tentang hidup demokrasi
antarumat beragama, dan seluruh elemen masyarakat di negeri ini akan
perlahan-lahan bisa ditemukan. Tetapi, jika antarumat beragama senantiasa
disibukkan dengan gagasan mencari perbedaan-perbedaan teologis yang telah
diyakini sebagai kebenaran tunggal atau kebenaran mutlak maka yang akan terus terjadi adalah
pertengkaran antaragama di masyarakat pluralistik.
Beranjak
dari sini, umat Islam harus berani melakukan redifinisi agama dan redifinisi
khilafah atau misinya di tengah masyarakat. Khilafah tidak harus melulu
dipahami sebagai metode menyelenggarakan negara Islam, tetapi lebih pada
upaya memberikan pelayanan dan jalan keluar atas problem-problem kemanusiaan
secara riil di masyarakat. Disitu pula, khilafah kemudian harus ditafsirkan
secara liberatif bukan pemaksaan pendirian negara Islam, sebab misi semacam
ini dalam sejarahnya telah jelas menyebabkan pertikaian dalam sejarah
agama-agama.
Sesat Pikir Khilafah
Khilafah
sering dimaknai para pegiatnya sebagai sebuah kekuasaan yang didasarkan pada
syariat Tuhan, sering pula mereka definisikan sebagai Daulah Islamiyah,
Negara Islam. Khilafah atau Negara Islam diidealkan dengan bersatunya seluruh
umat Islam di bawah satu pemerintahan dengan satu pemimpin. Cita-cita ini
menjadi realistis, seandainya kelompok yang menghendaki khilafah ini memiliki
wilayah dengan kedaulatan sendiri, termasuk pengikut yang memiliki penafsiran
tunggal dan seragam tentang konsepsi khilafah.
Pemaknaan
tersebut jelas merupakan pemaknaan yang ‘sakit’, karena faktanya umat Islam tidak memiliki
pemaknaan tunggal tentang tafsir khilafah, hatta di Arab Saudi sekalipun,
yang diyakini sebagai tempat awal berkembangnya khilafah atau daulah
islamiyah ini, tidak menerapkan sistem khilafah. Arab Saudi justeru mengelola
pemerintahannya dengan sistem dinasti dan kerajaan.
Pada
mulanya kata khalifah sendiri dapat diterjemahkan sebagai pengganti atau
perwakilan. Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di
muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan
khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai
Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa
sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa
Muhammad SAW selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa,
Panglima Perang, dan lain sebagainya.
Imam
Al Qurtubi dan Atthabari menafsirkan khalifah pada Ayat 30 Surah al Baqarah
dengan makna pengganti makhluk sebelumnya dari kalangan malaikat dimuka bumi
atau makhluk lain selain malaikat. Hal ini didasarkan kepada beberapa
riwayat, sebagaimana Ibnu Abbas RA, ”Makhluk yang pertama kali menghuni bumi
adalah jin, lalu mereka mengadakan kerusakan di muka bumi, mengalirkan darah,
dan saling membunuh satu sama lain. Lalu Allah mengutus Iblis kepada mereka
berserta pasukan malaikat lalu Iblis membunuh para jin tersebut sampai
menggiring mereka ke beberapa pulau di lautan serta ke lereng-lereng gunung.
Lalu Allah menciptakan Adam dan menempatkannya di bumi, maka inilah yang
dimaksud firman Allah, Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalaifah (pengganti)
bangsa jin di muka bumi, yang menggantikan mereka di dalamnya lalu tinggal di
dalamnya dan memakmurkannya.”
Dus,
pemaknaan khilafah dalam konteks Indonesia harus lebih diarahkan pada upaya
pencapaian kesejahteraan bersama dengan merawat dan memberdayakan isi bumi
Indonesia sebagai ciptaan Tuhan, karena memaksakan penegakan khilafah dalam
negara, bukan semata-mata akan merusak tatanan kerukunan dan keragaman
Indonesia, tetapi juga menjadi cita-cita ilegal yang akan sangat mengancam
keutuhan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar