Minggu, 15 Maret 2015

NU Dulu, NU Baru

NU Dulu, NU Baru

Arif Afandi  ;  Ketum BKS-BUMD-SI dan Dirut Wira Jatim Group
JAWA POS, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

ADA fakta baru yang menarik untuk dicermati. Kini makin banyak sekolah Islam yang berkualitas. Hampir setiap sekolah berkualitas dibanjiri peminat. Berapa pun mahalnya biaya tidak lagi menjadi persoalan. Jika dua puluh tahun lalu hanya sekolah Katolik dan Kristen yang dianggap maju, kini bertaburan tumbuh sekolah Islam bermutu, termasuk di lingkungan NU. Di setiap lokasi sekolah Islam yang demikian, kemacetan mewarnai lingkungan sekitarnya. Gara-garanya, banyaknya mobil pribadi yang mengantar siswa.

Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yang belum lama dibuka, misalnya. Perguruan tinggi milik NU tersebut sudah selalu dibanjiri peminat. Padahal, setiap calon mahasiswa kedokteran wajib membayar uang gedung minimal Rp 200 juta. ’’Kami sudah menolak banyak calon mahasiswa. Dan semua pendaftar adalah keluarga NU,’’ kata mantan Mendikbud Muhammad Nuh yang menjadi pendiri universitas tersebut.

Fakta tersebut sekadar contoh indikator tumbuh pesatnya kelas menengah santri di Indonesia. Reformasi politik tidak hanya membawa dampak pada keterbukaan politik. Peristiwa itu ternyata memunculkan kelompok ekonomi baru di kalangan santri. Makin banyak muslim yang secara ekonomi berkecukupan. Terbukanya akses politik ternyata juga membuka akses ekonomi kepada umat. Akses yang dulu terbatas pada lingkaran politik tertentu kini menjadi semakin terbuka.

Masalahnya, sudahkah kelas menengah baru di kalangan santri itu terakomodasi dalam kelembagaan NU? Apakah organisasi keagamaan yang didirikan para ulama tersebut sudah mengantisipasi lahirnya kelas menengah santri baru sebagai salah satu kekuatannya? Akankah mereka sekadar menjadi sesuatu yang tumbuh dan tersia-siakan dalam pertumbuhan NU ke depan? Sejumlah pertanyaan itu menarik diungkap menjelang Muktamar Ke-33 NU di Jombang, 1–5 Agustus 2015.

Harus diakui, konstruksi sosial di dalam tubuh NU telah berubah. Kini NU tidak hanya bisa diidentifikasi sebagai kelompok masyarakat yang tradisional, kolot, terbelakang, dan tinggal di pedesaan. Makin banyak anak keluarga santri NU yang telah mengalami mobilitas vertikal. Baik karena pendidikan maupun kekayaan. Akses politik yang makin terbuka membuat akses ekonomi warga NU ikut terkerek. Lapis menengah secara ekonomi makin tebal.

Di sisi lain, kesadaran beragama di kalangan kelompok masyarakat yang dulu dikenal sebagai kelompok abangan makin besar. Padahal, identifikasi mereka itu lebih dekat dengan Islam NU yang luwes dan menyatu dengan kebudayaan lokal. Kelompok ’’santri baru’’ dari kelompok abangan masa lalu tersebut menjadi kekayaan baru NU masa kini. Persoalannya tinggal apakah NU mampu merawat dan merangkul kelompok itu atau tidak?

Singkatnya, dilihat dari basis sosialnya, NU sebenarnya telah bergeser. Warga nahdliyin bukan hanya santri pesantren yang punya hubungan emosional kuat dengan para kiai. Juga, telah muncul lapis santri baru yang tidak mengenyam pendidikan pesantren. Mereka dilahirkan dari keluarga nahdliyin, namun terpaan pendidikannya nonpesantren. Juga, mereka meniti karir kehidupannya di luar dunia kerja non keagamaan.

Apakah lapis sosial baru tersebut masih bisa disebut NU? Tentu. Sebab, dalam hal ibadah, mereka menggunakan tradisi NU. Mereka adalah pengikut ahlussunah wal jamaah an-nahdliyah. Mereka juga melihat para kiai sebagai patron, namun tidak lagi dalam segala bidang kehidupan. Kiai dilihat sebagai rujukan keagamaan. Di luar bidang keagamaan, mereka punya rujukan lain.

Kenyataan itulah yang menjelaskan perilaku politik NU dalam kurun waktu belakangan. Sekadar diketahui, dalam beberapa kali pemilihan umum, pilihan politik warga nahdliyin tidak pernah bulat menjadi satu. Demikian pula di kalangan para kiai. Ketokohan kiai masih tetap diakui, tetapi tidak dalam segala hal. Dengan dinamika sosial yang berkembang, dalam hal politik, warga nahdliyin punya banyak pilihan. Tidak hanya tunggal dari kiai.

Kelas menengah santri baru tersebut mempunyai kultur dan cara pandang berbeda. Dalam hal manajemen, mereka terbiasa memisahkan antara urusan privat dan publik. Hal itu sangat berbeda dengan tradisi pesantren yang antara persoalan publik dan privatnya masih menyatu. Dalam hal urusan dunia, lapis baru santri tersebut lebih ’’sekuler’’. Artinya, mereka cenderung memisahkan urusan kewajiban agama dengan urusan dunia.

Ciri khas lainnya, mereka lebih mandiri, disiplin, profesional, dan rasional. Mereka punya target hidup yang lebih jelas. Mereka punya standar kebutuhan pendidikan terhadap anak-anaknya yang lebih tinggi. Juga, kebutuhan akan standar kesehatan serta kehidupan sehari-hari. Dalam hal keagamaan, mereka bisa masih tradisional, tetapi dalam kehidupan sehari-hari bisa sangat modern dan global.

Jumlah mereka tersebut makin lama akan makin besar. Hal itu seiring dengan pertumbuhan kelas menengah baru bangsa kita. Makin banyaknya pesantren yang membuat lembaga pendidikan formal ikut menyumbang pertumbuhan lapis sosial santri baru tersebut. Sejalan dengan itu, akan semakin banyak kalangan santri yang menyeruak ke segala bidang kehidupan. Mulai pemerintahan, akademisi, industri, pengusaha mandiri, serta berbagai profesi lainnya.

Arus kelas menengah baru itu akan bisa menjadi kekuatan baru bila NU mampu mengakomodasi. Mau tidak mau, diperlukan perubahan dalam orientasi kelembagaan dan dakwah NU. Keterbukaan NU dalam menangkap kebutuhan baru warganya akan menentukan apakah organisasi keagamaan terbesar di dunia ini tetap relevan untuk segala bidang kehidupan. Hanya organisasi yang lentur dan cerdik menghadapi perubahan yang akan tahan di segala zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar