NU
Dulu, NU Baru
Arif Afandi ; Ketum
BKS-BUMD-SI dan Dirut Wira Jatim Group
|
JAWA
POS, 13 Maret 2015
ADA fakta baru yang menarik untuk dicermati. Kini makin banyak
sekolah Islam yang berkualitas. Hampir setiap sekolah berkualitas dibanjiri peminat.
Berapa pun mahalnya biaya tidak lagi menjadi persoalan. Jika dua puluh tahun
lalu hanya sekolah Katolik dan Kristen yang dianggap maju, kini bertaburan
tumbuh sekolah Islam bermutu, termasuk di lingkungan NU. Di setiap lokasi
sekolah Islam yang demikian, kemacetan mewarnai lingkungan sekitarnya.
Gara-garanya, banyaknya mobil pribadi yang mengantar siswa.
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa)
yang belum lama dibuka, misalnya. Perguruan tinggi milik NU tersebut sudah
selalu dibanjiri peminat. Padahal, setiap calon mahasiswa kedokteran wajib
membayar uang gedung minimal Rp 200 juta. ’’Kami sudah menolak banyak calon
mahasiswa. Dan semua pendaftar adalah keluarga NU,’’ kata mantan Mendikbud
Muhammad Nuh yang menjadi pendiri universitas tersebut.
Fakta tersebut sekadar contoh indikator tumbuh pesatnya kelas
menengah santri di Indonesia. Reformasi politik tidak hanya membawa dampak
pada keterbukaan politik. Peristiwa itu ternyata memunculkan kelompok ekonomi
baru di kalangan santri. Makin banyak muslim yang secara ekonomi
berkecukupan. Terbukanya akses politik ternyata juga membuka akses ekonomi
kepada umat. Akses yang dulu terbatas pada lingkaran politik tertentu kini
menjadi semakin terbuka.
Masalahnya, sudahkah kelas menengah baru di kalangan santri itu
terakomodasi dalam kelembagaan NU? Apakah organisasi keagamaan yang didirikan
para ulama tersebut sudah mengantisipasi lahirnya kelas menengah santri baru
sebagai salah satu kekuatannya? Akankah mereka sekadar menjadi sesuatu yang
tumbuh dan tersia-siakan dalam pertumbuhan NU ke depan? Sejumlah pertanyaan
itu menarik diungkap menjelang Muktamar Ke-33 NU di Jombang, 1–5 Agustus
2015.
Harus diakui, konstruksi sosial di dalam tubuh NU telah berubah.
Kini NU tidak hanya bisa diidentifikasi sebagai kelompok masyarakat yang
tradisional, kolot, terbelakang, dan tinggal di pedesaan. Makin banyak anak
keluarga santri NU yang telah mengalami mobilitas vertikal. Baik karena
pendidikan maupun kekayaan. Akses politik yang makin terbuka membuat akses
ekonomi warga NU ikut terkerek. Lapis menengah secara ekonomi makin tebal.
Di sisi lain, kesadaran beragama di kalangan kelompok masyarakat
yang dulu dikenal sebagai kelompok abangan makin besar. Padahal, identifikasi
mereka itu lebih dekat dengan Islam NU yang luwes dan menyatu dengan
kebudayaan lokal. Kelompok ’’santri baru’’ dari kelompok abangan masa lalu
tersebut menjadi kekayaan baru NU masa kini. Persoalannya tinggal apakah NU
mampu merawat dan merangkul kelompok itu atau tidak?
Singkatnya, dilihat dari basis sosialnya, NU sebenarnya telah
bergeser. Warga nahdliyin bukan hanya santri pesantren yang punya hubungan
emosional kuat dengan para kiai. Juga, telah muncul lapis santri baru yang
tidak mengenyam pendidikan pesantren. Mereka dilahirkan dari keluarga
nahdliyin, namun terpaan pendidikannya nonpesantren. Juga, mereka meniti
karir kehidupannya di luar dunia kerja non keagamaan.
Apakah lapis sosial baru tersebut masih bisa disebut NU? Tentu.
Sebab, dalam hal ibadah, mereka menggunakan tradisi NU. Mereka adalah
pengikut ahlussunah wal jamaah an-nahdliyah. Mereka juga melihat para kiai
sebagai patron, namun tidak lagi dalam segala bidang kehidupan. Kiai dilihat
sebagai rujukan keagamaan. Di luar bidang keagamaan, mereka punya rujukan
lain.
Kenyataan itulah yang menjelaskan perilaku politik NU dalam
kurun waktu belakangan. Sekadar diketahui, dalam beberapa kali pemilihan
umum, pilihan politik warga nahdliyin tidak pernah bulat menjadi satu.
Demikian pula di kalangan para kiai. Ketokohan kiai masih tetap diakui,
tetapi tidak dalam segala hal. Dengan dinamika sosial yang berkembang, dalam
hal politik, warga nahdliyin punya banyak pilihan. Tidak hanya tunggal dari
kiai.
Kelas menengah santri baru tersebut mempunyai kultur dan cara
pandang berbeda. Dalam hal manajemen, mereka terbiasa memisahkan antara
urusan privat dan publik. Hal itu sangat berbeda dengan tradisi pesantren
yang antara persoalan publik dan privatnya masih menyatu. Dalam hal urusan
dunia, lapis baru santri tersebut lebih ’’sekuler’’. Artinya, mereka
cenderung memisahkan urusan kewajiban agama dengan urusan dunia.
Ciri khas lainnya, mereka lebih mandiri, disiplin, profesional,
dan rasional. Mereka punya target hidup yang lebih jelas. Mereka punya
standar kebutuhan pendidikan terhadap anak-anaknya yang lebih tinggi. Juga,
kebutuhan akan standar kesehatan serta kehidupan sehari-hari. Dalam hal
keagamaan, mereka bisa masih tradisional, tetapi dalam kehidupan sehari-hari
bisa sangat modern dan global.
Jumlah mereka tersebut makin lama akan makin besar. Hal itu
seiring dengan pertumbuhan kelas menengah baru bangsa kita. Makin banyaknya
pesantren yang membuat lembaga pendidikan formal ikut menyumbang pertumbuhan
lapis sosial santri baru tersebut. Sejalan dengan itu, akan semakin banyak kalangan
santri yang menyeruak ke segala bidang kehidupan. Mulai pemerintahan,
akademisi, industri, pengusaha mandiri, serta berbagai profesi lainnya.
Arus kelas menengah baru itu akan bisa menjadi kekuatan baru
bila NU mampu mengakomodasi. Mau tidak mau, diperlukan perubahan dalam
orientasi kelembagaan dan dakwah NU. Keterbukaan NU dalam menangkap kebutuhan
baru warganya akan menentukan apakah organisasi keagamaan terbesar di dunia
ini tetap relevan untuk segala bidang kehidupan. Hanya organisasi yang lentur
dan cerdik menghadapi perubahan yang akan tahan di segala zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar