Gertak
Rhenald Kasali ; Guru Besar
FEUI
|
KOMPAS,
14 Maret 2015
Meski dianggap jurus lapangan dan makin sering digunakan para
politisi, kata ”gertak” ditemui dalam literatur manajemen dan etika bisnis.
Secara ilmiah para ahli menjabarkan, gertak berhubungan dengan kepentingan
(usaha) untuk mendapatkan sesuatu.
Ini menjadi relevan untuk dikaji kalau politisi berbisnis,
apalagi menggunakan politik untuk melapangkan bisnis dan mendapatkan
keuntungan.
Maka, selalu ada dilema antara usaha (bisnis) dan moralitas
personal. Tak jarang, gertak hanyalah tipu muslihat yang belum tentu
mengandung kekuatan, tetapi sudah menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan
menimbulkan perpecahan. Padahal, dalam jurus yang kita kenal dalam praktik
politik, keberanian penggertak hanya ada sebatas pandangan mata.
Maksud saya, begitu yang digertak takut, penggertak bisa menjadi
lebih agresif. Kalau tak terkendali, yang muncul adalah penindasan,
pengerahan massa, bahkan tak jarang serangan rasisme. Dan mereka pun mengabaikan
Tuhan yang memerintahkan kejujuran dan menghormati keberagaman.
Dilema PNS
Barangkali yang perlu kita waspadai belakangan ini justru gertak
yang dialamatkan pada mereka yang fragile terhadap jabatan. Dalam hal ini
aparat pemerintah daerah atau pegawai negeri sipil (PNS).
Dalam banyak segi, PNS adalah profesi paradoks: kuat dan
penting, tetapi sekaligus lemah. Begitu penting dan kuatnya sehingga dalam
menjalankan tugasnya mereka disumpah, diseleksi dari puluhan ribu orang untuk
menegakkan aturan, memegang mandat UU. Kariernya menjadi pejabat, menguasai
anggaran superjumbo (karena pemerintah adalah pembelanja yang besar).
Namun, di sisi lain, desain organisasi, aturan, dan perilakunya
membuat mereka lemah: strukturnya mekanistik, jenjang karier dikaitkan dengan
lama tugas, gaji tetapnya rendah, dan kesejahteraan dikaitkan dengan jabatan.
Akibatnya, para pejabat paling takut dengan kata ”mutasi.” Setiap kali
pimpinan baru datang, yang membuat mereka stres hanya satu kata: mutasi.
Dan, menurut Maxwell (2000), aparatur yang demikian dapat
membelenggu masa depan suatu bangsa. Sebab, melahirkan kepemimpinan level
terendah: yang diakui keberadaannya karena ia pemegang SK (surat keputusan
mengenai jabatan itu), dan bawahan tunduk hanya karena keharusan struktural.
Loyalitas pada pemberi jabatan menjadi lebih penting ketimbang
terhadap publik. Perhatian terhadap kinerja, apalagi pengembangan sumber daya
manusia bukan dianggap sebagai hal yang penting. Ini menjadi masalah besar
ketika pimpinan baru menghendaki perubahan, dari pelayanan ke atas menjadi
pelayanan publik.
Dan, akibat semua itu, mereka menjadi mudah digertak. Struktur
dan aturan tercabik-cabik, intervensi menimbulkan praktik kolusi dan korupsi.
Kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, ”Ketika lewat seekor sapi berbobot
setengah ton, PNS yang hanya butuh lima kilogram daging sapi, tetapi amat
berkuasa menjadi tergoda. Pertanyaannya, bisakah hanya mengambil lima
kilogram saja?”
Korupsi pengadaan dan menyelewengkan aturan hanyalah sebagian
kecil dari tumpukan masalah yang dihadapi aparatur sipil negara. Tetapi,
ribuan abdi negara yang menyandang surat keputusan menjadi pejabat pada
dasarnya adalah singa-singa yang cerdik (lulusan UI, ITB, UGM, dan
seterusnya). Namun, DNA nya berubah saat dipimpin, maaf, oleh sosok bermental
kambing. Itulah yang saya sebut sebagai singa yang mengembik (Agility,
Gramedia, 2015). Digertak politisi sedikit, langsung dikabulkan pengeluaran
siluman triliunan rupiah.
Mereka lupa, rakyat tidak membutuhkan barang-barang dan jasa
yang diajukan para penggertak yang mengancam dengan jurus mutasi. Mereka
tunduk karena takut kehilangan. Dan, pertentangan batin dimulai: antara
kepentingan dan moralitas personal.
Risma dan
Basuki
Ibarat singa yang mengaum, perjalanan demokrasi Indonesia
diwarnai juga dengan pemimpin-pemimpin yang gagah berani. Tetapi, tak sedikit
yang memilih berkompromi begitu menjalani gertakan-gertakan yang lebih keras
dari kemampuannya menutupi kelemahannya.
Kata kompromi telah menjadi model dalam politik Indonesia, dan
itu pulalah yang ada di kepala banyak pihak untuk meredam suasana panas yang
meletihkan. Sementara perubahan justru membutuhkan pemimpin yang tak
berkompromi.
Mereka ingin korupsi diberantas, tetapi tak mau menerima
kenyataan bahwa koruptor harus diperiksa dan penyerapan anggaran tak bisa
lagi dijadikan indikator kinerja. Sebab, dengan peraturan yang baik,
seharusnya biaya yang dikeluarkan bisa banyak dihemat, dan otomatis
persentase penyerapannya turun.
Di dunia ini tak ada lagi bangsa yang menerapkan persentase
penyerapan sebagai haluan kinerja. Tetapi, untuk menggertak, ini pun bisa
dilakukan.
Menarik disimak, Indonesia tiba-tiba mendapat kiriman
singa-singa perkasa yang maju tak gentar, anti gertak. Tri Rismaharini dan
Basuki Tjahaja Purnama adalah dua di antara singa-singa yang anti gertak itu.
Digertak akan dimakzulkan, diberi hak angket, diancam jabatannya akan hilang,
tak menyurutkan langkahnya. Bahkan diancam pembunuhan, atau diserang secara
rasis, pun mereka hadapi.
Ada kehebohan karena ideologis yang terang-terangan memanipulasi
persepsi kita. Tetapi, di luar ini kebenaran sulit disembunyikan.
Risma dan Basuki bukanlah singa yang mengembik karena mereka
menjunjung nilai-nilai. Pemimpin seperti ini kelak akan terlihat kinerjanya.
Menghancurkan mafia adalah prestasi besar seorang pemimpin. Jauh di atas
kinerja-kinerja operasional yang melibatkan banyak orang.
Indonesia tengah berubah. Dan, untuk berubah harus ada pihak
yang berani berkorban, memutus rantai kebohongan dan rantai manipulasi. Kalau
para calon presiden saja ”ngeper” melihat hasil jajak pendapat yang tak
mencerminkan popularitasnya, apakah para ketua partai tak ”ngeper” melihat
dukungan publik yang begitu rendah terhadap praktik-praktik penggertakan yang
dilakukan orang-orang yang tak peduli pada kepentingan publik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar