Minggu, 15 Maret 2015

Rupiah dalam Kompetisi Global

Rupiah dalam Kompetisi Global

Augustinus Simanjuntak  ;  Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

RUPIAH kembali melemah hingga menembus level psikologis Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat (USD). Walaupun mata uang beberapa negara juga melemah, kondisi rupiah tergolong paling parah. Kondisi itu seolah kembali mengukuhkan posisi rupiah sebagai salah satu mata uang terendah di dunia. Sebab, pada 2014 saja rupiah di kisaran Rp 12.000 per dolar AS sudah berada di urutan keempat terendah setelah riyal Iran (pertama); dongVietnam (kedua); dan dobra Sao Tome, Afrika (ketiga). Rupiah tampaknya bakal terus melemah karena ekonomi kita belum banyak ditopang oleh komoditas unggul dan berdampak luar biasa (extraordinary commodity) di pasar global.

Selama ini, pemerintah selalu pusing dalam mengintervensi pasar demi stabilitas perdagangan (ekspor dan impor). Namun, rupiah tetap saja rentan melemah karena teknologi industri kita belum mampu melimpahkan ragam produk berkualitas tinggi di pasar domestik maupun global. Negara-negara bermata uang terkuat di dunia umumnya memiliki komoditas ekspor andalan yang menguasai sebagian besar pasar global.

Mereka memiliki volume dan kualitas komoditas yang hebat. Kuwait misalnya. Mata uangnya (dinar) dihargai sekitar 3,5 dolar AS. Hal itu tidak lepas dari posisinya sebagai salah satu pengekspor minyak terbesar dunia. Cadangan minyak Kuwait hampir sama dengan Uni Emirat Arab yang juga pemilik mata uang termahal di dunia (riyal). Untuk negara-negara Eropa, misalnya, Swiss bermata uang franc yang dihargai sekitar 1,06 per dolar AS. Itu tak lepas dari ekonomi Swiss yang banyak ditopang oleh ragam produk berkualitas dunia seperti arloji, produk cokelat terbaik, serta perusahaan Nestle yang sudah ratusan tahun memproduksi susu dan makanan terbesar di dunia. Swiss juga dikenal sebagai negara deposito. Sebab, banyak orang kaya yang merasa aman untuk menyimpan dananya di bank Swiss.

Sejak awal, Swiss memang memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia (SDM), industri perbankan, dan teknologi produk perdagangan. Demikian pula mata uang dolar AS (USD) dan yen Jepang, banyak ditopang oleh kemajuan teknologi dan investasi di banyak negara. Sepanjang 2013, Jepang, misalnya, memiliki nilai investasi sebesar USD 4,71 miliar di Indonesia dan AS sebesar USD 2,4 miliar. Dua negara berekonomi kuat itulah asal perusahaan berteknologi terbesar yang merambah dunia. Di kala Indonesia berharap banyak investor masuk, negara-negara itu justru mengejar target investasi ke luar negeri.

Taruhlah, misalnya, AS dengan ragam produk keuangan, Apple, Google, Exxon, Chevron, Microsoft, dan sebagainya. Sedangkan Jepang unggul dengan produk Toyota, Toshiba, Sony, dan lain-lain. Mereka telah lama merajai pasar dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, rupiah hanya bisa menjadi mata uang yang kuat di dunia jika teknologi industri dihebatkan dan investasi ke negara lain harus terus digalakkan. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah pernah mendorong BUMN untuk ekspansi usaha ke luar negeri.

Membangun Moralitas Ekonomi

Menurut Dahlan, kita jangan hanya menjadi sasaran investasi asing. Bahkan, Dahlan pernah meminta PT Semen Indonesia untuk bisa menjadi produsen semen terbesar di Asia Tenggara (regional champion). Perusahaan swasta nasional mestinya terus didorong untuk berinovasi produk hingga bisa menyasar pasar dunia. Kuncinya, selain memberantas korupsi, kajian teknologi harus terintegrasi dengan aspek ekonomi. Seperti di negara-negara maju, ilmu ekonomi harus terintegrasi dengan arah pengembangan teknologi industri.

Karena itu, kita masih membutuhkan investasi langsung (direct investment) secara besar-besaran supaya tercipta banyak komoditas unggulan. Dalam konteks investasi langsung, modal bisa dipakai dunia usaha untuk menaikkan kapasitas produksi, meningkatkan kualitas produk, dan memperluas lapangan kerja. Jika kekuatan ekonomi terlalu mengandalkan situasi pasar uang (tanpa memiliki extraordinary product di pasar global), rupiah tidak akan pernah kuat. Kalaupun terjadi penguatan, itu hanya temporer/semu.

Sudah saatnya nilai rupiah lebih banyak ditopang oleh budaya dan etos kerja yang tinggi serta komoditas ekspor berdaya saing tinggi. Untuk itulah, kita butuh bekal infrastruktur yang memadai. Juga, bekal infrastruktur butuh mega-investasi. Apalagi, sumber daya alam kita di darat begitu melimpah dan bisa diolah menjadi extraordinary product (volume dan kualitas) dalam menguatkan rupiah.

Kita tentu geram menyimak paparan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memperkirakan kerugian Indonesia per tahun gara-gara illegal fishing mencapai Rp 3.000 triliun. Angka itu tidak hanya cukup membayar segala utang RI, tetapi seharusnya menjadi sumber kekuatan bagi rupiah lewat devisa ekspor ikan mentah maupun olahan. Namun, hal itu bakal sulit tercapai jika pemerintah terlalu ”santun” dalam menyikapi kasus-kasus korupsi.

Padahal, hampir semua negara tebersih dari korupsi memiliki ekonomi dan mata uang yang kuat. Jadi, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya tidak dianggap sepele oleh pemerintah. Sebab, publik dan investor masih lebih percaya kepada KPK dalam membangun moralitas ekonomi sekaligus kekuatan rupiah. Upaya kriminalisasi KPK bisa jadi telah memicu kekhawatiran investor terkait dengan wibawa penegakan hukum di Indonesia. KPK saja bisa dikriminalisasi, apalagi masyarakat dan investor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar