Rupiah
dalam Kompetisi Global
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Program
Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 13 Maret 2015
RUPIAH kembali melemah hingga menembus level psikologis Rp
13.000 per dolar Amerika Serikat (USD). Walaupun mata uang beberapa negara
juga melemah, kondisi rupiah tergolong paling parah. Kondisi itu seolah
kembali mengukuhkan posisi rupiah sebagai salah satu mata uang terendah di
dunia. Sebab, pada 2014 saja rupiah di kisaran Rp 12.000 per dolar AS sudah
berada di urutan keempat terendah setelah riyal Iran (pertama); dongVietnam
(kedua); dan dobra Sao Tome, Afrika (ketiga). Rupiah tampaknya bakal terus
melemah karena ekonomi kita belum banyak ditopang oleh komoditas unggul dan
berdampak luar biasa (extraordinary
commodity) di pasar global.
Selama ini, pemerintah selalu pusing dalam mengintervensi pasar
demi stabilitas perdagangan (ekspor dan impor). Namun, rupiah tetap saja
rentan melemah karena teknologi industri kita belum mampu melimpahkan ragam
produk berkualitas tinggi di pasar domestik maupun global. Negara-negara
bermata uang terkuat di dunia umumnya memiliki komoditas ekspor andalan yang
menguasai sebagian besar pasar global.
Mereka memiliki volume dan kualitas komoditas yang hebat. Kuwait
misalnya. Mata uangnya (dinar) dihargai sekitar 3,5 dolar AS. Hal itu tidak
lepas dari posisinya sebagai salah satu pengekspor minyak terbesar dunia.
Cadangan minyak Kuwait hampir sama dengan Uni Emirat Arab yang juga pemilik
mata uang termahal di dunia (riyal). Untuk negara-negara Eropa, misalnya,
Swiss bermata uang franc yang dihargai sekitar 1,06 per dolar AS. Itu tak
lepas dari ekonomi Swiss yang banyak ditopang oleh ragam produk berkualitas
dunia seperti arloji, produk cokelat terbaik, serta perusahaan Nestle yang
sudah ratusan tahun memproduksi susu dan makanan terbesar di dunia. Swiss
juga dikenal sebagai negara deposito. Sebab, banyak orang kaya yang merasa
aman untuk menyimpan dananya di bank Swiss.
Sejak awal, Swiss memang memprioritaskan pembangunan sumber daya
manusia (SDM), industri perbankan, dan teknologi produk perdagangan. Demikian
pula mata uang dolar AS (USD) dan yen Jepang, banyak ditopang oleh kemajuan
teknologi dan investasi di banyak negara. Sepanjang 2013, Jepang, misalnya,
memiliki nilai investasi sebesar USD 4,71 miliar di Indonesia dan AS sebesar
USD 2,4 miliar. Dua negara berekonomi kuat itulah asal perusahaan
berteknologi terbesar yang merambah dunia. Di kala Indonesia berharap banyak
investor masuk, negara-negara itu justru mengejar target investasi ke luar
negeri.
Taruhlah, misalnya, AS dengan ragam produk keuangan, Apple,
Google, Exxon, Chevron, Microsoft, dan sebagainya. Sedangkan Jepang unggul
dengan produk Toyota, Toshiba, Sony, dan lain-lain. Mereka telah lama merajai
pasar dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, rupiah hanya bisa menjadi mata
uang yang kuat di dunia jika teknologi industri dihebatkan dan investasi ke
negara lain harus terus digalakkan. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah
pernah mendorong BUMN untuk ekspansi usaha ke luar negeri.
Membangun
Moralitas Ekonomi
Menurut Dahlan, kita jangan hanya menjadi sasaran investasi
asing. Bahkan, Dahlan pernah meminta PT Semen Indonesia untuk bisa menjadi
produsen semen terbesar di Asia Tenggara (regional
champion). Perusahaan swasta nasional mestinya terus didorong untuk
berinovasi produk hingga bisa menyasar pasar dunia. Kuncinya, selain
memberantas korupsi, kajian teknologi harus terintegrasi dengan aspek
ekonomi. Seperti di negara-negara maju, ilmu ekonomi harus terintegrasi
dengan arah pengembangan teknologi industri.
Karena itu, kita masih membutuhkan investasi langsung (direct investment) secara
besar-besaran supaya tercipta banyak komoditas unggulan. Dalam konteks
investasi langsung, modal bisa dipakai dunia usaha untuk menaikkan kapasitas
produksi, meningkatkan kualitas produk, dan memperluas lapangan kerja. Jika
kekuatan ekonomi terlalu mengandalkan situasi pasar uang (tanpa memiliki
extraordinary product di pasar global), rupiah tidak akan pernah kuat. Kalaupun
terjadi penguatan, itu hanya temporer/semu.
Sudah saatnya nilai rupiah lebih banyak ditopang oleh budaya dan
etos kerja yang tinggi serta komoditas ekspor berdaya saing tinggi. Untuk
itulah, kita butuh bekal infrastruktur yang memadai. Juga, bekal infrastruktur
butuh mega-investasi. Apalagi, sumber daya alam kita di darat begitu melimpah
dan bisa diolah menjadi extraordinary product (volume dan kualitas) dalam
menguatkan rupiah.
Kita tentu geram menyimak paparan Menteri Kelautan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti yang memperkirakan kerugian Indonesia per tahun gara-gara
illegal fishing mencapai Rp 3.000 triliun. Angka itu tidak hanya cukup
membayar segala utang RI, tetapi seharusnya menjadi sumber kekuatan bagi
rupiah lewat devisa ekspor ikan mentah maupun olahan. Namun, hal itu bakal
sulit tercapai jika pemerintah terlalu ”santun” dalam menyikapi kasus-kasus
korupsi.
Padahal, hampir semua negara tebersih dari korupsi memiliki
ekonomi dan mata uang yang kuat. Jadi, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebaiknya tidak dianggap sepele oleh pemerintah. Sebab, publik dan
investor masih lebih percaya kepada KPK dalam membangun moralitas ekonomi
sekaligus kekuatan rupiah. Upaya kriminalisasi KPK bisa jadi telah memicu
kekhawatiran investor terkait dengan wibawa penegakan hukum di Indonesia. KPK
saja bisa dikriminalisasi, apalagi masyarakat dan investor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar