Kamis, 05 Maret 2015

Monoteisme Agama yang Kejam

Monoteisme Agama yang Kejam

Fidelis Regi Waton  ;  Alumnus Filsafat Politik Universitas Humboldt, Berlin, Jerman
SATU HARAPAN, 02 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Keberingasan ISIS dan Boko Haram memperpanjang inventarisasi kejahatan berpanji agama sekaligus mengokohkan monoteisme pada papan atas tabel kekerasan agama. Belum lekang dalam ingatan radikalisme-kriminal berbasis tiga agama wahyu (Yahudi, Kekristenan dan Islam): Kriminalitas perkawinan antara kekristenan dan kolonialisme, perang salib, inkuisisi, pembakaran kaum sihir, dan ignoransi ilmu pengetahuan.

Yudaisme mengenal Yahweh yang gemar perang, penakluk, serakah dan haus darah. Islam terkenal dengan seremoni dan ritualisasi kekerasan melalui perang suci (jihad), elan kemartiran dan upaya penggarukan kaum kafir. Kekerasan historis-ideologis berpanji monoteisme kini diperkeruh oleh terorisme-islamistis modern yang mempropagandakan Umma, degradasi perempuan dan purifikasi dunia. Doktrin dan spirit agama dijadikan legitimasi operasi teror.

Kembali hangat debat seputar relasi antara agama dan kekerasan serta bagaimana kejahatan berpayung agama dieliminasi. Apakah Allah esa dalam agama-agama monoteistis-abrahamis (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah Allah yang akrab dengan kekerasan? Apakah politeisme lebih moderat dan toleran?

Panorama sejarah memperlihatkan bahwa agama-agama diintroduksi bukan hanya lewat kitab suci, ritus, dan simbol-simbol sakral serta karya sosial-karitatif, melainkan juga dengan “api dan pedang”. Tanpa tedeng aling-aling filsuf Jerman, Odo Marquard dalam tulisannya “Lob des Polytheismus” (terpujilah politeisme) memvonis agama-agama monoteis sebagai lahan dan dalang teror. Egiptolog Jan Asmann beranggapan bahwa bersama monoteisme mulailah persoalan kebenaran dan kejahatan di dunia ini.

Bagi Marquard, iman pada satu Allah menagih ketaatan mutlak, buta dan fatal. “Nemo contra deum nisi deus ipse!” Tak seorang pun yang melawan Allah kecuali Allah sendiri. Marquard menuduh monoteisme sebagai penyebab intoleransi dan kekerasan, pengekang kebebasan dan anti-pluralitas. Kemajemukan tidak sepadan dengan dogma monoteis yang konon keluar dari mulut Yang Ilahi: “Jangan ada Allah atau Tuhan lain selain Aku“. Diktum ini selalu saja dipakai sebagai legitimasi dan titisan mandat Ilahi untuk memberantas segala yang bertentangan dengan Tuhan dan keesaan-Nya.

Iman akan keesaan Allah berkarakter hierarkis, totaliter, patriarkal, teokratis, monolog, tidak kompeten dengan dialog, dan tidak mengizinkan ruang perbedaan dan kejamakan. Marquard menuntut perpisahan definitif dari mitos tunggal. Keesaan dan uniformitas berpikir harus dikuburkan. Kedudukannya diambil alih politeisme. Hemat Marquard, politeisme lebih terbuka dan integratif. Jika monoteisme mengenal penguasa tunggal, politeisme menganut pembagian kekuasaan. Kebenarannya bersifat jamak, terdapat juga dalam agama dan keyakinan lain. Postulat Marquard sejalan dengan klaim Arthur Schopenhauer: ‘Secara alamiah Allah esa tak lain dari Allah yang cemburu dan tidak mengizinkan model lain. Politeisme lebih toleran, artinya ia ada dan membiarkan yang lain juga ada.”

Konsekuensinya semua sistem yang berkaitan dengan monoteisme mempunyai kesulitan dengan pluralitas, toleransi, demokrasi, kebebasan dan respek terhadap model hidup lain. Padahal pengakuan perbedaan dan keragaman merupakan conditio sine qua non bagi kebersamaan antarmanusia yang demokratis dan emansipatif. Demokrasi sejati hanya bisa terwujud, jika monoteisme telah ditamatkan.

Dakwaan dan upaya penggarukan terhadap monoteisme dan tagihan revitalisasi politeisme sangat menarik. Namun argumentasi sugestif ini perlu diperiksa secara kritis, tentu bukan sekadar apologi terhadap agama-agama wahyu-monoteistis.

Pertama, sejarah politeisme tidak steril dari kejahatan dan tidak sesaleh seperti disanjung Marquard dan Schoppenhauer. Dalam konteks Yunani kuno-politeistis, konflik dan perang dianggap lumrah sebagai pancaran dunia dewata (mistifikasi kejahatan). Proses unifikasi dicapai melalui penaklukan. Hinduisme-politeis di India juga lumayan produktif di bidang kekerasan.

Kedua, pada prinsipnya keesaan adalah penopang toleransi, titik silang kesatuan dan kejamakan dengan semboyan "Satu Tuhan dan satu kemanusiaan.“ Tuhan yang esa menjadi sumber dan muara segala kebenaran. Manusia dan agama adalah peziarah kebenaran. Kaum peziarah tidak pernah mencapai kebenaran absolut, cuma menampilkan percikan kebenaran mutlak. Para peziarah kebenaran diwajibkan untuk bersikap dialogal, toleran dan respek. Monoteisme sebagai tali pengikat menagih penerimaan eksistensi yang lain sebagai yang lain.

Ketiga, tesis populer yang selalu menghubungkan terorisme dengan fanatisme agama agak berbahaya. Korelasi ini acap kali membutakan orang terhadap dimensi-dimensi baru kejahatan. Terorisme kontemporer bukanlah reaksi antimodern dan antiglobalisasi (seperti diungkapkan para aktornya). Ia menerapkan prinsip revolusioner modern (teknologisasi, akselerasi, mobilitas). Programnya bukanlah resakralisasi dunia, melainkan penghancuran, menajiskan dunia dan Yang Kudus. Terorisme masa kini bukanlah model fundamentalisme klasik (jeritan kaum beriman yang tertindas) untuk mereparasi fragmentasi akibat modernisasi. Tendensinya bukanlah restorasi, penyembuhan, dan pemurnian, tetapi pembinasaan.

Terorisme modern adalah nihilisme yang memperalat agama. Jika terorisme dikaitkan dengan agama, tentunya dipahami sebagai kebutaan. Dalam jargon Ludwig Wittgenstein, "kebutaan keagamaan merupakan kebutaan yang tak beragama“.

Memang ada kebutaan yang berasal dari agama. Agama tetaplah besi panas. Di sini sangat urgen diadakan refleksi teologis yang kritis, akseptansi pencerahan, proses hermeneutika dan demitologisasi agama-agama dan khazanah luhurnya demi mengeliminasi potensi kebutaan yang tak beragama. Proses luhur ini hanya bisa berjalan jika terdahulunya diakui dengan jujur dan rendah hati bahwa agama tidak selamanya mengandung hal-hal yang positif. Secara intrinsik agama tidak selamanya baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar