Monoteisme
Agama yang Kejam
Fidelis Regi Waton ; Alumnus
Filsafat Politik Universitas Humboldt, Berlin, Jerman
|
SATU
HARAPAN, 02 Maret 2015
Keberingasan ISIS dan Boko Haram memperpanjang
inventarisasi kejahatan berpanji agama sekaligus mengokohkan monoteisme pada
papan atas tabel kekerasan agama. Belum lekang dalam ingatan
radikalisme-kriminal berbasis tiga agama wahyu (Yahudi, Kekristenan dan
Islam): Kriminalitas perkawinan antara kekristenan dan kolonialisme, perang
salib, inkuisisi, pembakaran kaum sihir, dan ignoransi ilmu pengetahuan.
Yudaisme mengenal Yahweh yang gemar perang, penakluk,
serakah dan haus darah. Islam terkenal dengan seremoni dan ritualisasi
kekerasan melalui perang suci (jihad), elan kemartiran dan upaya penggarukan
kaum kafir. Kekerasan historis-ideologis berpanji monoteisme kini diperkeruh
oleh terorisme-islamistis modern yang mempropagandakan Umma, degradasi
perempuan dan purifikasi dunia. Doktrin dan spirit agama dijadikan legitimasi
operasi teror.
Kembali hangat debat seputar relasi antara agama dan
kekerasan serta bagaimana kejahatan berpayung agama dieliminasi. Apakah Allah
esa dalam agama-agama monoteistis-abrahamis (Yahudi, Kristen dan Islam)
adalah Allah yang akrab dengan kekerasan? Apakah politeisme lebih moderat dan
toleran?
Panorama sejarah memperlihatkan bahwa agama-agama
diintroduksi bukan hanya lewat kitab suci, ritus, dan simbol-simbol sakral
serta karya sosial-karitatif, melainkan juga dengan “api dan pedang”. Tanpa
tedeng aling-aling filsuf Jerman, Odo Marquard dalam tulisannya “Lob des Polytheismus” (terpujilah
politeisme) memvonis agama-agama monoteis sebagai lahan dan dalang teror.
Egiptolog Jan Asmann beranggapan bahwa bersama monoteisme mulailah persoalan
kebenaran dan kejahatan di dunia ini.
Bagi Marquard, iman pada satu Allah menagih ketaatan
mutlak, buta dan fatal. “Nemo contra
deum nisi deus ipse!” Tak seorang pun yang melawan Allah kecuali Allah
sendiri. Marquard menuduh monoteisme sebagai penyebab intoleransi dan
kekerasan, pengekang kebebasan dan anti-pluralitas. Kemajemukan tidak sepadan
dengan dogma monoteis yang konon keluar dari mulut Yang Ilahi: “Jangan ada
Allah atau Tuhan lain selain Aku“. Diktum ini selalu saja dipakai sebagai
legitimasi dan titisan mandat Ilahi untuk memberantas segala yang
bertentangan dengan Tuhan dan keesaan-Nya.
Iman akan keesaan Allah berkarakter hierarkis, totaliter,
patriarkal, teokratis, monolog, tidak kompeten dengan dialog, dan tidak
mengizinkan ruang perbedaan dan kejamakan. Marquard menuntut perpisahan
definitif dari mitos tunggal. Keesaan dan uniformitas berpikir harus
dikuburkan. Kedudukannya diambil alih politeisme. Hemat Marquard, politeisme
lebih terbuka dan integratif. Jika monoteisme mengenal penguasa tunggal,
politeisme menganut pembagian kekuasaan. Kebenarannya bersifat jamak,
terdapat juga dalam agama dan keyakinan lain. Postulat Marquard sejalan
dengan klaim Arthur Schopenhauer: ‘Secara
alamiah Allah esa tak lain dari Allah yang cemburu dan tidak mengizinkan
model lain. Politeisme lebih toleran, artinya ia ada dan membiarkan yang lain
juga ada.”
Konsekuensinya semua sistem yang berkaitan dengan
monoteisme mempunyai kesulitan dengan pluralitas, toleransi, demokrasi,
kebebasan dan respek terhadap model hidup lain. Padahal pengakuan perbedaan
dan keragaman merupakan conditio sine
qua non bagi kebersamaan antarmanusia yang demokratis dan emansipatif.
Demokrasi sejati hanya bisa terwujud, jika monoteisme telah ditamatkan.
Dakwaan dan upaya penggarukan terhadap monoteisme dan
tagihan revitalisasi politeisme sangat menarik. Namun argumentasi sugestif
ini perlu diperiksa secara kritis, tentu bukan sekadar apologi terhadap
agama-agama wahyu-monoteistis.
Pertama, sejarah politeisme tidak steril dari kejahatan
dan tidak sesaleh seperti disanjung Marquard dan Schoppenhauer. Dalam konteks
Yunani kuno-politeistis, konflik dan perang dianggap lumrah sebagai pancaran
dunia dewata (mistifikasi kejahatan). Proses unifikasi dicapai melalui
penaklukan. Hinduisme-politeis di India juga lumayan produktif di bidang
kekerasan.
Kedua, pada prinsipnya keesaan adalah penopang toleransi,
titik silang kesatuan dan kejamakan dengan semboyan "Satu Tuhan dan satu
kemanusiaan.“ Tuhan yang esa menjadi sumber dan muara segala kebenaran.
Manusia dan agama adalah peziarah kebenaran. Kaum peziarah tidak pernah
mencapai kebenaran absolut, cuma menampilkan percikan kebenaran mutlak. Para
peziarah kebenaran diwajibkan untuk bersikap dialogal, toleran dan respek.
Monoteisme sebagai tali pengikat menagih penerimaan eksistensi yang lain
sebagai yang lain.
Ketiga, tesis populer yang selalu menghubungkan terorisme
dengan fanatisme agama agak berbahaya. Korelasi ini acap kali membutakan
orang terhadap dimensi-dimensi baru kejahatan. Terorisme kontemporer bukanlah
reaksi antimodern dan antiglobalisasi (seperti diungkapkan para aktornya). Ia
menerapkan prinsip revolusioner modern (teknologisasi, akselerasi,
mobilitas). Programnya bukanlah resakralisasi dunia, melainkan penghancuran,
menajiskan dunia dan Yang Kudus. Terorisme masa kini bukanlah model
fundamentalisme klasik (jeritan kaum beriman yang tertindas) untuk mereparasi
fragmentasi akibat modernisasi. Tendensinya bukanlah restorasi, penyembuhan,
dan pemurnian, tetapi pembinasaan.
Terorisme modern adalah nihilisme yang memperalat agama. Jika
terorisme dikaitkan dengan agama, tentunya dipahami sebagai kebutaan. Dalam
jargon Ludwig Wittgenstein, "kebutaan keagamaan merupakan kebutaan yang
tak beragama“.
Memang ada kebutaan yang berasal dari agama. Agama
tetaplah besi panas. Di sini sangat urgen diadakan refleksi teologis yang
kritis, akseptansi pencerahan, proses hermeneutika dan demitologisasi
agama-agama dan khazanah luhurnya demi mengeliminasi potensi kebutaan yang
tak beragama. Proses luhur ini hanya bisa berjalan jika terdahulunya diakui
dengan jujur dan rendah hati bahwa agama tidak selamanya mengandung hal-hal
yang positif. Secara intrinsik agama tidak selamanya baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar