Kamis, 05 Maret 2015

Standar Ganda Vonis Mati

Standar Ganda Vonis Mati

Hernawan Bagaskoro Abid  ;  Pemerhati Isu Internasional,
Diplomat Kementerian Luar Negeri RI
REPUBLIKA, 28 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ketegangan diplomatik antara Indonesia dan negara-negara lain terkait hukuman mati warga negara asing (WNA) tampaknya belum juga surut. Sejak Presiden Jokowi menolak permohonan grasi para terpidana mati kasus narkoba pada akhir 2014, berbagai macam insiden diplomatik terus terjadi.

Dimulai dari "penarikan" Dubes Belanda dan Dubes Brasil ke negara masing-masing, desakan pembatalan hukuman mati dari Sekjen PBB Ban Ki-moon, komentar kontroversial PM Australia Tony Abbott terkait bantuan tsunami di Aceh, hingga yang terbaru penundaan secara tiba-tiba penyerahan credential (surat kepercayaan) Dubes Indonesia untuk Brasil.

Selain insiden diplomatik di atas, berbagai media massa luar negeri, seperti ABC, The Guardian, dan Daily Mail, terus membombardir keputusan Pemerintah RI yang tetap akan melakukan eksekusi hukuman mati sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dari berbagai argumen yang diajukan para penentang hukuman mati di Indonesia, satu yang paling sering dikumandangkan bahwa Indonesia menerapkan standar ganda terkait hukuman mati.

Menlu Australia Julie Bishop dalam wawancaranya dengan The Guardian (17/2/2015) mengatakan, "Indonesia menentang hukuman mati bagi warga negara mereka di Timur Tengah. Saya berharap Pemerintah Indonesia akan menunjukkan belas kasihan terhadap warga Australia karena mereka (Indonesia) menuntut negara lain menunjukkan (belas kasihan) pada warganya (Indonesia)."

The Guardian lalu mengkaitkan pernyataan Bishop dengan usaha all out Pemerintah RI untuk membebaskan WNI terpidana mati di Arab Saudi, yaitu Satinah, termasuk dengan membayar "uang darah" (diyat) kepada keluarga korban atas penghilangan nyawa yang dilakukan Satinah. Kesimpulan yang diambil sudah barang tentu dapat ditebak: Indonesia menerapkan standar ganda terkait hukuman mati.

Narasi ini terus saja diulang-ulang dan disebarkan secara luas untuk mendukung argumen bahwa Indonesia menerapkan standar ganda tanpa diiringi dengan perspektif yang tepat dalam memahami konteks pembelaan yang di lakukan Indonesia dalam kasus Satinah. Sayangnya, beberapa pengamat dalam negeri justru ikut larut dalam argumen ini.

Pemerintah Indonesia tak pernah menghalangi negara lain melakukan pembelaan hukum kepada warga negara mereka yang tersangkut permasalahan hukum di yurisdiksi Indonesia. Bukan hanya untuk kasus hukuman mati, melainkan semua kasus permasalahan hukum.

Pendekatan diplomatik sebagai bagian dari upaya suatu negara untuk melindungi warga negara mereka juga tidak diharamkan, selama masih selaras dengan hukum yang berlaku. Melakukan upaya pembelaan WNI sesuai aturan yang berlaku dalam yurisdiksi setempat inilah yang selalu dijunjung tinggi oleh Indonesia dalam melaksanakan upaya perlindungan WNI, termasuk membebaskan WNI dari hukuman mati.

Di Arab Saudi, pembayaran diyat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari syariah Islam yang dipraktikkan oleh Pemerintah Saudi. Ketika keluarga atau ahli waris dari korban meminta sejumlah diyat kepada pelaku tindak kejahatan sebagai pemaafan, bahkan Raja Saudi pun tidak dapat mengurangi, menambah, atau membatalkan permintaan tersebut. Dengan demikian, pembayaran diyat dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku, yaitu hukum syariat Islam.

Kembali kepada berbagai kasus narkoba yang melibatkan WNA. Pemerintah RI telah membuka diri seluas-luasnya kepada negara lain untuk melakukan pembelaan hukum kepada warga negara mereka selama proses pengadilan hingga vonis yang bersifat tetap (inkracht). Seperti halnya Indonesia, semua negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negara mereka.

Namun, semua upaya perlindungan WNA juga harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Bukan hanya hukum nasional, Indonesia melalui UU 12/2005 telah meratifikasi Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai instrumen hukum internasional yang membolehkan negara pihak (state party) untuk tetap menerapkan hukuman mati terhadap tindak kejahatan serius sesuai dengan UU yang berlaku di negara pihak tersebut.

Bila merujuk pada UU Narkotika yang berlaku di Indonesia, jelaslah bahwa kejahatan narkotika termasuk dalam tindak kejahatan yang serius.
Dikaitkan dengan pembayaran diyat Satinah, upaya Indonesia untuk membayar uang diyat merupakan bentuk penghargaan Indonesia kepada sistem hukum yang berlaku di negara lain.

Australia, Brasil, Belanda, dan PBB harusnya melihat kasus Satinah dalam perspektif ini, alih-alih sebagai sebuah standar ganda terkait hukuman mati.
Indonesia sendiri bukan tidak pernah menyayangkan terjadinya eksekusi hukuman mati. Pada 2011, Presiden SBY mengecam Pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi Ruyati. Namun, kritik SBY saat itu tidak menyasar kedaulatan hukum suatu negara, tetapi tata krama diplomatik di mana otoritas Arab Saudi lalai tidak memberitahukan mengenai eksekusi Ruyati kepada pemerintah.

Saat ini, menurut data Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu, terdapat 229 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Menariknya, sejumlah 131 WNI atau 57 persen dari keseluruhan jumlah WNI yang terancam hukuman mati adalah mereka yang terlibat kasus narkoba.

Namun, tidak pernah sekali pun Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan berbau ancaman terhadap negara lain di mana WNI terancam hukuman mati sebagaimana yang dilakukan oleh PM Abbott. Tak pernah sekali pun Indonesia mengerdilkan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Kunjungan ke penjara, penyediaan penerjemah, pendampingan hukum melalui pengacara, hingga pendekatan kekeluargaan dan diplomatik yang dilakukan oleh perwakilan RI di negara tempat WNI terancam hukuman mati selalu dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pesan inilah yang ingin disampaikan oleh pemerintah kepada Pemerintah Australia, Brasil, dan PBB, juga semua pihak yang getol menyalahkan Indonesia yang melakukan upaya penegakan hukum di negeri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar