Mencari
Perusak Hutan
Myrna A Safitri ; Direktur
Eksekutif Epistema Institute Jakarta;
Tim Narasumber NKB-KPK
|
KOMPAS,
10 Maret 2015
Opini Transtoto Handadhari (Kompas, 24/2) penting
didiskusikan. Tulisan itu mengkhawatirkan maraknya kerusakan hutan akibat
peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan
Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.
Tampaknya, kerisauan itu berpangkal dari paradigma
scientific forestry yang berkembang pada abad ke-19 dan sangat menjiwai
banyak rimbawan.
Scientific forestry mereduksi hutan sebatas sumber
daya. Teritorialisasi hutan dilakukan guna memudahkan pengelolaan. Hutan
menjadi lanskap yang dikonstruksi secara politis dan administratif. Negara
hadir untuk membuat demarkasi antara hutan dan masyarakat.
Negara juga hadir melindungi eksploitasi hutan. Di bawah
bayang-bayang scientific forestry hutan terpisah dari masyarakat dan
terdistorsi dari pembangunan pedesaan. Alih-alih percaya, negara justru
mencurigai rakyatnya. Rakyat mendapat stigma sebagai perusak hutan.
Akibatnya adalah konflik, kriminalisasi, kemiskinan, dan
pelanggaran hak asasi manusia. Program perhutanan sosial untuk menebus dosa
tidak efektif. Salah satunya karena pengakuan hak tidak dituntaskan. Padahal,
tanpa pengakuan hak yang kokoh, tidak akan ada insentif rakyat melestarikan
hutan.
Tafsir peraturan bersama
Peraturan bersama (perber) memutus rantai kekeliruan
paradigmatik ini. Namun, Transtoto dengan keliru menafsirkan perber itu ke
dalam empat hal: intervensi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
legalitas pada perambahan hutan, kekalahan Kementerian Kehutanan (sekarang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) terhadap Badan Pertanahan
Nasional (BPN), dan kecerobohan Komisi Pemberantasan Korupsi.
AMAN tidak terlibat dalam perumusan perber ini. Perber ini
dibahas oleh kementerian/lembaga yang terlibat dalam nota kesepakatan bersama
untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.
Tidak tepat jika perber itu dikatakan melegalkan
perambahan hutan. Perber ini berpihak kepada mereka yang menguasai tanah
secara sah dan dengan itikad baik. Hak itu hilang ketika pengukuhan kawasan
hutan tidak dilaksanakan dengan benar. Secara legal 64 persen kawasan hutan
yang telah ditetapkan sudah final. Namun, tidak berarti bahwa penanganan
klaim penguasaan tanah telah sempurna.
Banyak pihak memandang penguasaan tanah hutan oleh rakyat
merupakan ancaman. Namun, ketika kawasan hutan, termasuk yang dikelola
Perhutani di Pulau Jawa, menjadi tanah negara, tingkat kerusakannya juga
tinggi. Sementara itu, banyak hutan adat dan hutan rakyat mampu dikelola
secara lestari. Jelaslah kerusakan hutan tidak terkait dengan bentuk
penguasaan tanahnya.
Mengembalikan penguasaan tanah hutan kepada rakyat tidak
akan menyebabkan kerusakan sepanjang: (1) ada pendampingan efektif dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengelola hutan adat/hutan
rakyat dengan baik; (2) ada kesadaran dari pejabat BPN untuk menjalankan
Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria yang mewajibkan tanggung jawab
lingkungan dari setiap pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah di kawasan
hutan harus memperhatikan daya dukung lingkungan dan fungsi-fungsi hutan; (3)
ada perlindungan dari pemerintah daerah dalam bentuk zonasi rencana tata
ruang wilayah yang sesuai.
Pemerintahan Joko Widodo menyadari instrumentalnya perber
ini dalam mengatasi penebangan liar (lihat Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019).
Dengan mengakui hak-hak rakyat dan memberikan akses kepada
mereka secara sah, pemerintah terbantu menjaga hutan. Tentu saja hal ini
memerlukan perubahan cara pandang aparat kehutanan dan BPN. Sepanjang
pemanfaatan lahan mendukung terwujudnya hutan tetap, maka dapat diakui sebagai
hutan adat atau hutan hak perorangan.
Alih-alih melemahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, perber ini justru membantu meruntuhkan sekat ego-sektoral. Perber
ini adalah diskresi yang memungkinkan koordinasi kebijakan, secara khusus Kementerian
Kehutanan dan BPN. Perumusan perber tidak mencari menang-kalah, tetapi upaya
untuk mencari solusi bagi kawasan hutan yang legitimate.
KPK, dalam kerangka pencegahan korupsi kehutanan, sangat
menyadari bahwa konflik dan korupsi saling berkait. Korupsi kehutanan
terutama dalam penerbitan izin-izin mendorong beralihnya penguasaan tanah
rakyat kepada negara dan korporasi secara tidak adil. Dengan memperjelas
siapa berhak apa pada kawasan hutan, maka persoalan tenurial dapat
diselesaikan.
Dalam pembahasan perber ini, tim KPK selalu mengingatkan
bahwa pengakuan dan penegasan hak merupakan hal penting, tetapi tidak harus
diakhiri dengan perubahan kawasan hutan. Bisa saja ditetapkan hutan adat dan
hutan hak di dalam kawasan hutan itu. Sayang, pandangan ini tidak seluruhnya
dipahami aparat kehutanan atau pertanahan.
Langkah ke depan
Tanpa disadari banyak pihak, perber ini membawa perubahan
besar dalam paradigma penguasaan tanah dan sumber daya. Kelemahan yang ada
perlu segera diperbaiki. Pembahasan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis
lebih terbuka dan inklusif.
Penyempurnaan perlu dilakukan pada tiga hal: (1) berbagai
produk hukum daerah diterima untuk verifikasi keberadaan masyarakat hukum
adat; (2) ketentuan perubahan kawasan hutan perlu disempurnakan dengan
menyatakan bahwa perubahan adalah pada batas kawasan hutan negara; (3)
pengakuan dan penegasan hak adalah cara untuk penetapan hutan hak, termasuk
hutan adat di dalam kawasan hutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar