Waspada
Pangan 2015
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar
Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)
dan Associate Scholar CORE Indonesia
|
KOMPAS,
10 Maret 2015
Selama empat bulan terakhir ini kita disuguhi oleh hiruk-
pikuk program, kebijakan, dan target terkait sektor pertanian dan pangan yang
untuk beberapa terkesan bombastis dan beberapa lainnya justru tidak menjawab
persoalan mendasar sektor tersebut.
Belum cukup dengan hiruk-pikuk tersebut, masyarakat tiba-tiba
dikejutkan oleh kenaikan harga beras yang sangat tinggi (rata-rata 30 persen)
dalam dua bulan terakhir ini, yang tampaknya lepas dari pengamatan dan
pengawalan kementerian/lembaga yang bertanggung jawab terhadap masalah itu.
Setelah Presiden Joko Widodo turun tangan langsung, baru gejolak harga beras
yang menggila itu bisa diredam.
Berbagai hiruk-pikuk dan gejolak tersebut dipastikan akan
terus berulang apabila kebijakan dan program yang diambil tidak ada perubahan
yang sangat mendasar dari yang sudah dilakukan selama 17 tahun terakhir ini.
Konsep dan paradigma kedaulatan pangan yang didengungkan
pemerintah saat ini seolah memunculkan harapan baru terjadinya perubahan
kebijakan dan program ”yang fundamental”. Sayangnya, dengan berlalunya hari,
berlalu juga cita-cita luhur tersebut, yang menyisakan wacana dan retorika
kedaulatan pangan yang manis untuk diucapkan, tetapi menjauh dari kenyataan
yang ada.
Produksi turun
Berkaca pada tahun 2014, pada tahun lalu ditargetkan
produksi padi meningkat pada angka fantastis sebesar 8,04 persen (Rencana
Aksi Bukittinggi) yang kemudian penulis komentari dengan kata ”isapan jempol
belaka” (Kompas, 21/1/2014). Hal tersebut terbukti dengan diluncurkannya
angka sementara) produksi padi, jagung, dan kedelai tahun 2014 (BPS,
2/3/2015). Produksi padi tahun 2014 bukannya naik, melainkan justru turun
0,63 persen dari 71,3 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 70,8 juta
ton GKG.
Penurunan produksi tersebut disumbangkan oleh penurunan
luas panen sebesar 41,61 ribu hektar dan penurunan produktivitas sebesar 0,17
kuintal per hektar. Penurunan produksi padi terutama terjadi di Pulau Jawa
dan sedikit kenaikan produksi di Luar Jawa. Penurunan produksi itu
menyebabkan kenaikan harga beras sebesar 13,9 persen sepanjang tahun 2014
dibandingkan 2013. Krisis beras tersebut kemudian mencapai puncaknya pada
bulan Januari-Februari 2015.
Produksi padi 2014 yang tidak menggembirakan ini sudah
penulis perkirakan di awal tahun 2014 (”Situasi
Pangan 2014”, Kompas, 21/1/2014, ”Banjir dan Produksi Pangan”, Kompas,
14/2/2014), bahkan penulis menyebutkan Indonesia terpaksa harus mengimpor
beras di atas 1,5 juta ton pada tahun 2014. Impor beras itu diperlukan untuk
menstabilkan harga beras di pasar domestik karena nisbah stok/konsumsi yang
mencapai titik terendah selama tiga tahun terakhir, puso akibat banjir di
awal tahun, serta ancaman El Nino di tengah dan akhir tahun.
Stok beras nasional di awal tahun terus menurun dari 7,4
juta metrik ton di periode 2012/2013 menjadi 6,48 juta metrik ton (2013/2014)
dan 5,5 juta metrik ton di awal Januari 2015 (WASDE-USDA, 10/2/2015) atau
penurunan 26 persen dalam tempo hanya dua tahun.
Berkaitan dengan impor beras, Indonesia pada tahun 2014
melakukan impor sebesar 1,225 juta ton (USDA, 3/12/2014) atau sedikit lebih
rendah daripada perkiraan penulis. Impor beras yang lebih rendah dari
perkiraan tersebut harus dibayar mahal dengan terjadinya gejolak harga di
awal tahun 2015. Meskipun demikian, kita semua patut bersyukur karena
kenaikan tajam harga beras tersebut tidak sampai menimbulkan gejolak sosial
yang besar.
Fenomena trade-off
antara produksi padi dengan jagung dan kedelai teramati di tahun 2014.
Produksi jagung dan kedelai masing-masing meningkat 2,81 persen dan 22,30
persen yang kenaikannya terutama disumbang oleh kenaikan produksi di Pulau
Jawa. Ketika luas panen padi terutama di Pulau Jawa menurun, biasanya akan
diikuti dengan peningkatan luas panen kedelai dan jagung.
Selain itu, faktor iklim juga mendukung untuk pertanaman
tersebut sehingga produktivitas keduanya juga meningkat. Meskipun demikian,
kenaikan produksi jagung dan kedelai masih jauh dari memadai sehingga
ketergantungan impor terhadap kedua komoditas itu tidak beranjak membaik
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Situasi pangan global
Sistem pangan Indonesia sudah terintegrasi sedemikian
masif ke sistem pangan dunia. Integrasi itu semakin menguat dengan
diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun ini. Dengan demikian, jika
terjadi gejolak pangan di tingkat internasional, gelombangnya dengan cepat
mengenai petani kecil kita tanpa ada jeda waktu untuk mengantisipasinya.
Penurunan harga minyak bumi sebesar 50 persen sebagian
menyebabkan turunnya indeks harga pangan dunia. Secara teoretis, setiap
penurunan/kenaikan harga minyak bumi sebesar 10 persen akan diikuti dengan
penurunan/kenaikan harga pangan sebesar 3 persen. Indeks harga pangan turun
sebesar 10 persen dari 203,2 di Januari 2014 menjadi 182,7 di Januari 2015.
Penurunan terbesar disumbangkan oleh susu dan produk turunannya sebesar 35
persen, disusul minyak nabati sebesar 17,3 persen, dan biji-bijian (serealia)
sebesar 7,3 persen. Harga daging justru meningkat 6,6 persen.
Penurunan harga minyak bumi tidak cukup untuk menerangkan
turunnya harga pangan dunia. Faktor lain yang berperan adalah panen gandum
yang melimpah, terutama di Eropa yang menyebabkan dunia menorehkan rekor
produksi serealia sebesar 2.532 juta ton (FAO, Desember 2014). Produksi yang
tinggi menyebabkan stok serealia dunia juga mencapai rekor tertinggi selama
15 tahun terakhir.
Apabila total produksi serealia meningkat, tidak demikian
untuk padi. Produksi padi dunia mengalami sedikit penurunan (-0,4 persen)
karena penurunan produksi terutama di produsen beras utama, yaitu India dan
Thailand. Meskipun produksi padi dunia tahun 2014 kurang menggembirakan,
harga beras ternyata ikut turun bersamaan dengan turunnya harga serealia
lainnya. Hal itu memicu banyak negara membeli beras dari pasar internasional
selama tengah hingga akhir tahun 2014. Hal ini menyebabkan nisbah stok/konsumsi
beras dunia di tahun 2015 akan mengalami titik terendah selama 10 tahun
terakhir.
Berkaitan dengan situasi pangan di Indonesia dan dinamika
harga pangan dunia, sebaiknya pemerintah melupakan upaya mengekspor 1 juta
beras premium ke luar negeri. Alih-alih mengekspor beras, pada tahun ini
penulis memperkirakan produksi padi akan stagnan seperti tahun 2014, ataupun
kalau terjadi kenaikan teramat kecil sehingga masih belum mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Impor beras
Beberapa faktor mendasari hal ini. Tanam musim ini sudah
mundur 1,5 bulan dan ini akan berdampak pada produksi di Musim Tanam Padi II
dan III, tetapi berdampak positif untuk jagung dan kedelai. Puso akibat
banjir sebagaimana tahun lalu diperkirakan tak terjadi sehingga produksi padi
bisa sedikit terselamatkan. Kita sangat berharap fenomena El Nino yang
berkategori sedang di tahun 2014 tidak berlanjut di tahun 2015. Jika
berlanjut, maka akan menjadi ancaman besar bagi produksi pangan utama.
Berdasarkan hal itu, tahun ini penulis memperkirakan
bukannya Indonesia mengekspor beras, tetapi masih harus mengimpor beras
sekitar 1 juta ton. Untuk mencegah gejolak harga beras, upaya-upaya besar
perlu dilakukan pemerintah karena stok beras nasional di akhir tahun
kemungkinan akan menurun 15 persen di bandingkan tahun 2014. Dari sisi harga,
ekspor beras juga tidak realistis karena harga beras kualitas tinggi di pasar
internasional diperkirakan hanya berkisar 420-450 dollar AS per ton atau Rp
5.460–Rp 5.850 per kilogram atau hanya setengah harga beras premium di
Indonesia.
Impor padi hibrida dari Tiongkok untuk peningkatan
produksi sebaiknya dibatalkan karena tidak ada bukti di lima tahun terakhir
ini bahwa varietas tersebut mampu meningkatkan produksi padi di Indonesia,
beberapa kasus produksinya bahkan jauh lebih rendah dibandingkan varietas
lokal dan menyebabkan meledaknya populasi hama wereng di banyak tempat.
Pemerintah sebaiknya berkonsentrasi penuh untuk mengembangkan
varietas-varietas karya peneliti di perguruan tinggi dan lembaga penelitian
serta karya petani kecil Indonesia yang memiliki potensi hasil di atas 10 ton
GKP per hektar.
Impor pangan pokok lainnya diperkirakan masih akan tetap
tinggi. Impor gandum akan meningkat dari 7,4 juta ton menjadi 7,5 juta ton,
impor jagung (2014/2015) diperkirakan hampir sama dengan 2013/2014, yaitu
sekitar 3,2 juta ton, sedangkan impor kedelai meningkat dari 2,2 menjadi 2,3
juta ton dan gula meningkat menjadi 4,0 juta ton. Jadi, kesimpulannya, tahun
ini Indonesia masih menjadi pengimpor besar pangan di dunia.
Penulis yakin Presiden Jokowi memiliki intuisi yang tajam
untuk membaca situasi ini, mau menerima masukan dari banyak pihak, bahkan
jika itu berbeda dengan yang diyakini selama ini dan tidak sekadar tergantung
dari laporan, data, dan retorika pembantu-pembantunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar