Selasa, 10 Maret 2015

Lonceng Kematian KPK

Lonceng Kematian KPK

Achmad Fauzi  ;  Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
KORAN JAKARTA, 07 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Rubrik Perspektif Koran Jakarta berjudul “Sempurna, Pelumpuhan KPK” (20/2) menarik dibahas lebih lanjut. Di tengah gempuran yang masif dan praktik korupsi  meluas, patut dipertanyakan, masihkah KPK memiliki masa depan?

KPK saat ini sedang terkapar butuh pertolongan. Gerombolan kekuatan mengepung dan melemahkan lembaga ini datang dari berbagai penjuru angin. Dari Senayan, misalnya, seluruh fraksi DPR sepakat mengaji ulang sejumlah kewenangannya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk dalam daftar revisi dalam Prolegnas 2015-2019.

Beberapa pasal “stamina” KPK seperti wewenang penyadapan, lingkup penyelidikan, penyidikan serta penetapan status tersangka yang tak kenal limitasi akan dibonsai. Muaranya, agar taji KPK tumpul  dan berklimaks pada sebuah interogasi politik: masih urgenkah KPK? Jika perannya mandul tidakkah lebih baik dibubarkan?

Dari penjuru lain terpapar orkestra menjadikan pimpinan KPK sebagai tersangka. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka kasus lawas yang telah lama terkubur dan  digali kembali sebagai peluru pertarungan. Ada kesan mengais-kais kekhilafan anggota KPK yang nota bene manusia biasa agar kegarangan memberantas korupsi lumpuh total. Belum puas moncong senapan menggembosi semangat antikorupsi, beberapa penyidik KPK juga jadi target bidikan. Mereka dibidik terkait kepemilikan senjata api.
Penyidik KPK Novel Baswedan yang pada 2012 pernah dikepung sejumlah polisi atas kasus pelanggaran pidana kekerasan kepada pencuri sarang burung walet di Bengkulu juga tak luput dari incaran. Kasus tersebut kembali diungkap di saat hubungan KPK dan Polri sedang diliputi ketegangan.  Ada temali motif yang tak bisa diputus begitu saja dengan konteks pemberantasan korupsi oleh KPK.

Mirip situasi pengepungan Novel ketika itu yang posisinya sebagai penyidik kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Polri. Padahal, seandainya ksatria, masih ada oknum polisi “nakal” yang melanggar  hukum dan perlu diusut  tuntas.

Serangan bertubi-tubi membuat KPK benar-benar sempoyongan. Buktinya, KPK lempar handuk dan telah berikrar melimpahkan penanganan perkara yang melibatkan Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung dan terbuka kemungkinan diserahkan ke Polri. Hal ini menunjukkan KPK sudah kehilangan asa di bawah kepemimpinan Taufiqurachman Ruki. Alih-alih Ruki menyelamatkan KPK dari tubir kehancuran, ia justru melakukan blunder dengan mengerdilkan semangat pemberantasan korupsi.

Langkah tersebut ditentang  keras  internal KPK sendiri. Sebanyak 500-an pegawai KPK yang tergabung dalam Wadah Pegawai KPK berunjuk rasa menolak keputusan konyol pimpinan KPK. Mereka  menolak keputusan pimpinan KPK yang melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung, meminta pimpinan KPK mengajukan upaya hukum PK atas putusan praperadilan kasus Budi Gunawan, dan mendesak  Ruki menjelaskan strategi pemberantasan korupsi.

Para koruptor akan semakin mudah menghancurkan KPK karena proses konsolidasi internal  menyisakan sejumlah persoalan. Demo para pegawai KPK jangan dianggap sepele. Mereka tak gentar menghadapi ancaman sanksi pemecatan sekalipun.

Sarpin Effect

Di lain pihak, KPK mengalami lesu darah tatakala jargon pemberantasan korupsi mengalami pecah pengertian, setelah putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi memenangkan  Budi Gunawan.

Hakim yang memasukkan penetapan tersangka sebagai bagian dari objek praperadilan adalah hasil perenungan sendiri Sarpin. Namun demikian, tak dipungkiri efek domino  putusan tersebut membuka ruang upaya  tersangka korupsi mengajukan praperadilan seperti dilakukan bekas  Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan anggota DPR Sutan Bhatoegana.

Menghadapi gelombang masif gugatan praperadilan, putusan hakim Sarpin menurut saya tidak mutlak menjadi yurisprudensi. Pendapat ini bukan kebenaran tunggal dan masih perlu didiskusikan. Meski kedudukan hakim bukan sekadar corong undang-undang (bouche de la loi, spreekbuis van de wet), namun tetap berlaku asas hakim mengadili menurut hukum (Bagir Manan, 2014).

Ketentuan yang telah diatur secara terang dalam KUHAP tidak perlu ditafsirkan ganda, kecuali bunyi pasal bersifat sumir. Hakim memang memiliki instrumen menafsir, menghaluskan, atau bahkan menciptakan hukum. Namun, interpretasi hukum terbatas pada teks yang samar-samar, ketinggalan zaman atau kehilangan roh keadilan maupun kemanfaatannya, sehingga perlu dikontekstualisasikan dengan situasi kekinian. 

Kedudukan hakim sebagai pembuat UU (judge made law) terbatas jika  tidak lengkap mengatur secara rigid hukum perkara yang ditangani. Hakim wajib menemukan hukum (rechtsvinding) atau norma baru ketika tidak ada aturan atau terjadi kekosongan.  Sementara, jika ditilik ketentuan dalam KUHAP, objek praperadilan telah diatur secara lengkap dan jelas.

Bersinergi

Sudah saatnya KPK dan Polri bersinergi dan kembali ke khitah masing-masing. Perbaikan tatakrama kelembagaan yang sempat hancur  harus segera diperbaiki  tanpa ada kompromi tukar guling kepentingan. Pemberantasan korupsi harus diletakkan di atas segalanya.
Tidak ada seorang pun di negeri ini yang memiliki imunitas hukum.  Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan dengan tegas, setiap warga  bersamaan kedudukannya di depan  hokum. Pemerintahan  wajib menjunjung hokum, tanpa   kecuali. Premis ini mengandaikan setiap  orang, apa pun jabatannya ketika menghadapi proses hukum harus  kooperatif dan menghormati supremasi hukum. Pembangkangan terhadap hukum adalah penistaan terhadap konstitusi.

KPK dan Polri harus meletakkan konsep esprit de corps secara tepat dan benar. Jiwa korsa berbentuk kekompakan dan loyalitas kepada lembaga jangan diterapkan kepada hal-hal yang menurunkan martabat kelembagaan. Jika suatu saat nanti dalam perjalanannya KPK kembali menjerat oknum kepolisian karena terlibat korupsi, maka  Polri tidak boleh resisten dan harus legawa sebagai wujud penghormatan konstitusi.

Masyarakat sangat sedih. Di tengah berderingnya alarm darurat korupsi, republik ini justru menyajikan adu kekuasaan dua organ negara. Tentu tidak ada yang dimenangkan dalam pertentangan.  Justru situasi ini dimanfaatkan  koruptor sebagai “injury time” untuk menghilangkan jejak dan memeriahkan pesta pora hasil kejahatannya. Marilah bersatu melawan banalitas korupsi dengan memperkuat kembali KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar