Lonceng
Kematian KPK
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
KORAN
JAKARTA, 07 Maret 2015
Rubrik Perspektif Koran Jakarta berjudul “Sempurna, Pelumpuhan KPK” (20/2)
menarik dibahas lebih lanjut. Di tengah gempuran yang masif dan praktik
korupsi meluas, patut dipertanyakan,
masihkah KPK memiliki masa depan?
KPK saat ini sedang terkapar butuh pertolongan. Gerombolan
kekuatan mengepung dan melemahkan lembaga ini datang dari berbagai penjuru
angin. Dari Senayan, misalnya, seluruh fraksi DPR sepakat mengaji ulang
sejumlah kewenangannya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi masuk dalam daftar revisi dalam Prolegnas 2015-2019.
Beberapa pasal “stamina” KPK seperti wewenang penyadapan,
lingkup penyelidikan, penyidikan serta penetapan status tersangka yang tak
kenal limitasi akan dibonsai. Muaranya, agar taji KPK tumpul dan berklimaks pada sebuah interogasi
politik: masih urgenkah KPK? Jika perannya mandul tidakkah lebih baik
dibubarkan?
Dari penjuru lain terpapar orkestra menjadikan pimpinan
KPK sebagai tersangka. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan
sebagai tersangka kasus lawas yang telah lama terkubur dan digali kembali sebagai peluru pertarungan.
Ada kesan mengais-kais kekhilafan anggota KPK yang nota bene manusia biasa
agar kegarangan memberantas korupsi lumpuh total. Belum puas moncong senapan
menggembosi semangat antikorupsi, beberapa penyidik KPK juga jadi target bidikan.
Mereka dibidik terkait kepemilikan senjata api.
Penyidik KPK Novel Baswedan yang pada 2012 pernah dikepung
sejumlah polisi atas kasus pelanggaran pidana kekerasan kepada pencuri sarang
burung walet di Bengkulu juga tak luput dari incaran. Kasus tersebut kembali
diungkap di saat hubungan KPK dan Polri sedang diliputi ketegangan. Ada temali motif yang tak bisa diputus
begitu saja dengan konteks pemberantasan korupsi oleh KPK.
Mirip situasi pengepungan Novel ketika itu yang posisinya
sebagai penyidik kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Polri. Padahal,
seandainya ksatria, masih ada oknum polisi “nakal” yang melanggar hukum dan perlu diusut tuntas.
Serangan bertubi-tubi membuat KPK benar-benar sempoyongan.
Buktinya, KPK lempar handuk dan telah berikrar melimpahkan penanganan perkara
yang melibatkan Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung dan terbuka kemungkinan
diserahkan ke Polri. Hal ini menunjukkan KPK sudah kehilangan asa di bawah
kepemimpinan Taufiqurachman Ruki. Alih-alih Ruki menyelamatkan KPK dari tubir
kehancuran, ia justru melakukan blunder dengan mengerdilkan semangat
pemberantasan korupsi.
Langkah tersebut ditentang
keras internal KPK sendiri.
Sebanyak 500-an pegawai KPK yang tergabung dalam Wadah Pegawai KPK berunjuk
rasa menolak keputusan konyol pimpinan KPK. Mereka menolak keputusan pimpinan KPK yang
melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung, meminta pimpinan KPK
mengajukan upaya hukum PK atas putusan praperadilan kasus Budi Gunawan, dan mendesak Ruki menjelaskan strategi pemberantasan
korupsi.
Para koruptor akan semakin mudah menghancurkan KPK karena
proses konsolidasi internal menyisakan
sejumlah persoalan. Demo para pegawai KPK jangan dianggap sepele. Mereka tak
gentar menghadapi ancaman sanksi pemecatan sekalipun.
Sarpin Effect
Di lain pihak, KPK mengalami lesu darah tatakala jargon
pemberantasan korupsi mengalami pecah pengertian, setelah putusan hakim
tunggal Sarpin Rizaldi memenangkan
Budi Gunawan.
Hakim yang memasukkan penetapan tersangka sebagai bagian
dari objek praperadilan adalah hasil perenungan sendiri Sarpin. Namun
demikian, tak dipungkiri efek domino
putusan tersebut membuka ruang upaya
tersangka korupsi mengajukan praperadilan seperti dilakukan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan
anggota DPR Sutan Bhatoegana.
Menghadapi gelombang masif gugatan praperadilan, putusan
hakim Sarpin menurut saya tidak mutlak menjadi yurisprudensi. Pendapat ini
bukan kebenaran tunggal dan masih perlu didiskusikan. Meski kedudukan hakim
bukan sekadar corong undang-undang (bouche
de la loi, spreekbuis van de wet), namun tetap berlaku asas hakim
mengadili menurut hukum (Bagir Manan, 2014).
Ketentuan yang telah diatur secara terang dalam KUHAP
tidak perlu ditafsirkan ganda, kecuali bunyi pasal bersifat sumir. Hakim
memang memiliki instrumen menafsir, menghaluskan, atau bahkan menciptakan
hukum. Namun, interpretasi hukum terbatas pada teks yang samar-samar,
ketinggalan zaman atau kehilangan roh keadilan maupun kemanfaatannya,
sehingga perlu dikontekstualisasikan dengan situasi kekinian.
Kedudukan hakim sebagai pembuat UU (judge made law)
terbatas jika tidak lengkap mengatur
secara rigid hukum perkara yang ditangani. Hakim wajib menemukan hukum
(rechtsvinding) atau norma baru ketika tidak ada aturan atau terjadi
kekosongan. Sementara, jika ditilik
ketentuan dalam KUHAP, objek praperadilan telah diatur secara lengkap dan
jelas.
Bersinergi
Sudah saatnya KPK dan Polri bersinergi dan kembali ke
khitah masing-masing. Perbaikan tatakrama kelembagaan yang sempat hancur harus segera diperbaiki tanpa ada kompromi tukar guling
kepentingan. Pemberantasan korupsi harus diletakkan di atas segalanya.
Tidak ada seorang pun di negeri ini yang memiliki imunitas
hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
mengamanatkan dengan tegas, setiap warga
bersamaan kedudukannya di depan
hokum. Pemerintahan wajib
menjunjung hokum, tanpa kecuali.
Premis ini mengandaikan setiap orang,
apa pun jabatannya ketika menghadapi proses hukum harus kooperatif dan menghormati supremasi hukum.
Pembangkangan terhadap hukum adalah penistaan terhadap konstitusi.
KPK dan Polri harus meletakkan konsep esprit de corps secara tepat dan benar. Jiwa korsa berbentuk
kekompakan dan loyalitas kepada lembaga jangan diterapkan kepada hal-hal yang
menurunkan martabat kelembagaan. Jika suatu saat nanti dalam perjalanannya
KPK kembali menjerat oknum kepolisian karena terlibat korupsi, maka Polri tidak boleh resisten dan harus legawa
sebagai wujud penghormatan konstitusi.
Masyarakat sangat sedih. Di tengah berderingnya alarm
darurat korupsi, republik ini justru menyajikan adu kekuasaan dua organ
negara. Tentu tidak ada yang dimenangkan dalam pertentangan. Justru situasi ini dimanfaatkan koruptor sebagai “injury time” untuk menghilangkan jejak dan memeriahkan pesta
pora hasil kejahatannya. Marilah bersatu melawan banalitas korupsi dengan
memperkuat kembali KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar