Mafia
Pangan sebagai Neokolonialis
Dyah Pitaloka ; Peneliti
Bidang Pangan;
Persiapan Beasiswa Doktor di Woosuk University Korsel
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Maret 2015
“GENIUS ialah 1% inspirasi dan 99 % keringat. Tidak ada
yang dapat mengganti kan kerja keras. Keberuntungan ialah sesuatu yang
terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.“
(Thomas A Edison, Penemu dan Pendiri Edison Electric Light
Company).
Pernyataan Edison itu mengingatkan
kita bahwa kerja keras atau kerja cerdas merupakan kunci kesuksesan.
Kesuksesan hanya bisa diraih dengan mengerahkan segala kemampuan, yang
kemampuan ini di antaranya ditunjukkan dalam kerja.
Ketika diduga ada para mafia di
balik sengkarut harga beras belakangan ini, yang mafianya terdiri dari
sejumlah elite ekonomi nakal, ini artinya kita mendapatkan materi
`pembelajaran' tentang kisah pekerja keras di ranah kejahatan.
`Pekerja keras' di sini ialah para
mafia yang mengeksplorasi dan mengelaborasi kemampuannya untuk
mendistabilisasi ketahanan pangan dan sektor-sektor strategis lainnya.
Para penjahat yang beraksi dengan
dukungan kemampuan berpikir atau intelektualitasnya itu, boleh jadi akan
lebih sukses dalam mengumpulkan harta jika dibandingkan dengan seseorang atau
sekelompok yang sebatas menikmati kursi (birokrat) di belakang meja yang
pasif dengan amanat yang dipercayakan kepadanya.
Sebagai sampel, sepanjang
Februari, harga beras di sejumlah sentra pangan mengalami kenaikan yang cukup
tinggi. Di bulan Februari itu, di Pasar Induk Cipinang, semua jenis beras,
mulai dari medium dan premium mengalami kenaikan hingga 30%.Tingginya
kenaikan harga pangan (beras) ini mengakibatkan terjadinya gejolak di tengah
masyarakat, khususnya konsumen dari kalangan akar rumput.
Menurut dugaan dari sejumlah
pihak, ada sekitar lima hingga delapan pedagang beras berskala besar yang
mampu memengaruhi harga beras nasional. Jika pemain beras berskala besar ini
berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan
terpengaruh. Harganya bisa naik signifikan.
Mereka itulah yang selama ini
diduga menjadi geng atau mafia pangan, yang tentu saja mengakibatkan
kelangkaan pangan atau distabilisasi harga pangan. Praktik ini tak ubahnya
sebagai kriminalisasi pangan yang berefek mencekik rakyat secara serius.
Dugaan kuat terjadinya permainan
atau rekayasa harga pangan dari kalangan yang dilakukan oleh sekelompok
pedagang besar (mafia pangan) itu menyadarkan pemerintah untuk tidak
terjerumus dalam mengeluarkan kebijakan yang salah.
Salah satu diskresi pemerintah
yang bisa salah dalam menjawab kasus itu adalah impor beras (bahan pangan)
tanpa menginvestigasi secara riil akar problematika sengkarutnya.
Kesalahan rezim terdahulu memang
tidak boleh diulang pemerintah Jokowi-JK. Di rezim terdahulu, begitu ada
gejolak tentang kelangkaan pangan tertentu, pemerintah secepatnya membuat
diskresi impor. Padahal, impor inilah yang memang dikehendaki oleh para mafia
atau para perekayasa disabilitas pasar.
Para mafia itu cermin dari
orang-orang hebat di berbagai lini, yang terkonvergensi atau terintegrasi
antara elite ekonomi dan kekuasaan yang punya kepentingan untuk mendatangkan
uang berlimpah dan memenuhi target tertentu. Target pengembangan dan
pengamanan uang berlimpah dan pelemahan kekuasaan (negara) merupakan target
mendasar setiap mafia. Mafia tidak hanya mengejar keuntungan uang, tetapi
menciptakan kekuatan yang bisa berpengaruh di lingkungan kekuasaan dan
masyarakat (Leksono, 2013). Ketika mafia berhasil menciptakan `dunia' khusus
di lingkaran kekuasaan, berbagai kepentingan strategis, khususnya yang
berelasi dengan keuntungan ekonomi, dengan mudah bisa diraih dan
diamankannya.
Bukan itu saja, ke depannya,
berbagai kepentingan politik yang diidealitaskan bisa membuka kran-kran baru
di ranah keuntungan ekonomi, dapat dikembangkan dan terus dilanjutkan.
Masuknya mafia di lingkaran
kekuasaan itu juga secara tidak langsung menyebarkan virus yang membuat
kekuatan di jalur pro kebenaran, keadilan, dan transparansi tidak dapat
bergerak lebih cepat dan di beberapa mesin strukturalnya mengalami disfungsi.
Komunitas mafia mestilah berusaha
keras untuk memasuki dan mengendalikan jalur kekuasaan. Kalau jalur kekuasaan
berhasil dihegemoninya, apalagi sampai dilanggengkan dalam cengkeramannya,
maka memaksa oknum elite kekuasaan tertentu untuk mengeluarkan diskresi
bidang perberasan misalnya, tidaklah mengalami kesulitan.
Negara juga sejatinya organisasi,
yang apabila tidak terkelola dengan `sahih' atau berkinerja keras, maka
konstruksinya akan keropos atau sekadar dijadikan lahan terbasah oleh
kalangan koruptor atau penyimpang kekuasaan, yang salah satu jalan
sindikasinya dengan menggunakan mafia pangan sebagai `lahan' mencari dan
menimbun keuntungan.
Dalam ranah pengadaan dan distribusi
pangan di negeri ini, mafia pangan di rezim lalu telah terbilang sukses dalam
mewujudkan `pekerjaan' ilegalitasnya. Mulai dari merekayasa harga beras
`mencekik' hingga menghilangkan beras di pasaran telah dilakukannya.
Di masa Jokowi-JK, akselerasi mafia
pangan itu wajib dihentikan. Praktik dehumanisasi dan kriminalisasi pangan
yang diterapkannya yang terbukti mengakibatkan penderitan serius terhadap
`wong cilik' layak ditempatkan sebagai model neokolonialis.
Soal neokolonialis itu sudah
pernah diingatkan oleh Proklamator Soekarno, bahwa penjajahan terberat dan
terbesar adalah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Para penjajah
itu sangat `gigih' menciptakan peluang atau mengeksplorasi strategi mencari
untung dengan cara memproduksi banyak praktik bisnis dehumanisasi atau
menjalankan model penghisapan kemampuan rakyat. Mereka ini tak peduli rakyat
mengalami penderitaan berlanjut, pasalnya mereka hanya mengalkulasi besaran
keuntungan yang bisa diperolehnya.
Kegigihan mafia beras itu
seharusnya dijadikan refleksi aparat yang berwajib, bahwa sejatinya dirinya
sedang jadi objek pelecehan atau tertawaan. Mafia beras mencibirnya kalau di
negara ini yang berkuasa bukanlah norma yuridis, tetapi uang.Mafia beras
menganggap statusnya jauh lebih kuat dibandingkan `jati dirinya' (aparat atau
negara). Mereka selalu berusaha membuktikan kalau di rezim siapa pun, dirinya
tetap lebih piawai dalam mempermainkan nasib rakyat dibandingkan kinerjanya
aparat atau negara.
Itu menunjukkan, bahwa mafia beras
(pangan) setidaknya sudah memberikan `pesan' tantangan bersifat serius kepada
aparat dengan menempatkan rakyat sebagai obyek permainannya. Jika aparat
tidak lebih cepat mengungkap tantangan mafia pangan ini, penderitaan rakyat
tidak akan kenal titik nadir. `Pesan' mafia pangan lewat kenaikan harga beras
barangkali sekadar eksperimen untuk menguji kesungguhan atau ketangguhan
rezim sekarang. Kalau ini tidak secara cerdik dan berkelanjutan dibaca dan
disikapi secara cerdas, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti, mereka akan
melakukan eksperimen demi eksperimen yang lebih mengerikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar