Senin, 09 Maret 2015

Mafia Pangan sebagai Neokolonialis

Mafia Pangan sebagai Neokolonialis

Dyah Pitaloka  ;  Peneliti Bidang Pangan;
Persiapan Beasiswa Doktor di Woosuk University Korsel
MEDIA INDONESIA, 07 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

“GENIUS ialah 1% inspirasi dan 99 % keringat. Tidak ada yang dapat mengganti kan kerja keras. Keberuntungan ialah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.“                                                                        (Thomas A Edison, Penemu dan Pendiri Edison Electric Light Company).

Pernyataan Edison itu mengingatkan kita bahwa kerja keras atau kerja cerdas merupakan kunci kesuksesan. Kesuksesan hanya bisa diraih dengan mengerahkan segala kemampuan, yang kemampuan ini di antaranya ditunjukkan dalam kerja.

Ketika diduga ada para mafia di balik sengkarut harga beras belakangan ini, yang mafianya terdiri dari sejumlah elite ekonomi nakal, ini artinya kita mendapatkan materi `pembelajaran' tentang kisah pekerja keras di ranah kejahatan.

`Pekerja keras' di sini ialah para mafia yang mengeksplorasi dan mengelaborasi kemampuannya untuk mendistabilisasi ketahanan pangan dan sektor-sektor strategis lainnya.

Para penjahat yang beraksi dengan dukungan kemampuan berpikir atau intelektualitasnya itu, boleh jadi akan lebih sukses dalam mengumpulkan harta jika dibandingkan dengan seseorang atau sekelompok yang sebatas menikmati kursi (birokrat) di belakang meja yang pasif dengan amanat yang dipercayakan kepadanya.

Sebagai sampel, sepanjang Februari, harga beras di sejumlah sentra pangan mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Di bulan Februari itu, di Pasar Induk Cipinang, semua jenis beras, mulai dari medium dan premium mengalami kenaikan hingga 30%.Tingginya kenaikan harga pangan (beras) ini mengakibatkan terjadinya gejolak di tengah masyarakat, khususnya konsumen dari kalangan akar rumput.

Menurut dugaan dari sejumlah pihak, ada sekitar lima hingga delapan pedagang beras berskala besar yang mampu memengaruhi harga beras nasional. Jika pemain beras berskala besar ini berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan terpengaruh. Harganya bisa naik signifikan.
Mereka itulah yang selama ini diduga menjadi geng atau mafia pangan, yang tentu saja mengakibatkan kelangkaan pangan atau distabilisasi harga pangan. Praktik ini tak ubahnya sebagai kriminalisasi pangan yang berefek mencekik rakyat secara serius.

Dugaan kuat terjadinya permainan atau rekayasa harga pangan dari kalangan yang dilakukan oleh sekelompok pedagang besar (mafia pangan) itu menyadarkan pemerintah untuk tidak terjerumus dalam mengeluarkan kebijakan yang salah.

Salah satu diskresi pemerintah yang bisa salah dalam menjawab kasus itu adalah impor beras (bahan pangan) tanpa menginvestigasi secara riil akar problematika sengkarutnya.

Kesalahan rezim terdahulu memang tidak boleh diulang pemerintah Jokowi-JK. Di rezim terdahulu, begitu ada gejolak tentang kelangkaan pangan tertentu, pemerintah secepatnya membuat diskresi impor. Padahal, impor inilah yang memang dikehendaki oleh para mafia atau para perekayasa disabilitas pasar.

Para mafia itu cermin dari orang-orang hebat di berbagai lini, yang terkonvergensi atau terintegrasi antara elite ekonomi dan kekuasaan yang punya kepentingan untuk mendatangkan uang berlimpah dan memenuhi target tertentu. Target pengembangan dan pengamanan uang berlimpah dan pelemahan kekuasaan (negara) merupakan target mendasar setiap mafia. Mafia tidak hanya mengejar keuntungan uang, tetapi menciptakan kekuatan yang bisa berpengaruh di lingkungan kekuasaan dan masyarakat (Leksono, 2013). Ketika mafia berhasil menciptakan `dunia' khusus di lingkaran kekuasaan, berbagai kepentingan strategis, khususnya yang berelasi dengan keuntungan ekonomi, dengan mudah bisa diraih dan diamankannya.

Bukan itu saja, ke depannya, berbagai kepentingan politik yang diidealitaskan bisa membuka kran-kran baru di ranah keuntungan ekonomi, dapat dikembangkan dan terus dilanjutkan.

Masuknya mafia di lingkaran kekuasaan itu juga secara tidak langsung menyebarkan virus yang membuat kekuatan di jalur pro kebenaran, keadilan, dan transparansi tidak dapat bergerak lebih cepat dan di beberapa mesin strukturalnya mengalami disfungsi.

Komunitas mafia mestilah berusaha keras untuk memasuki dan mengendalikan jalur kekuasaan. Kalau jalur kekuasaan berhasil dihegemoninya, apalagi sampai dilanggengkan dalam cengkeramannya, maka memaksa oknum elite kekuasaan tertentu untuk mengeluarkan diskresi bidang perberasan misalnya, tidaklah mengalami kesulitan.

Negara juga sejatinya organisasi, yang apabila tidak terkelola dengan `sahih' atau berkinerja keras, maka konstruksinya akan keropos atau sekadar dijadikan lahan terbasah oleh kalangan koruptor atau penyimpang kekuasaan, yang salah satu jalan sindikasinya dengan menggunakan mafia pangan sebagai `lahan' mencari dan menimbun keuntungan.

Dalam ranah pengadaan dan distribusi pangan di negeri ini, mafia pangan di rezim lalu telah terbilang sukses dalam mewujudkan `pekerjaan' ilegalitasnya. Mulai dari merekayasa harga beras `mencekik' hingga menghilangkan beras di pasaran telah dilakukannya.

Di masa Jokowi-JK, akselerasi mafia pangan itu wajib dihentikan. Praktik dehumanisasi dan kriminalisasi pangan yang diterapkannya yang terbukti mengakibatkan penderitan serius terhadap `wong cilik' layak ditempatkan sebagai model neokolonialis.

Soal neokolonialis itu sudah pernah diingatkan oleh Proklamator Soekarno, bahwa penjajahan terberat dan terbesar adalah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Para penjajah itu sangat `gigih' menciptakan peluang atau mengeksplorasi strategi mencari untung dengan cara memproduksi banyak praktik bisnis dehumanisasi atau menjalankan model penghisapan kemampuan rakyat. Mereka ini tak peduli rakyat mengalami penderitaan berlanjut, pasalnya mereka hanya mengalkulasi besaran keuntungan yang bisa diperolehnya.

Kegigihan mafia beras itu seharusnya dijadikan refleksi aparat yang berwajib, bahwa sejatinya dirinya sedang jadi objek pelecehan atau tertawaan. Mafia beras mencibirnya kalau di negara ini yang berkuasa bukanlah norma yuridis, tetapi uang.Mafia beras menganggap statusnya jauh lebih kuat dibandingkan `jati dirinya' (aparat atau negara). Mereka selalu berusaha membuktikan kalau di rezim siapa pun, dirinya tetap lebih piawai dalam mempermainkan nasib rakyat dibandingkan kinerjanya aparat atau negara.

Itu menunjukkan, bahwa mafia beras (pangan) setidaknya sudah memberikan `pesan' tantangan bersifat serius kepada aparat dengan menempatkan rakyat sebagai obyek permainannya. Jika aparat tidak lebih cepat mengungkap tantangan mafia pangan ini, penderitaan rakyat tidak akan kenal titik nadir. `Pesan' mafia pangan lewat kenaikan harga beras barangkali sekadar eksperimen untuk menguji kesungguhan atau ketangguhan rezim sekarang. Kalau ini tidak secara cerdik dan berkelanjutan dibaca dan disikapi secara cerdas, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti, mereka akan melakukan eksperimen demi eksperimen yang lebih mengerikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar