Ahok,
Mekanisme Penganggaran,
dan
Kemarahan Politik
Laode Ida ; Wakil
Ketua DPD RI 2004-2014; Pendiri dan penggerak awal Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra)
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Maret 2015
GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama (biasa dipanggil Ahok), diguncang para politikus di DPRD.
Melalui sidang paripurna, Kamis (26/2), para anggota DPRD sepakat atas
penggunaan hak angket karena Ahok dianggap ‘menghina’ lembaga parlemen lokal
itu akibat dari RAPBD yang disampaikan ke Mendagri tak sesuai dengan putusan
sidang paripurna. Semula semua fraksi setuju atas penggunaan hak angket itu,
tetapi kemudian Fraksi Partai NasDem menarik diri setelah dikoordinasikan
pihak pimpinan pusat mereka.
Walaupun demikian, rencana
penggunaan hak angket rupanya masih akan terus berlangsung. Ahok sendiri
tampaknya tak gentar menghadapi ‘gertakan’ politik di 100 hari masa kerjanya
sebagai gubernur. Bahkan ia balik menyerang dengan melaporkan ke KPK adanya
dana siluman dalam RAPBD yang dimunculkan para politikus di DPRD yang
jumlahnya tak tanggung-tanggung, yakni mencapai lebih dari Rp12 triliun.
Tampaknya, karena mengetahui adanya niat jahat para politikus itulah Ahok tak
mau tunduk dengan putusan rapat paripurna yang niscaya menyisipkan kepentingan
subjektif mereka ke dalam RAPBD.
Prosedur formal vs kepatutan
Secara sederhana dapat dikatakan
para politikus lokal itu menggunakan alasan prosedur formal administrasi
politik anggaran sehingga sampai pada kesepakatan bersama bahwa gubernur
harus dijadikan ‘terdakwa secara politik’. DPRD memang memiliki kewenangan
dalam penyusunan anggaran daerah, yang keputusannya bersifat mengikat,
sehingga wajar kalau marah apabila putusan mereka diabaikan pihak eksekutif.
Namun, pihak Ahok tampaknya tak
begitu saja mudah menerima putusan politik anggaran yang sudah ternyata
barangkali diketahui memasukkan sejumlah komponen yang dianggap tak sesuai
dengan kebutuhan nyata untuk pembangunan Jakarta, atau bahkan merupakan
bagian dari upaya manipulasi anggaran yang memperoleh kesepakatan kolektif
secara formal. Tepatnya, Ahok bersikap kritis dan tak patuh pada putusan
politik DPRD itu dan tetap konsisten menggunakan standar kepatutan dalam
komponen atau posting anggaran untuk pembangunan di Jakarta.
Dalam konteks ini, baik pihak DPRD
maupun Ahok tentu masing-masing menganggap diri benar. Namun, sebaliknya,
bukan mustahil kedua pihak bisa saja sama-sama keliru. Mengapa? Pertama,
terkait dengan konsep ‘kebutuhan prioritas atau layaktidaknya suatu komponen
anggaran yang diusulkan’. Harusnya indikatornya jelas dan disepakati terlebih
dahulu oleh kedua pihak dan juga masyarakat. Hal itu seyogianya jadi materi
perdebatan serius dalam proses pembahasan RABPD antara Pemprov DKI dan DPRD,
dan semua harusnya tuntas dalam proses-proses pembahasan anggaran itu.
Dalam proses-proses pembahasan
anggaran tentu saja selalu terbuka adanya kompromi untuk mengakomodasi satu
sama lain. Acuan komprominya tak boleh diada-adakan, harus berangkat dari
konsep skala prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat/rakyat dan atau
untuk perbaikan pembangunan di Jakarta. Itu semua tak bisa dilepaskan dengan
target kerja tahunan dan atau periodik dari pihak eksekutif yang di-break down ke dalam item program dan
pembiayaannya. Jika konsep itu diimplementasikan secara fair, niscaya tak akan pernah muncul istilah dana siluman--suatu
istilah bernuansa penghinaan karena menunjukkan anggaran yang sengaja dibuat
untuk suatu agenda kejahatan terselubung pihak DPRD.
Kedua, RAPBD atau setiap
penyusunan anggaran pemerintah sebenarnya tak boleh hanya dianggap sebagai
‘milik’ dua pihak saja, yakni pemprov dan DPRD. Dalam anggaran negara/daerah
melekat hak publik karena rakyatlah yang jadi penyumbang terbesarnya.
Konsekuensinya pemanfaatan atau pengalokasiannya pun tak boleh seenaknya
hanya diarahkan para elite yang terlibat dalam administrasi dan arena
politik. Soalnya, jika hanya dilakukan para elite itu saja, dengan
proses-proses itulah tampaknya yang terjadi dalam proses penyusunan RAPBD di
DKI Jakarta (dan kecenderungannya juga terjadi di berbagai daerah lain di
Indonesia), kecuali sebagai pelanggaran atas hak rakyat, juga selalu terbuka
peluang terjadinya kompromi elitis berdasarkan kepentingan subjektif
masing-masing.
Keterlibatan publik dalam proses
penganggaran pada dasarnya merupakan bagian dari transparansi yang jadi
syarat mutlak untuk bisa dianggap sebagai pemerintahan yang baik dan
sekaligus bisa mengarah ke pemerintahan yang bersih. Mekanisme dilakukan
melalui uji publik yang praktiknya dengan melibatkan kelompok LSM dan atau
lembaga profesional untuk memastikan anggaran yang diajukan pemerintah atau
DPRD sesuai dengan kebutuhan rakyat sebagai sumber anggaran dan sekaligus
subjek yang harus memperoleh sentuhan untuk diperbaiki kesejahteraan dan
kualitas hidupnya.
Problemnya memang, baik pihak
pemrov maupun DPRD kerap kali selalu menganggap diri sebagai ‘yang berhak dan
tahu atau pintar’ sementara masyarakat di luarnya diposisikan ‘tak berhak,
tak tahu ataupun bahkan bodoh’ sehingga tak perlu dilibatkan. Atau, pihak pemprov
dan DPRD merasa mau melangkah cepat-cepat saja, sementara kalau libatkan
publik akan lambat. Intinya, masyarakat selalu dikhawatiri atau bahkan
dicurigai sehingga tak perlu dilibatkan dalam proses-proses penganggaran.
Padahal, di balik sikap skeptis itu
sebenarnya terkandung sikap arogan dan atau juga niat jahat dalam mengambil
porsi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam anggaran negara/daerah
yang ditetapkan secara elitis itu. Nanti setelah terjadi kasus seperti Ahok
versus DPRD seperti sekarang ini, baru kemudian publik tahu dan Ahok pun
minta dukungan rakyat banyak untuk berada di belakangnya. Itu artinya
pengabai an terhadap rakyatlah yang menjadikan konfl ik politik antara
eksekutif dan legislatif lokal di Jakarta sekarang ini.
Komunikasi politik
Publik bangsa ini memang niscaya
tak meragukan integritas Ahok dalam memimpin dan membangun Jakarta. Namun,
jika mengacu ke Pat Williams dan Jim Denney dalam buku Leadership Excellence (2012), seorang pemimpin tak bisa hanya
bermodalkan integritas, tetapi juga kemampuan membangun komunikasi yang
elegan terutama dengan para politikus mitranya.“Great leaders are great
communicators (pemimpin besar adalah komunikator yang hebat),“ tegas kedua
ahli dari `Negeri Paman Sam' itu. Perdebatan saling meyakinkan di dalam
lembaga parlemen di antara kedua pihak merupakan bagian proses komunikasi
politik yang akan sangat menentukan, dengan rakyat secara luas juga dapat
mengikuti sehingga mengetahui apa substansi yang jadi objek yang dibahas.
Komunikasi politik memang
merupakan seni dan di dalamnya jika terkandung nilai etika dengan derajat
kehati-hatian. Karena itu, Ahok juga tidak bisa hanya menggunakan alasan mau
bergerak cepat sehingga mengabaikan mekanisme formal seperti pengabaian pada
proses dan putusan sidang paripurna di DPRD DKI Jakarta itu. Tepatnya pejabat
publik harus tunduk pada mekanisme formal, termasuk dengan pelibatan publik
itu, tetapi tetap teguh mempertahankan prinsip untuk suatu agenda kerakyatan
dan perbaikan.
Para anggota DPRD juga agaknya terlalu
mengedepankan kemarahan politik mereka untuk segera melengserkan Ahok hanya
karena kesalahpahaman terkait dengan administrasi politik anggaran, padahal
kemungkinan di balik itu karena ada agenda terselubung untuk memperoleh
bagian dari proyek dalam APBD. Para politikus itu hasrusnya sadar bahwa di
tengah gairah Ahok yang menggebu-gebu untuk bangun Jakarta dengan rakyat
berada di belakangnya, kecurigaan terhadap para politikus yang mengganggu
sangat tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar