Senin, 09 Maret 2015

Ahok, Mekanisme Penganggaran, dan Kemarahan Politik

Ahok, Mekanisme Penganggaran,

dan Kemarahan Politik

Laode Ida  ;  Wakil Ketua DPD RI 2004-2014; Pendiri dan penggerak awal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (biasa dipanggil Ahok), diguncang para politikus di DPRD. Melalui sidang paripurna, Kamis (26/2), para anggota DPRD sepakat atas penggunaan hak angket karena Ahok dianggap ‘menghina’ lembaga parlemen lokal itu akibat dari RAPBD yang disampaikan ke Mendagri tak sesuai dengan putusan sidang paripurna. Semula semua fraksi setuju atas penggunaan hak angket itu, tetapi kemudian Fraksi Partai NasDem menarik diri setelah dikoordinasikan pihak pimpinan pusat mereka.

Walaupun demikian, rencana penggunaan hak angket rupanya masih akan terus berlangsung. Ahok sendiri tampaknya tak gentar menghadapi ‘gertakan’ politik di 100 hari masa kerjanya sebagai gubernur. Bahkan ia balik menyerang dengan melaporkan ke KPK adanya dana siluman dalam RAPBD yang dimunculkan para politikus di DPRD yang jumlahnya tak tanggung-tanggung, yakni mencapai lebih dari Rp12 triliun. Tampaknya, karena mengetahui adanya niat jahat para politikus itulah Ahok tak mau tunduk dengan putusan rapat paripurna yang niscaya menyisipkan kepentingan subjektif mereka ke dalam RAPBD.

Prosedur formal vs kepatutan

Secara sederhana dapat dikatakan para politikus lokal itu menggunakan alasan prosedur formal administrasi politik anggaran sehingga sampai pada kesepakatan bersama bahwa gubernur harus dijadikan ‘terdakwa secara politik’. DPRD memang memiliki kewenangan dalam penyusunan anggaran daerah, yang keputusannya bersifat mengikat, sehingga wajar kalau marah apabila putusan mereka diabaikan pihak eksekutif.

Namun, pihak Ahok tampaknya tak begitu saja mudah menerima putusan politik anggaran yang sudah ternyata barangkali diketahui memasukkan sejumlah komponen yang dianggap tak sesuai dengan kebutuhan nyata untuk pembangunan Jakarta, atau bahkan merupakan bagian dari upaya manipulasi anggaran yang memperoleh kesepakatan kolektif secara formal. Tepatnya, Ahok bersikap kritis dan tak patuh pada putusan politik DPRD itu dan tetap konsisten menggunakan standar kepatutan dalam komponen atau posting anggaran untuk pembangunan di Jakarta.

Dalam konteks ini, baik pihak DPRD maupun Ahok tentu masing-masing menganggap diri benar. Namun, sebaliknya, bukan mustahil kedua pihak bisa saja sama-sama keliru. Mengapa? Pertama, terkait dengan konsep ‘kebutuhan prioritas atau layaktidaknya suatu komponen anggaran yang diusulkan’. Harusnya indikatornya jelas dan disepakati terlebih dahulu oleh kedua pihak dan juga masyarakat. Hal itu seyogianya jadi materi perdebatan serius dalam proses pembahasan RABPD antara Pemprov DKI dan DPRD, dan semua harusnya tuntas dalam proses-proses pembahasan anggaran itu.

Dalam proses-proses pembahasan anggaran tentu saja selalu terbuka adanya kompromi untuk mengakomodasi satu sama lain. Acuan komprominya tak boleh diada-adakan, harus berangkat dari konsep skala prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat/rakyat dan atau untuk perbaikan pembangunan di Jakarta. Itu semua tak bisa dilepaskan dengan target kerja tahunan dan atau periodik dari pihak eksekutif yang di-break down ke dalam item program dan pembiayaannya. Jika konsep itu diimplementasikan secara fair, niscaya tak akan pernah muncul istilah dana siluman--suatu istilah bernuansa penghinaan karena menunjukkan anggaran yang sengaja dibuat untuk suatu agenda kejahatan terselubung pihak DPRD.

Kedua, RAPBD atau setiap penyusunan anggaran pemerintah sebenarnya tak boleh hanya dianggap sebagai ‘milik’ dua pihak saja, yakni pemprov dan DPRD. Dalam anggaran negara/daerah melekat hak publik karena rakyatlah yang jadi penyumbang terbesarnya. Konsekuensinya pemanfaatan atau pengalokasiannya pun tak boleh seenaknya hanya diarahkan para elite yang terlibat dalam administrasi dan arena politik. Soalnya, jika hanya dilakukan para elite itu saja, dengan proses-proses itulah tampaknya yang terjadi dalam proses penyusunan RAPBD di DKI Jakarta (dan kecenderungannya juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia), kecuali sebagai pelanggaran atas hak rakyat, juga selalu terbuka peluang terjadinya kompromi elitis berdasarkan kepentingan subjektif masing-masing.

Keterlibatan publik dalam proses penganggaran pada dasarnya merupakan bagian dari transparansi yang jadi syarat mutlak untuk bisa dianggap sebagai pemerintahan yang baik dan sekaligus bisa mengarah ke pemerintahan yang bersih. Mekanisme dilakukan melalui uji publik yang praktiknya dengan melibatkan kelompok LSM dan atau lembaga profesional untuk memastikan anggaran yang diajukan pemerintah atau DPRD sesuai dengan kebutuhan rakyat sebagai sumber anggaran dan sekaligus subjek yang harus memperoleh sentuhan untuk diperbaiki kesejahteraan dan kualitas hidupnya.

Problemnya memang, baik pihak pemrov maupun DPRD kerap kali selalu menganggap diri sebagai ‘yang berhak dan tahu atau pintar’ sementara masyarakat di luarnya diposisikan ‘tak berhak, tak tahu ataupun bahkan bodoh’ sehingga tak perlu dilibatkan. Atau, pihak pemprov dan DPRD merasa mau melangkah cepat-cepat saja, sementara kalau libatkan publik akan lambat. Intinya, masyarakat selalu dikhawatiri atau bahkan dicurigai sehingga tak perlu dilibatkan dalam proses-proses penganggaran.

Padahal, di balik sikap skeptis itu sebenarnya terkandung sikap arogan dan atau juga niat jahat dalam mengambil porsi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam anggaran negara/daerah yang ditetapkan secara elitis itu. Nanti setelah terjadi kasus seperti Ahok versus DPRD seperti sekarang ini, baru kemudian publik tahu dan Ahok pun minta dukungan rakyat banyak untuk berada di belakangnya. Itu artinya pengabai an terhadap rakyatlah yang menjadikan konfl ik politik antara eksekutif dan legislatif lokal di Jakarta sekarang ini.

Komunikasi politik

Publik bangsa ini memang niscaya tak meragukan integritas Ahok dalam memimpin dan membangun Jakarta. Namun, jika mengacu ke Pat Williams dan Jim Denney dalam buku Leadership Excellence (2012), seorang pemimpin tak bisa hanya bermodalkan integritas, tetapi juga kemampuan membangun komunikasi yang elegan terutama dengan para politikus mitranya.“Great leaders are great communicators (pemimpin besar adalah komunikator yang hebat),“ tegas kedua ahli dari `Negeri Paman Sam' itu. Perdebatan saling meyakinkan di dalam lembaga parlemen di antara kedua pihak merupakan bagian proses komunikasi politik yang akan sangat menentukan, dengan rakyat secara luas juga dapat mengikuti sehingga mengetahui apa substansi yang jadi objek yang dibahas.

Komunikasi politik memang merupakan seni dan di dalamnya jika terkandung nilai etika dengan derajat kehati-hatian. Karena itu, Ahok juga tidak bisa hanya menggunakan alasan mau bergerak cepat sehingga mengabaikan mekanisme formal seperti pengabaian pada proses dan putusan sidang paripurna di DPRD DKI Jakarta itu. Tepatnya pejabat publik harus tunduk pada mekanisme formal, termasuk dengan pelibatan publik itu, tetapi tetap teguh mempertahankan prinsip untuk suatu agenda kerakyatan dan perbaikan.

Para anggota DPRD juga agaknya terlalu mengedepankan kemarahan politik mereka untuk segera melengserkan Ahok hanya karena kesalahpahaman terkait dengan administrasi politik anggaran, padahal kemungkinan di balik itu karena ada agenda terselubung untuk memperoleh bagian dari proyek dalam APBD. Para politikus itu hasrusnya sadar bahwa di tengah gairah Ahok yang menggebu-gebu untuk bangun Jakarta dengan rakyat berada di belakangnya, kecurigaan terhadap para politikus yang mengganggu sangat tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar