Barter
Narapidana Australia dan Kedaulatan Hukum
Agust Riewanto ; Pengajar Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Maret 2015
PEMERINTAH Australia melalui Menlu
Julie Bishop sebagaimana dilaporkan oleh The Sidney Morning Herald (3/3)
berusaha melobi pemerintahan Jokowi untuk membatalkan eksekusi pidana mati
dua warga negara Australia Myuran Sukamaran dan Andrew Chan dalam kasus kejahatan
Narkoba dengan tiga narapidana WNI dalam kasus yang sama, yakni Kristito
Mandagi, Saud Siregar dan Ismunandar (Media Indonesia, 6 Maret 215).
Beberapa waktu yang lalu, bahkan
bukan hanya Australia yang keberatan warga negaranya dieksekusi mati, tetapi
juga Brasil memprotes, The Sidney
Morning Herald (22/2) juga melansir berita beberapa negara di dunia yang
warga negaranya akan dieksekusi mati juga melayangkan protes serupa, seperti
Nigeria, Prancis, Filipina, bahkan Sekjen PBB Ban Ki-moon juga telah meminta
pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati.
Tidak lazim
Itulah sebabnya hari-hari ini dan
juga di masa mendatang protes keras dan lobi pemerintah asing terhadap
Indonesia agar bersedia membatalkan pidana mati terhadap kasus kejahatan
narkoba akan menjadi preseden bagi uji nyali ketegasan dan ketangguhan pemerintah
RI dalam mempertahankan kedaulatan hukum di Indonesia. Jika pemerintah membuka ruang kompromi dengan
pemerintah asing dalam menjatuhkan pidana mati terhadap kasus narkoba besar
kemungkinan negeri ini akan menjadi surga bagi transaksi dan penyelundupan jaringan
internasional narkoba.
Di sinilah relevansinya untuk
menyerukan bahwa apa pun bentuk lobi pemerintah asing dalam kasus narkoba
kepada pemerintah RI harus ditolak tegas dan tak bergeming. Sebab dalam tradisi penegakan sistem hukum pidana positif di
Indonesia tidak pernah mengenal kompromi politik apalagi tukar menukar
narapidana. Sebab tukar-menukar sanksi pidana antarnarapidana juga tidak
lazim dalam idiom penjatuhan sanksi pidana di Indonesia dalam KUHP dan KUHAP.
Jika tawaran barter narapidana Australia ini diterima pemerintah RI,
dipastikan akan melahirkan konsekuensi politik hukum pidana di Indonesia
karena pemerintah asing akan menggunakan model barter ini menjadi cara ampuh
untuk menekan halus pemerintah RI untuk tidak tegas memerangi kejahatan
narkoba bagi warga negara asing.
Ciri negara hukum berdaulat
Lobi barter narapidana tawaran
pemerintah Australia dan tekanan keras dan protes publik internasional atas
eksekusi mati kasus kejahatan narkoba pada pemerintah tak boleh mematikan dan
menyurutkan tekad pemerintah RI untuk menegakkan kedaulatan hukum. Menurut
John Austin (1967) dalam The Provices
of Jurisprudence Determined, ciri utama negara hukum berdaulat ialah
kemampuannya untuk menegakkan kedaulatan ke luar (exsternal sovereignty), yaitu
kemampuan negara untuk mempertahankan diri dan menjaga marwah sistem hukumnya
dari serangan negara lain, sambil tetap mempertahankan relasi internasional
secara baik dengan berprinsip pada sistem hukum setiap negara.
Setiap negara dan pemerintah
memiliki kebebasan dalam menentukan sanksi hukum terhadap bentuk kejahatan
yang dianggap membahayakan bagi kelangsungan hidup warga bangsanya. Itulah
sebabnya setiap negara harus memiliki prioritas dalam memilih model dan jenis
sanksi hukuman terhadap aneka bentuk kejahatan.
Bagi pemerintah Indonesia,
penyalahgunaan narkoba merupakan kejahatan yang dikategorikan luar biasa dan
diprioritaskan dalam upaya pencegahan dan penindakan hukum. Karena itu,
setiap bentuk kejahatan narkoba diberi sanksi hukum yang terberat, yaitu
pidana mati, kejahatan ini setara dengan kejahatan terorisme.
Etika internasional bernegara
Secara filosofi dan etis tak boleh
ada negara asing mengganggu dan mengintervensi setiap kebijakan hukuman yang
akan diterapkan terhadap kejahatan di suatu negara. Mitchell S G Klein (1984)
dalam Law, Court and Policy,
mengingatkan, pada masyarakat internasional, bahwa protes, anjuran, dan
usulan dari negara asing terhadap jalannya kebijakan dan penegakan hukum di
suatu negara hanyalah merupakan opini yang akan menjadi pertimbangan belaka,
bukan menentukan dan mendikte suatu negara.
Sanksi tegas pidana mati pada WNA
penjahat narkoba di negara kita tidak dapat diubah hanya karena opini publik
internasional. Bukankah Konvensi PBB, Pasal 6 ayat (2) ICCPR masih memberi
opsi diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk
kejahatan yang paling serius (extra
ordinary crimes), seperti kasus narkotika dan terorisme. Untuk menindak
lanjuti Konvensi ICCPR ini PBB mengeluarkan Resolusi No 1984/50, 25 Mei 1984
(Safeguards Guaranteeing Protection of
the Rights of Those Facing the Death Penalty) yang mengesahkan hukuman
mati secara selektif. Hingga saat ini pun tidak berlaku sanksi hukuman
tunggal di dunia, setidaknya masih terdapat 68 negara dari 129 negara di
dunia yang masih menerapkan sanksi hukuman mati.
Di titik ini sesungguhnya
pemerintah Indonesia tak dapat dipersalahkan dalam pergaulan internasional
karena masih menerapkan sanksi hukuman mati. Sebab bagi Indonesia kejahatan
narkoba sangat membahayakan masa depan Indonesia.Setidaknya menurut data
Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2013 saja sebanyak 3,2 juta warga
Indonesia telah menjadi korban narkotika, 15 ribu orang mati sia-sia setiap
tahun atau 40-50 orang setiap hari.
Jutaan korban narkotika ini
dilupakan, sistem hukum dunia tampaknya lebih memihak pelaku kejahatan yang
jumlahnya segelintir orang. Itulah sebabnya kini Indonesia dalam darurat
perang melawan kejahatan narkoba. Cara
paling jitu melawannya adalah menegakkan kedaulatan hukum Indonesia dengan
sanksi pidana mati bagi pelaku kejahatan narkoba, bukan hanya untuk
WNA, tapi juga WNI. Sanksi pidana mati ini dipastikan akan berdampak positif
bagi dunia agar jaringan internasional narkotika berhati-hati untuk
menjadikan Indonesia target utama peredaran narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar