Selasa, 10 Maret 2015

Perang Melawan Sampah = Mengubah Pola Konsulmsi

Perang Melawan Sampah = Mengubah Pola Konsulmsi

Rainy MP Hutabarat  ;  Pemerhati Masalah Pangan dan Cerpenis
SATU HARAPAN, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Sampah-sampah plastik makanan dan minuman berserakan di kolong-kolong rumah tempat berlangsung pertemuan. Ada sampah plastik mi instan, biskuit, kacang, permen, atau kantung plastik. Ini terjadi di sebuah desa di Paniai, Provinsi Papua, dengan infrastruktur listrik, air bersih dan transportasi terbatas, dan sebagian besar penduduknya hidup dari berkebun untuk dikonsumsi sendiri.

Sampah-sampah plastik tak hanya problem yang dihadapi kota-kota besar, juga pelosok-pelosok pedesaan terpencil. Sampah-sampah yang dibuang sembarangan itu menunjukkan dua hal. Pertama adalah, telah terjadi perubahan pola konsumsi yang berorientasi pada makanan instan atau olahan di pedesaan, yang terpencil sekalipun, yang menyisakan sampah-sampah pembungkus plastik. Masyarakat desa tak lagi bangga hasil-hasil kebun yang digarapnya sendiri untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Labu parang, ubi jalar, kentang, ketela, pisang, kacang-kacangan dan bebuahan tak lagi menjadi penanda kecukupan pangan yang aman dan sehat dan karenanya tak pula membanggakan.

Pangan yang aman, sehat, dan berkelanjutan ini dipandang kampungan, bahkan tanda kemiskinan ekonomi. Bagi mereka, mi instan, kraker, keripik kentang olahan yang harus didatangkan dari luar daerah dan dibeli dengan harga mahal lebih bergengsi; penanda kesejahteraan dan modernitas. Mereka lebih bangga membuang kantong plastik atau plastik pembungkus ketimbang kulit pisang atau kacang rebus, yang mudah terurai dalam tanah. Pecel lele dan ayam keremes yang diimpor dari Jawa menjadi makanan impian di akhir pekan, menggantikan papeda, tumis kembang papaya dan kangkung dan ayam rica-rica.

Itu baru fenomena perubahan perilaku konsumsi sebagaimana terbaca pada sampah-sampah plastik di kolong rumah di sebuah desa. Bagaimana dengan kota-kota besar lainnya?

Basuki Tjahaja Purnama, saat menjabat Wakil Gubernur Jakarta (1 September 2014) mengatakan, sampah yang diangkut setiap hari dari seluruh Jakarta mencapai 8.700 ton, terbanyak sampah plastik. Sampah pascabanjir Jakarta 2014 mencapai 91.529 ton dihitung sejak 18 Januari - 2 Februari 2014 dan terbanyak sampah rumah tangga. Angka ini meningkat pesat dibandingkan sampah tahun 2013 yang “hanya” mencapai 6.500 ton, terdiri atas 53 persen sampah rumah tangga dan 47 persen sampah industri. Tahun 2012 volume sampah di DKI mencapai 6.595 ton sampah per hari. Jumlah ini meningkat pada malam pergantian tahun dan Tahun Baru.

Pada konteks global, sebuah penelitian mencatat sekitar 8,8 juta ton sampah plastik berakhir di laut di seluruh dunia, dan jumlah ini setara lima kantong belanja penuh dengan sampah plastik menutupi setiap 30 centimeter garis pantai di seluruh dunia. Indonesia sendiri termasuk salah satu penyumbang sampah plastik di laut di samping Tiongkok, Filipina, Vietnam dan Sri Lanka.

Tahun 2013 tema Hari Lingkungan Hidup 2013 di tanah air adalah Melestarikan Lingkungan dengan Mengubah Perilaku dan Pola Konsumsi. Tema ini mengisyaratkan pola konsumsi dalam arti luas, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, menjadi pemicu eksploitasi terhadap alam, pencemaran lingkungan termasuk sampah plastik. Semakin rakus konsumsi semakin luas alam dieksploitasi untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, dan seterusnya.

Inilah soal kedua terkait fenomena sampah plastik. Perubahan pola konsumsi yang berorientasi makanan pabrikan atau olahan beriringan dengan penimbunan sampah-sampah plastik dan styrofoam yang tidak ramah lingkungan. Plastik membutuhkan sekitar 450 tahun agar terurai dalam tanah sedangkan styrofoam tak terurai selamanya.

Setahun setelah Kabinet Jokowi-JK terbentuk, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, menyerukan agar makanan tradisional seperti singkong rebus, jagung rebus, combro, lemet, singkong urap, ubi jalar rebus, disajikan dalam rapat-rapat di lingkungan kementerian sebagai penanda Gerakan Hidup Sederhana. Seruan ini sebenarnya tak hanya berdampak ekonomi, yakni penghematan pos pengeluaran, tetapi juga ekologi dalam arti makanan tradisional, makanan alami, tidak menyisakan sampah-sampah yang merusak bumi. Dimensi ekologis ini perlu digarisbawahi kendati kesederhanaan identik perilaku ramah terhadap lingkungan.

Beberapa lembaga negara menyambut seruan ini. Saya yakin, cukup banyak organisasi non pemerintah di tanah air yang menyajikan makanan tradisional dalam rapat-rapat, bahkan juga dalam seminar, lokakarya, atau untuk tetamu. Di lingkungan pemerintahan daerah, Presiden Joko Widodo dan wakilnya FX Hadi Rudyatmo tercatat sudah sejak lama menerapkannya saat masih menjadi walikota Solo. Di meja mereka hanya ada hidangan secangkir teh ditambah satu piring kecil singkong goreng, tempe goreng atau tahu goreng. Kebiasaan tersebut hingga kini masih diterapkan di jajaran Pemerintah Kota (pemkot) Solo. Di lingkungan gereja-gereja, saya mencatat seorang pemimpin lembaga oikoumenis di aras nasional menyarankan agar tidak menyediakan minuman dalam wadah plastik melainkan gelas-gelas untuk acara pertemuan, seminar, atau perayaan apa pun demi mencegah penumpukan sampah plastik.

Sampai hari ini tak lagi terbetik berita ihwal tindak lanjut suguhan makanan tradisional dalam rapat-rapat di lingkungan kementerian atau lembaga-lembaga negara. Soal ini tampaknya tergusur oleh berita hukuman mati bagi bandar narkoba, konflik KPK-Polri, pemberantasan pencurian sumber daya kelautan, pemberantasan korupsi, dan akhirnya: banjir yang menerjang bumi Nusantara. Pers juga tak melanjutkan investigasi terkait kelangsungan gerakan hidup sederhana ini.

“Sampah” Sisa Makanan

Ini baru soal makanan sederhana yang aman, sehat, dan berkelanjutan dalam rapat-rapat. Yang luput dihitung adalah ihwal penyajian makanan yang, tak hanya istimewa, tetapi juga berlebihan dalam acara-acara kelembagaan tertentu di lingkungan pemerintahan, bisnis, organisasi non pemerintah maupun lembaga gereja/Kristen. Menyajikan makanan istimewa dan berlebih dipandang lumrah sebab toh bisa dibungkus (dengan plastik pembungkus atau styrofoam!) untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Apalagi untuk acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan, pesta kawin perak atau emas, yubileum lembaga, bahkan ulang tahun anak yang masih balita. Bukankah beberapa stasiun televisi kerap meliput pesta ulang tahun anak di hotel berbintang dengan biaya miliaran rupiah?

Pertanyaannya: Berapa banyakkah makanan yang terbuang dalam pesta atau perayaan tertentu? Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO, September 2013 ) mencatat, sebanyak 1,3 miliar ton makanan terbuang dalam setahun belum terhitung ikan dan makanan dari laut, atau senilai Rp. 750 miliar dollar AS. Jumlah ini bertanggung jawab atas bertambahnya 3,3 miliar ton gas rumah kaca ke atmosfer. Menurut World Resources Institute, lembaga penelitian lingkungan, di antara 1,3 miliar ton makanan yang terbuang per tahun di seluruh dunia, terdapat 45 triliun galon air yang juga ikut terbuang. Angka ini setara 24 persen air yang digunakan untuk agrikultur. PBB telah mengingatkan, sekitar 870 juta orang atau 12 persen penduduk dunia menderita kelaparan kronis pada 2011-2013, dan kelaparan parah dialami satu dari delapan orang di dunia.

Jadi bagaimana? Urusan sampah plastik sejatinya tak sekadar soal tertib membuang pada tempatnya, melainkan juga mengurangi volume sampah dengan mengubah pola konsumsi ke arah berkelanjutan. Mengubah pola konsumsi berarti juga mengurangi penggunaan kantung plastik dan plastik pembungkus, atau, mendaur-ulang agar bermanfaat.

Lebih baik lagi jika sampah rumah tangga organik diolah sendiri menjadi pupuk dan sampah non organik yang bisa didaur-ulang diberikan kepada pemulung. Tak kurang penting: mencegah makanan tersisa secara berlebihan, baik dalam rumah tangga maupun kegiatan-kegiatan pesta, seminar, rapat-rapat organisasi. Sebab, akar kerusakan lingkungan adalah ketamakan konsumsi dalam skala individu, domestik maupun organisasi dan orang tak lagi mampu membedakan antara needs dan wants.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar