Perang
Melawan Sampah = Mengubah Pola Konsulmsi
Rainy MP Hutabarat ; Pemerhati
Masalah Pangan dan Cerpenis
|
SATU
HARAPAN, 09 Maret 2015
Sampah-sampah plastik makanan dan minuman berserakan di
kolong-kolong rumah tempat berlangsung pertemuan. Ada sampah plastik mi
instan, biskuit, kacang, permen, atau kantung plastik. Ini terjadi di sebuah
desa di Paniai, Provinsi Papua, dengan infrastruktur listrik, air bersih dan
transportasi terbatas, dan sebagian besar penduduknya hidup dari berkebun
untuk dikonsumsi sendiri.
Sampah-sampah plastik tak hanya problem yang dihadapi
kota-kota besar, juga pelosok-pelosok pedesaan terpencil. Sampah-sampah yang
dibuang sembarangan itu menunjukkan dua hal. Pertama adalah, telah terjadi
perubahan pola konsumsi yang berorientasi pada makanan instan atau olahan di
pedesaan, yang terpencil sekalipun, yang menyisakan sampah-sampah pembungkus
plastik. Masyarakat desa tak lagi bangga hasil-hasil kebun yang digarapnya
sendiri untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Labu parang, ubi jalar,
kentang, ketela, pisang, kacang-kacangan dan bebuahan tak lagi menjadi
penanda kecukupan pangan yang aman dan sehat dan karenanya tak pula
membanggakan.
Pangan yang aman, sehat, dan berkelanjutan ini dipandang
kampungan, bahkan tanda kemiskinan ekonomi. Bagi mereka, mi instan, kraker,
keripik kentang olahan yang harus didatangkan dari luar daerah dan dibeli
dengan harga mahal lebih bergengsi; penanda kesejahteraan dan modernitas.
Mereka lebih bangga membuang kantong plastik atau plastik pembungkus
ketimbang kulit pisang atau kacang rebus, yang mudah terurai dalam tanah.
Pecel lele dan ayam keremes yang diimpor dari Jawa menjadi makanan impian di
akhir pekan, menggantikan papeda, tumis kembang papaya dan kangkung dan ayam
rica-rica.
Itu baru fenomena perubahan perilaku konsumsi sebagaimana
terbaca pada sampah-sampah plastik di kolong rumah di sebuah desa. Bagaimana
dengan kota-kota besar lainnya?
Basuki Tjahaja Purnama, saat menjabat Wakil Gubernur
Jakarta (1 September 2014) mengatakan, sampah yang diangkut setiap hari dari
seluruh Jakarta mencapai 8.700 ton, terbanyak sampah plastik. Sampah
pascabanjir Jakarta 2014 mencapai 91.529 ton dihitung sejak 18 Januari - 2
Februari 2014 dan terbanyak sampah rumah tangga. Angka ini meningkat pesat
dibandingkan sampah tahun 2013 yang “hanya” mencapai 6.500 ton, terdiri atas
53 persen sampah rumah tangga dan 47 persen sampah industri. Tahun 2012
volume sampah di DKI mencapai 6.595 ton sampah per hari. Jumlah ini meningkat
pada malam pergantian tahun dan Tahun Baru.
Pada konteks global, sebuah penelitian mencatat sekitar
8,8 juta ton sampah plastik berakhir di laut di seluruh dunia, dan jumlah ini
setara lima kantong belanja penuh dengan sampah plastik menutupi setiap 30
centimeter garis pantai di seluruh dunia. Indonesia sendiri termasuk salah
satu penyumbang sampah plastik di laut di samping Tiongkok, Filipina, Vietnam
dan Sri Lanka.
Tahun 2013 tema Hari Lingkungan Hidup 2013 di tanah air
adalah Melestarikan Lingkungan dengan Mengubah Perilaku dan Pola Konsumsi.
Tema ini mengisyaratkan pola konsumsi dalam arti luas, baik kebutuhan pokok
maupun sekunder, menjadi pemicu eksploitasi terhadap alam, pencemaran
lingkungan termasuk sampah plastik. Semakin rakus konsumsi semakin luas alam
dieksploitasi untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, dan seterusnya.
Inilah soal kedua terkait fenomena sampah plastik.
Perubahan pola konsumsi yang berorientasi makanan pabrikan atau olahan
beriringan dengan penimbunan sampah-sampah plastik dan styrofoam yang tidak
ramah lingkungan. Plastik membutuhkan sekitar 450 tahun agar terurai dalam
tanah sedangkan styrofoam tak terurai selamanya.
Setahun setelah Kabinet Jokowi-JK terbentuk, Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, menyerukan
agar makanan tradisional seperti singkong rebus, jagung rebus, combro, lemet,
singkong urap, ubi jalar rebus, disajikan dalam rapat-rapat di lingkungan
kementerian sebagai penanda Gerakan Hidup Sederhana. Seruan ini sebenarnya
tak hanya berdampak ekonomi, yakni penghematan pos pengeluaran, tetapi juga
ekologi dalam arti makanan tradisional, makanan alami, tidak menyisakan
sampah-sampah yang merusak bumi. Dimensi ekologis ini perlu digarisbawahi
kendati kesederhanaan identik perilaku ramah terhadap lingkungan.
Beberapa lembaga negara menyambut seruan ini. Saya yakin,
cukup banyak organisasi non pemerintah di tanah air yang menyajikan makanan
tradisional dalam rapat-rapat, bahkan juga dalam seminar, lokakarya, atau
untuk tetamu. Di lingkungan pemerintahan daerah, Presiden Joko Widodo dan
wakilnya FX Hadi Rudyatmo tercatat sudah sejak lama menerapkannya saat masih
menjadi walikota Solo. Di meja mereka hanya ada hidangan secangkir teh
ditambah satu piring kecil singkong goreng, tempe goreng atau tahu goreng.
Kebiasaan tersebut hingga kini masih diterapkan di jajaran Pemerintah Kota
(pemkot) Solo. Di lingkungan gereja-gereja, saya mencatat seorang pemimpin
lembaga oikoumenis di aras nasional menyarankan agar tidak menyediakan
minuman dalam wadah plastik melainkan gelas-gelas untuk acara pertemuan,
seminar, atau perayaan apa pun demi mencegah penumpukan sampah plastik.
Sampai hari ini tak lagi terbetik berita ihwal tindak
lanjut suguhan makanan tradisional dalam rapat-rapat di lingkungan
kementerian atau lembaga-lembaga negara. Soal ini tampaknya tergusur oleh
berita hukuman mati bagi bandar narkoba, konflik KPK-Polri, pemberantasan
pencurian sumber daya kelautan, pemberantasan korupsi, dan akhirnya: banjir
yang menerjang bumi Nusantara. Pers juga tak melanjutkan investigasi terkait
kelangsungan gerakan hidup sederhana ini.
“Sampah” Sisa Makanan
Ini baru soal makanan sederhana yang aman, sehat, dan
berkelanjutan dalam rapat-rapat. Yang luput dihitung adalah ihwal penyajian
makanan yang, tak hanya istimewa, tetapi juga berlebihan dalam acara-acara
kelembagaan tertentu di lingkungan pemerintahan, bisnis, organisasi non
pemerintah maupun lembaga gereja/Kristen. Menyajikan makanan istimewa dan
berlebih dipandang lumrah sebab toh bisa dibungkus (dengan plastik pembungkus
atau styrofoam!) untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Apalagi untuk
acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan, pesta kawin perak atau emas,
yubileum lembaga, bahkan ulang tahun anak yang masih balita. Bukankah
beberapa stasiun televisi kerap meliput pesta ulang tahun anak di hotel
berbintang dengan biaya miliaran rupiah?
Pertanyaannya: Berapa banyakkah makanan yang terbuang
dalam pesta atau perayaan tertentu? Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO, September 2013 ) mencatat, sebanyak 1,3 miliar ton makanan terbuang
dalam setahun belum terhitung ikan dan makanan dari laut, atau senilai Rp.
750 miliar dollar AS. Jumlah ini bertanggung jawab atas bertambahnya 3,3
miliar ton gas rumah kaca ke atmosfer. Menurut World Resources Institute,
lembaga penelitian lingkungan, di antara 1,3 miliar ton makanan yang terbuang
per tahun di seluruh dunia, terdapat 45 triliun galon air yang juga ikut
terbuang. Angka ini setara 24 persen air yang digunakan untuk agrikultur. PBB
telah mengingatkan, sekitar 870 juta orang atau 12 persen penduduk dunia
menderita kelaparan kronis pada 2011-2013, dan kelaparan parah dialami satu
dari delapan orang di dunia.
Jadi bagaimana? Urusan sampah plastik sejatinya tak
sekadar soal tertib membuang pada tempatnya, melainkan juga mengurangi volume
sampah dengan mengubah pola konsumsi ke arah berkelanjutan. Mengubah pola
konsumsi berarti juga mengurangi penggunaan kantung plastik dan plastik
pembungkus, atau, mendaur-ulang agar bermanfaat.
Lebih baik lagi jika sampah rumah tangga organik diolah
sendiri menjadi pupuk dan sampah non organik yang bisa didaur-ulang diberikan
kepada pemulung. Tak kurang penting: mencegah makanan tersisa secara
berlebihan, baik dalam rumah tangga maupun kegiatan-kegiatan pesta, seminar,
rapat-rapat organisasi. Sebab, akar kerusakan lingkungan adalah ketamakan
konsumsi dalam skala individu, domestik maupun organisasi dan orang tak lagi
mampu membedakan antara needs dan wants. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar