Keterbukaan
yang Menyakitkan
Sirikit Syah ; Dosen Stikosa-AWS; Direktur LKM Media
Watch
|
JAWA
POS, 19 Maret 2015
BETAPA
mengejutkan membaca komentar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang dimuat
harian Jawa Pos awal Maret lalu. Dengan nada tanpa rasa malu, bahkan terkesan
bangga, Tjahjo mengutarakan bahwa menjadi anggota DPR adalah pekerjaan paling
menyenangkan baginya. Tjahjo yang berpengalaman 30 tahun jadi anggota DPR tak
segan-segan mengaku tidak bosan menjadi anggota DPR.
Dia
bercerita: ”Banyak enaknya. Gajinya besar, mau datang sidang apa enggak,
datang terlambat juga tidak apa-apa. Dan kita juga bisa memarahi menteri
(Jawa Pos, 4/3, halaman 12).” Itu yang terucap olehnya. Yang tak terucap tapi
rakyat sudah tahu, anggota DPR yang sudah bergaji tinggi itu gajinya bisa
utuh. Bagaimana tidak? Baju seragam dan listrik rumah dinas dibayar negara.
Bahkan rapat, yang adalah pekerjaan utama para anggota dewan, juga dibayar.
Dibanding fasilitas yang diterima, kinerja anggota dewan yang seperti diakui
Tjahjo itu benar-benar memalukan!
Berita
yang dilengkapi foto Tjahjo itu sangat menyakiti hati rakyat. Itu pengakuan
atas bobroknya kinerja anggota dewan dan itu pun diakui sambil ketawa-ketawa
tanpa rasa malu. Tjahjo membandingkan dengan pekerjaannya yang dirasa berat
saat ini, yaitu menjadi menteri. Tentu dia harus melaksanakan tugas-tugas dan
tanggung jawab yang dulu kerap dikritiknya melalui sesi ”marah-marah” kepada
para menteri di sidang DPR. Mungkin kini dia harus bersiap-siap ”dimarahi”
anggota dewan yang lain.
Sebagai
pengamat media, saya berusaha mengesampingkan perasaan terluka dan sakit
hati, dan memikirkan, ”Apakah Tjahjo sengaja berkata-kata demikian? Sengaja
melukai hati rakyat? Jangan-jangan dia bicara itu sebagai pribadi dan mungkin
minta off the record.” Bagaimana wartawan harus menyikapi ulah atau ucapan
para tokoh publik yang tidak patut, tetapi mengandung kebenaran, meskipun
kebenaran yang menyakitkan?
Beberapa
kasus yang hampir sama terjadi di luar negeri. Tahun 2011, Nicolas Sarkozy,
presiden Prancis, dalam pertemuan puncak G20 berkata kepada Presiden Amerika
Serikat (AS) Barack Obama: ”I cannot bear Netanyahu. He’s a liar.” Ucapan
yang dimaksudkan sebagai ”rasan-rasan” itu ternyata terekam media. Perilaku
Sarkozy jelas tidak sopan secara politik. Orang Amerika menyebutnya
”politically incorrect”. Tapi, bagaimana kita membatasi tindakan dan ucapan
seseorang di ranah privat? Bahwa ranah privat itu ternyata terekam dan
diekspos media, persoalannya menjadi, ”apakah media melanggar etika/privasi?”
atau ”bukankah media mengungkap suatu kebenaran?”
Secara
substansial, ucapan Sarkozy itu suatu kebenaran yang layak diketahui publik
dunia. Benjamin Netanyahu, kepala negara Israel, dianggap pembohong oleh
rekan negarawan. Itu menegaskan ketidakadilan politik internasional terhadap
Palestina selama ini. Blokade barang dan makanan ke Gaza membuat sengsara
hidup rakyat di sana. Upaya ke arah pengakuan atas eksistensi dua negara
terus-menerus diveto. Pada saat yang sama, Israel terus-menerus mengundang
orang-orang Yahudi untuk menjadi warga negaranya dan membiarkan mereka
membangun hunian-hunian di lahan-lahan rampasan milik rakyat Palestina.
Belakangan ini terungkap lagi kebohongan Netanyahu tentang program nuklir
Iran. Ketika PBB dan AS sudah dalam taraf menerima kenyataan bahwa Iran tidak
sedang membangun senjata nuklir, Netanyahu masih terus melakukan black
campaign terhadap Iran.
Kebenaran
ungkapan Sarkozy pada 2011 tersebut makin terbukti. Peristiwa ”bisik-bisik”
itu pun adalah fakta bahwa ada kepala negara yang menganggap Netanyahu
pembohong. Kita semua sebagai konsumen media (terutama para pengamat Timur
Tengah) sebetulnya sudah tahu bahwa Israel adalah pembohong dan culas, terus
berkelit dari komitmen damai. Namun, pandangan kita tak ada artinya. Ketika
Sarkozy mengatakannya kepada presiden dari negara penyokong terbesar Israel,
ini menjadi suatu legitimasi atas pandangan kita semua.
Namun,
beberapa awak media ragu-ragu menyiarkan rekaman itu. Dasar berpikir mereka
adalah memublikasikan pembicaraan privat merupakan pelanggaran etika
jurnalistik. Persoalannya adalah: apakah pembicaraan tokoh publik tentang
politik internasional bisa dianggap privat?
Pembicaraan
tokoh publik yang bersifat privat dan terekspos media pernah dialami Bill
Clinton, presiden AS yang mempunyai skandal dengan pemagang Gedung Putih
Monika Lewinsky. Pembicaraan mereka yang tidak senonoh sempat diekspos media.
Namun, sebagian insan media mengkritik rekannya karena menganggap tidak
pantas ucapan-ucapan privat itu ditampilkan di ranah publik. Peristiwa
tersebut sempat memojokkan Bill Clinton. Namun, setelah dia minta maaf di
depan publik (melalui layar televisi yang disiarkan secara nasional), publik
tetap memilihnya untuk jabatan presiden kali kedua (1996–2000). Ini membuktikan
bahwa rakyat AS tidak terpengaruh hal-hal privat (perselingkuhan misalnya).
Presiden
George W. Bush pada 2001 juga pernah terekam kamera televisi yang masih
rolling, mengatakan kepada PM Swedia yang duduk di sebelahnya. ”It’s amazing
I won. I run against peace, prosperity and incumbency.” Kalimat ini
menunjukkan arogansi Bush yang mengalahkan Al Gore (waktu itu wakil presiden
dari Bill Clinton). Padahal, lawannya itu mengampanyekan kesejahteraan bagi
rakyat dan perdamaian di dunia. Bush mengalahkan semua hal baik itu, terutama
gagasan perdamaian dunia. Itu dibuktikannya dengan menciptakan perang di
mana-mana: di Iraq, Afghanistan, terus-menerus meneror Korea Utara dan Iran
(disebutnya sebagai ”Axis of Evil”), mengobarkan perang salib modern, dan bahkan
menciptakan penjara tanpa pengadilan di Guantanamo serta tempat-tempat lain
di dunia.
Ungkapan-ungkapan
arogan, kebanggaan yang keliru, dan fakta yang menyakitkan hati mungkin
dimaksudkan sebagai ”urusan privat”. Namun, karena yang berkata-kata adalah
tokoh yang prominen, figur publik, media massa merasa terpanggil untuk
mewartakannya kepada dunia. Pahit memang, itulah dunia yang harus kita
hadapi. Jengkel kepada Tjahjo Kumolo? Apa boleh buat, dia sudah menjadi
menteri. Satu kebijakannya yang tidak prorakyat adalah wacana dana bantuan Rp
1 triliun kepada partai politik. Itu setara dengan tersambungnya jalur
transportasi Surabaya–Malang, sembuhnya kondisi ekonomi Jatim, sejahteranya
rakyat. Kita harus menelan ludah sekali lagi. Oh, Tjahjo! Apa yang bisa
diharap bangsa ini darimu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar