Sabtu, 21 Maret 2015

Keterbukaan yang Menyakitkan

Keterbukaan yang Menyakitkan

Sirikit Syah  ;  Dosen Stikosa-AWS; Direktur LKM Media Watch
JAWA POS, 19 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

BETAPA mengejutkan membaca komentar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang dimuat harian Jawa Pos awal Maret lalu. Dengan nada tanpa rasa malu, bahkan terkesan bangga, Tjahjo mengutarakan bahwa menjadi anggota DPR adalah pekerjaan paling menyenangkan baginya. Tjahjo yang berpengalaman 30 tahun jadi anggota DPR tak segan-segan mengaku tidak bosan menjadi anggota DPR.

Dia bercerita: ”Banyak enaknya. Gajinya besar, mau datang sidang apa enggak, datang terlambat juga tidak apa-apa. Dan kita juga bisa memarahi menteri (Jawa Pos, 4/3, halaman 12).” Itu yang terucap olehnya. Yang tak terucap tapi rakyat sudah tahu, anggota DPR yang sudah bergaji tinggi itu gajinya bisa utuh. Bagaimana tidak? Baju seragam dan listrik rumah dinas dibayar negara. Bahkan rapat, yang adalah pekerjaan utama para anggota dewan, juga dibayar. Dibanding fasilitas yang diterima, kinerja anggota dewan yang seperti diakui Tjahjo itu benar-benar memalukan!

Berita yang dilengkapi foto Tjahjo itu sangat menyakiti hati rakyat. Itu pengakuan atas bobroknya kinerja anggota dewan dan itu pun diakui sambil ketawa-ketawa tanpa rasa malu. Tjahjo membandingkan dengan pekerjaannya yang dirasa berat saat ini, yaitu menjadi menteri. Tentu dia harus melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab yang dulu kerap dikritiknya melalui sesi ”marah-marah” kepada para menteri di sidang DPR. Mungkin kini dia harus bersiap-siap ”dimarahi” anggota dewan yang lain.

Sebagai pengamat media, saya berusaha mengesampingkan perasaan terluka dan sakit hati, dan memikirkan, ”Apakah Tjahjo sengaja berkata-kata demikian? Sengaja melukai hati rakyat? Jangan-jangan dia bicara itu sebagai pribadi dan mungkin minta off the record.” Bagaimana wartawan harus menyikapi ulah atau ucapan para tokoh publik yang tidak patut, tetapi mengandung kebenaran, meskipun kebenaran yang menyakitkan?

Beberapa kasus yang hampir sama terjadi di luar negeri. Tahun 2011, Nicolas Sarkozy, presiden Prancis, dalam pertemuan puncak G20 berkata kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama: ”I cannot bear Netanyahu. He’s a liar.” Ucapan yang dimaksudkan sebagai ”rasan-rasan” itu ternyata terekam media. Perilaku Sarkozy jelas tidak sopan secara politik. Orang Amerika menyebutnya ”politically incorrect”. Tapi, bagaimana kita membatasi tindakan dan ucapan seseorang di ranah privat? Bahwa ranah privat itu ternyata terekam dan diekspos media, persoalannya menjadi, ”apakah media melanggar etika/privasi?” atau ”bukankah media mengungkap suatu kebenaran?”

Secara substansial, ucapan Sarkozy itu suatu kebenaran yang layak diketahui publik dunia. Benjamin Netanyahu, kepala negara Israel, dianggap pembohong oleh rekan negarawan. Itu menegaskan ketidakadilan politik internasional terhadap Palestina selama ini. Blokade barang dan makanan ke Gaza membuat sengsara hidup rakyat di sana. Upaya ke arah pengakuan atas eksistensi dua negara terus-menerus diveto. Pada saat yang sama, Israel terus-menerus mengundang orang-orang Yahudi untuk menjadi warga negaranya dan membiarkan mereka membangun hunian-hunian di lahan-lahan rampasan milik rakyat Palestina. Belakangan ini terungkap lagi kebohongan Netanyahu tentang program nuklir Iran. Ketika PBB dan AS sudah dalam taraf menerima kenyataan bahwa Iran tidak sedang membangun senjata nuklir, Netanyahu masih terus melakukan black campaign terhadap Iran.

Kebenaran ungkapan Sarkozy pada 2011 tersebut makin terbukti. Peristiwa ”bisik-bisik” itu pun adalah fakta bahwa ada kepala negara yang menganggap Netanyahu pembohong. Kita semua sebagai konsumen media (terutama para pengamat Timur Tengah) sebetulnya sudah tahu bahwa Israel adalah pembohong dan culas, terus berkelit dari komitmen damai. Namun, pandangan kita tak ada artinya. Ketika Sarkozy mengatakannya kepada presiden dari negara penyokong terbesar Israel, ini menjadi suatu legitimasi atas pandangan kita semua.

Namun, beberapa awak media ragu-ragu menyiarkan rekaman itu. Dasar berpikir mereka adalah memublikasikan pembicaraan privat merupakan pelanggaran etika jurnalistik. Persoalannya adalah: apakah pembicaraan tokoh publik tentang politik internasional bisa dianggap privat?

Pembicaraan tokoh publik yang bersifat privat dan terekspos media pernah dialami Bill Clinton, presiden AS yang mempunyai skandal dengan pemagang Gedung Putih Monika Lewinsky. Pembicaraan mereka yang tidak senonoh sempat diekspos media. Namun, sebagian insan media mengkritik rekannya karena menganggap tidak pantas ucapan-ucapan privat itu ditampilkan di ranah publik. Peristiwa tersebut sempat memojokkan Bill Clinton. Namun, setelah dia minta maaf di depan publik (melalui layar televisi yang disiarkan secara nasional), publik tetap memilihnya untuk jabatan presiden kali kedua (1996–2000). Ini membuktikan bahwa rakyat AS tidak terpengaruh hal-hal privat (perselingkuhan misalnya).

Presiden George W. Bush pada 2001 juga pernah terekam kamera televisi yang masih rolling, mengatakan kepada PM Swedia yang duduk di sebelahnya. ”It’s amazing I won. I run against peace, prosperity and incumbency.” Kalimat ini menunjukkan arogansi Bush yang mengalahkan Al Gore (waktu itu wakil presiden dari Bill Clinton). Padahal, lawannya itu mengampanyekan kesejahteraan bagi rakyat dan perdamaian di dunia. Bush mengalahkan semua hal baik itu, terutama gagasan perdamaian dunia. Itu dibuktikannya dengan menciptakan perang di mana-mana: di Iraq, Afghanistan, terus-menerus meneror Korea Utara dan Iran (disebutnya sebagai ”Axis of Evil”), mengobarkan perang salib modern, dan bahkan menciptakan penjara tanpa pengadilan di Guantanamo serta tempat-tempat lain di dunia.

Ungkapan-ungkapan arogan, kebanggaan yang keliru, dan fakta yang menyakitkan hati mungkin dimaksudkan sebagai ”urusan privat”. Namun, karena yang berkata-kata adalah tokoh yang prominen, figur publik, media massa merasa terpanggil untuk mewartakannya kepada dunia. Pahit memang, itulah dunia yang harus kita hadapi. Jengkel kepada Tjahjo Kumolo? Apa boleh buat, dia sudah menjadi menteri. Satu kebijakannya yang tidak prorakyat adalah wacana dana bantuan Rp 1 triliun kepada partai politik. Itu setara dengan tersambungnya jalur transportasi Surabaya–Malang, sembuhnya kondisi ekonomi Jatim, sejahteranya rakyat. Kita harus menelan ludah sekali lagi. Oh, Tjahjo! Apa yang bisa diharap bangsa ini darimu? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar