Pantaskah
‘Anak-anak’ Dihukum Mati
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University
of Melbourne;
Anggota World Society of Victimology
|
KORAN
TEMPO, 20 Maret 2015
Seorang
bocah di Nias divonis bersalah atas pembunuhan berencana yang telah ia
lakukan. Hakim juga memutuskan, bocah tersebut-dan saudara sepupunya-dijatuhi
ganjaran hukuman mati. Banyak orang terperangah begitu mengetahui beratnya
hukuman bagi anak-anak, betapa pun ia telah melakukan kebiadaban yang mengerikan.
Sebutan
"bocah" maupun "anak" dikenakan terhadap terpidana itu
karena, berdasarkan keterangan tandingan dari pihak yang mengadvokasi kasus
tersebut, ia baru berusia 16 tahun saat melancarkan perbuatan pidananya.
Sebutan "anak" tersebut selaras dengan definisi anak dalam UU
Perlindungan Anak, yang menetapkan anak sebagai individu sejak ia berada di
dalam kandungan hingga sebelum mencapai 18 tahun, serta UU Sistem Peradilan
Anak, yang mendefinisikan anak sebagai yang berkonflik dengan hukum bagi
individu yang telah berumur 12 tahun tapi belum berumur 18 tahun ketika
melakukan tindak pidana.
Persoalannya,
seberapa jauh perbedaan antara dua individu yang berusia 18 tahun dan 16
tahun (apalagi jika selisih umur kedua anak hanya satu tahun)? Tepatkah jarak
usia yang berbeda hanya satu-dua tahun itu berkonsekuensi pada satu individu
disebut dewasa sedangkan individu lain masih dicap sebagai kanak-kanak?
"Sebelum
18 tahun" merupakan patokan usia kronologis yang ditentukan berdasarkan
tahun kelahiran individu. Pada satu sisi, usia kronologis memudahkan karena
menjadi patokan definitif yang membedakan antara terdakwa kanak-kanak dan
terdakwa dewasa. Tapi juga menyulitkan, karena memukul rata-sebagai misal-dua
anak yang berumur 17 tahun dan 6 tahun. Keduanya masih anak-anak. Namun
keduanya menjadi sangat berjauhan bila kondisi fisik, psikis, dan sosial
mereka dibandingkan.
Spesifik
dalam ranah hukum pidana maksudnya adalah terpidana didakwa telah melakukan
kasus kejahatan berat. Penakaran terhadap usia mental pesakitan yang berusia
kronologis kanak-kanak menjadi sangat relevan. Kerja ekstra penegak hukum,
terlebih hakim, adalah mengukur usia mental terdakwa.
Dari
sekian banyak pembeda antara usia mental dewasa dan pra-dewasa, terdapat
empat unsur pembeda yang paling menonjol. Pertama, penerimaan terdakwa
terhadap pengaruh orang-orang sebaya di sekitarnya. Kedua, pemahaman terdakwa
mengenai risiko yang muncul dari perbuatannya. Ketiga, pandangan terdakwa
tentang masa depannya. Keempat, pengelolaan diri terdakwa.
Dengan
melibatkan psikolog profesional untuk meninjau empat unsur di atas,
pemeriksaan terhadap usia mental terdakwa akan mendasari seberapa jauh
terdakwa yang hanya berselisih umur satu-dua tahun dari 18 tahun dipandang
telah dewasa sehingga bertanggung jawab atas perbuatan jahatnya.
Dengan
kata lain, penakaran terhadap usia mental bisa menangkal upaya pelaku
kejahatan untuk berkelit dari pertanggungjawaban pidana semata-mata karena
usianya belum mencapai 18 tahun. Lewat penakaran itu pula, hakim akan bisa
menimbang kemungkinan usia terdakwa benar-benar layak menjadi faktor yang
meringankan sangsi hukum atas diri terdakwa nantinya. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar