Uji
Nyali Melawan Mafia Bola
Abdullah Yazid ; Alumnus Universitas Trilogi Jakarta; Peneliti
Institut Nusantara
|
JAWA
POS, 20 Maret 2015
SELAMA
ini, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tidak
begitu dianggap penting oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Indikator utamanya, kasus ’’sepak bola gajah’’ hingga penundaan Indonesia
Super League (ISL).
Penundaan
penyelenggaraan ISL oleh PT Liga Indonesia yang direkomendasikan Badan
Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) dan Asosiasi Pemain Sepak Bola
Profesional Indonesia (APPI) mengusung segudang alasan urgen. Yakni, sebagian
besar klub sepak bola tidak pernah membayar pajak ke negara karena tidak
memiliki catatan pelaporan pajak serta tidak memiliki NPWP. Klub juga
menunggak gaji pemain, pelatih, serta ofisial tim.
Selain
itu, ternyata klub-klub belum memiliki akta pendirian, ketidakjelasan kontrak
kerja pemain, dan alasan profesionalitas lain yang di luar nalar logika. Itu
berlangsung bertahun-tahun. Pemerintah pun sering dibuat tidak berdaya oleh
tangan-tangan kuat yang mengabaikan prinsip profesionalitas dan transparansi
tersebut. Bagi tangan-tangan itu, yang penting kompetisi berjalan dan dapat
diatur sehingga sponsor pendulang pundi-pundi juga berjalan lancar.
Berdasar
kesepakatan terakhir, kompetisi ISL rencananya dilangsungkan 4 April 2015
setelah sempat ditunda karena ketidaklengkapan persyaratan. Penundaan
dilakukan untuk menghindari kompetisi ISL melenceng dari aturan
internasional. Aturan tersebut, antara lain, legalitas, manajemen, keuangan,
dan seterusnya.
Pada
titik ini, keberanian Menpora Imam Nahrawi harus kita apresiasi. Sebagai
salah satu magnet olahraga nasional, sepak bola bagaikan denyut nadi
masyarakat yang jika diusik-usik bisa mengakibatkan banyak orang marah, mulai
suporter, pengamat, hingga publik secara luas.
Hampir
tidak banyak yang memahami bahwa sepak bola kita menimbun segudang masalah.
Bayangkan saja, berdasar laporan terakhir verifikasi persyaratan kompetisi,
di tingkat manajemen, tim verifikasi penyelenggaraan kompetisi menemukan 17
di antara 18 klub telah melampirkan akta pendirian klub. Hanya satu klub,
yakni Persipura, yang belum melampirkan.
Untuk
SIUP, lima klub sudah melampirkan, sedangkan 13 lainnya belum. Untuk NPWP, 10
klub belum melampirkan. Mengenai susunan pemegang saham, satu klub belum
melampirkan. Pada aspek keuangan, ditemukan sembilan klub yang melampirkan,
namun belum diaudit, sedangkan sembilan klub lainnya belum melampirkan. Untuk
tunggakan gaji pemain, tidak ada satu pun klub yang telah melampirkan
pelunasan. Soal kontrak pemain asing, 15 klub belum melampirkan dokumen dan
18 klub belum melampirkan kontrak pelatih asing.
Untuk
hal-hal prinsipiil demikian, klub-klub sepak bola besar yang notabene telah
menjadi pelipur lara dan hiburan masyarakat puluhan tahun masih saja
bermasalah secara teknis administratif. Apa yang sebenarnya terjadi? Jika
akar masalahnya adalah bergentayangannya mafia bola di tanah air, beranikah
pemerintah menyelesaikannya secara frontal dengan konsekuensi terberat
dikucilkan FIFA?
Tentu
kita tidak berharap sepak bola nasional seburuk itu. Upaya pemerintah melalui
Tim Sembilan harus dimaknai bukan menghambat atau meniadakan kompetisi yang
menjadi kecintaan masyarakat, tetapi hanya menegakkan asas profesionalitas
olahraga. Sebab, kalau ditoleransi terus-menerus sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya, kompetisi justru akan menyalahi aturan UU Sistem Keolahragaan
Nasional (SKN), AFC, dan FIFA. Ini tentu menjadi tantangan berat bagi
Kemenpora.
Jalan
keluar win-win solution, tentu saja itu merupakan iktikad baik dari semua
stakeholder sepak bola. Tim Sembilan perlu membantu jika klub merasa sulit
mengurus dokumen persyaratan. Kalau perlu mendampingi prosesnya.
Peta Masalah Sepak Bola
Jika
hendak dipetakan, masalah persepakbolaan Indonesia memang amat kompleks,
sulit diurai, dan menjengkelkan banyak pihak. Sekurang-kurangnya, ada empat
masalah dominan yang acap menjadi buah bibir masyarakat. Pertama, problem
prestasi. Timnas Indonesia yang pernah menjadi macan Asia (bahkan dijadikan
slogan capres) dari hari ke hari minus prestasi. Kekecewaan masyarakat amat
nyata pada poin ini.
Kedua,
problem pembinaan. Kita sering terlambat mencari bibit muda dan mereka cepat
layu setelah masuk kompetisi senior. Lemahnya aspek kepelatihan juga tidak
bisa diabaikan. Buktinya, berganti-ganti pelatih, optimisme belum juga
muncul.
Ketiga,
problem organisasi. Problem tersebut amat menyita perhatian, bahkan membelit
hampir banyak cabang olahraga di Indonesia. Adanya dualisme kepengurusan
mengakibatkan liga dobel, ancaman FIFA, protes klub-klub, ketidakjelasan
pemain, dan banyak lagi. Keempat, problem nonteknis. Misalnya, tawuran
suporter, pemain terlibat narkoba, menunggak gaji, dan seterusnya.
Jika
diurai satu per satu, cukup mudah mengaitkan satu sama lain. Pembinaan yang
tidak profesional memengaruhi prestasi. Dualisme organisasi memengaruhi
pembinaan. Problem nonteknis memengaruhi kinerja organisasi. Begitu
seterusnya.
Problem-problem
tersebut bukannya tanpa jalan keluar. Hampir seluruh petinggi dan pengamat
sepak bola memiliki argumentasi dan rasionalisasi masing-masing untuk menyelesaikannya.
PSSI sebagai badan resmi sepak bola nasional sudah memiliki komisi disiplin
yang bertugas mendisiplinkan ketidakberesan jika ada pelanggaran regulasi.
Namun, tetap saja masalah tidak terselesaikan, tenggelam dan lupa dengan
sendirinya, kemudian muncul problem baru yang timbul karena masalah klasik
yang terpendam. Selalu demikian.
Ketegasan Regulasi
Ibarat
roda, problem sepak bola nasional hanya soal timing, kapan menggelinding ke
atas dan ramai diperbincangkan, kapan berputar ke bawah karena tenggelam
terlupakan. Untuk menghentikan laju roda, mafia bola dengan ’’baju’’ apa pun
perlu diatasi melalui eksekusi regulasi yang jelas, terukur, tegas, serta
berani. Upaya menegaskan regulasi perlu didukung secara luas. Meski berdampak
tidak populer, upaya memverifikasi klub-klub secara rigid dapat menjadi jalan
keluar yang baik pada masa-masa mendatang.
Profesionalitas,
fair play, keterbukaan, dan akuntabilitas seyogianya sudah tidak boleh
dipermainkan. Prinsip-prinsip itu harus ditegakkan setegak-tegaknya agar
tidak semata-mata menjadi slogan kosong dan seremonial belaka. Jika bangsa
lain bisa melakukan, sepak bola Indonesia pasti juga bisa berubah. Jika
negara lain bisa berprestasi, kita pasti juga bisa. Masyarakat Indonesia
punya modal sosial yang tidak bisa diremehkan: sekurang-kurangnya belum
pernah tumbang, yakni nasionalisme dan semangat juang.
Jika
mafia bola yang kasatmata itu harus dilawan, pemerintah tidak mungkin
dibiarkan berjalan sendiri. Satu-satunya mitra kerja pemerintah yang mampu memberantas
mafia bola adalah masyarakat. Sudah saatnya tidak menoleransi ketidakbecusan
mengelola sepak bola kita sebagai aset berharga Indonesia di mata dunia, saat
lagu kebangsaan dikumandangkan karena prestasi yang gemilang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar