Kekarut-marutan
Soal Beras
Ali Khomsan ; Guru
Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Maret 2015
HARGA beras yang telah mencapai
Rp10.000 per kilogram mem buat rakyat menjerit. Kenaikan harga beras itu mungkin
sudah di atas ambang psikologis yang bisa diterima. Mengandalkan beras
sebagai pangan pokok berkonsekuensi pada upaya ekstra di bidang pertanian
sehingga produksinya bisa mencukupi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia.
Menteri Perdagangan meyakinkan
masyarakat bahwa pemerintah siap dengan operasi pasar, dan itu akan terus
dilakukan hingga harga beras turun. Dengan harga beras di tingkat operasi
pasar Rp6.800-Rp7.400 per kg, hal itu diharapkan dapat membantu masyarakat
agar tetap bisa mengakses beras.
Operasi langsung penjualan beras
ada untung ruginya. Menjual langsung beras kepada masyarakat akan mampu
meredam gejolak harga karena tidak melewati rantai pasar yang panjang, tetapi
kapasitasnya mungkin tidak besar. Bila melalui pedagang, penjualan amat
mungkin dapat menjangkau titik-titik yang lebih banyak, tetapi dampaknya bisa
tidak efektif karena pedagang akan ikut bermain.
Kalau pemerintah akan
melakukan penjualan langsung, barangkali itu pilihan yang lebih baik untuk
saat ini.
Keputusan pemerintah untuk tidak
mengimpor beras menunjukkan keberpihakan kepada petani yang selama ini masih
banyak yang dirundung kemiskinan. Sekaranglah saatnya petani harus
diberdayakan sehingga kebutuhan dalam negeri akan beras bisa menjadi pasar
yang menguntungkan bagi petani. Namun, entah mengapa, harga beras yang tinggi
tidak selalu berkorelasi dengan kesejahteraan petani. Dengan kenaikan harga
beras saat ini, seharusnya petani bisa menikmati harga gabah Rp6.500 per kg.
Namun, kenyataannya, petani hanya menerima hasil penjualan gabah dengan harga
stagnan Rp4.500 per kg. Anomali itu yang harusnya ditelaah, mengapa bisa
terjadi demikian.
Ekonom pertanian Bustanul Arifin
memperkirakan pasar membutuhkan operasi langsung sekitar 300 ribu ton beras
per bulan. Namun, dengan prediksi panen raya yang sebentar lagi akan tiba,
semoga krisis beras dapat segera diatasi. Pernyataan Menteri Pertanian
menyebutkan Januari yang lalu 600 ribu hektare padi telah memasuki masa
panen. Adapun Februari sekitar 1,2 juta hektare lahan padi akan panen. Total
Januari-Februari ada panen 1,8 juta hektare, atau setara 10 juta-11 juta ton
gabah. Artinya akan tersedia beras sekitar 9 juta ton. Itu ditambah lagi Jawa
Timur mulai Maret akan panen 500 ribu hektare lahan padi sehingga kondisi
perberasan akan segera aman. Dengan masih adanya stok beras nasional sejumlah
1,5 juta ton, stok itu saja diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan enam bulan
ke depan.
Krisis pangan
Kondisi paceklik yang berlangsung
lama telah menyebabkan siklus hama terputus.Namun, Kementerian Pertanian
sebaiknya tidak lalai untuk melakukan pantauan terusmenerus sehingga potensi
panen hingga Maret nanti tetap aman dan bisa terwujud.Krisis pangan harus
diwaspadai jangan sampai memunculkan krisis politik.
Kalau rakyat bisa makan dengan
kenyang, urusan politik biarlah diurus politisi, para birokrat eksekutif dan
legislatif serta pengamat politik di luar lingkaran pemerintahan. Namun,
apabila rakyat kelaparan karena harga beras mahal dan pendapatan kurang,
kekhawatiran akan ketidakstabilan politik semakin besar.
Beras bagi bangsa Indonesia ialah
komoditas strategis karena hampir seluruh rakyatnya makan beras. Kebijakan
pertanian harus diupayakan agar bisa memberikan insentif yang menguntungkan
bagi petani beras sehingga gairah menanam padi terus tumbuh dan kita menjadi
tidak terlalu bergantung pada impor dari luar negeri.
Indonesia ialah negara besar
dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa. Negara kita akan mengalami
instabilitas yang hebat apabila tidak bisa memacu bidang pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan rakyatnya. Gejolak beras di tingkat internasional akan
membahayakan ketersediaan pangan Indonesia, bila kita terus-menerus
mengandalkan impor beras.
Untuk mengantisipasi krisis
pangan, harus ada persepsi bahwa daerah-daerah tetap mempunyai kewajiban
untuk mendukung ketersediaan beras nasional. Pemerintah pusat pun harus
mempunyai grand design tentang pembangunan pertanian untuk penyediaan pangan
nasional. Kepada setiap daerah perlu ditekankan pentingnya menciptakan
ketahanan pangan. Isu ketahanan pangan mulai mencuat sejak dirumuskan dalam International Congress of Nutrition di
Roma, 1992. Dinyatakan bahwa ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah
tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar
dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Masyarakat miskin pasti akan
mengalami ketidaktahanan pangan, tetapi mereka yang rawan pangan belum tentu
hanya dari golongan miskin. Mengapa hal itu bisa terjadi? Batas kemiskinan di
Indonesia mungkin ditetapkan dengan cut-off
point terlalu rendah sehingga yang dikatakan rumah tangga miskin
sebenarnya sudah masuk kategori sangat-sangat miskin dan mereka yang berada
sedikit di atas garis kemiskinan sebenarnya sudah sangat miskin.
Ketahanan pangan sebenarnya
menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.
Aspek ketersediaan pangan bergantung pada sumber daya alam, fisik, dan
manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung dan disertai
dengan SDM yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinu.
Perangkat lunak berupa kebijakan pertanian/pangan juga sangat menentukan
pelaku produksi atau pasar untuk menyediakan pangan yang cukup secara
nasional. Sementara itu, akses pangan hanya dapat terjadi apabila rumah
tangga mempunyai penghasilan yang cukup. Apabila pendapatan stabil, tetapi
harga pangan bergejolak dan mempunyai tendensi naik, akses pangan keluarga
juga akan terganggu. Konsumsi pangan pun akan sangat menentukan apakah
seluruh anggota rumah tangga nantinya bisa mencapai derajat kesehatan yang
optimal.
Ada ketidakberesan
Di era otonomi daerah pembangunan
pertanian harus menggeser paradigma dari pembangunan yang bersifat non-resource based menjadi resource based. Indonesia adalah
negara agraris. Oleh karena itu, pemanfaatanresources agraris itu hendaknya
dimaksimalkan. Daerah dipacu untuk menghasilkan komoditas pertanian yang
bersifat site specific dan laku di
pasar. Daerah-daerah penghasil beras dipertahankan, konversi lahan pertanian
subur untuk kepentingan industri dan perumahan dihindari.
Krisis pangan yang muncul saat ini
bisa menjadi indikator ketidakberhasilan pembangunan pangan. Krisis pangan
artinya terjadi ketidakberesan di tingkat produksi, distribusi, dan daya beli
(kesejahteraan). Semangat untuk berswasembada pangan (beras) tiga tahun yang
akan datang memerlukan persiapan matang, termasuk bagaimana kita bisa
meningkatkan penguasaan lahan di tingkat petani padi. Petani-petani guram
memikul beban berat bila dipaksa memenuhi target swasembada. Oleh karena itu,
pembukaan lahan-lahan baru untuk mendukung sektor pertanian harus segera
diwujudkan. Pulau Jawa masih bisa diandalkan sebagai produsen padi utama,
tetapi jangan abaikan peran pulau-pulau lain untuk menghasilkan padi sehingga
menjadi penopang lumbung pangan nasional.
Negara besar seperti Amerika
Serikat sebelum menjadi negara industri seperti saat ini berjuang keras
selama 100 tahun (1836-1936) untuk memiliki kekuatan di bidang pangan.
Setelah menjadi negara maju, mereka tidak melupakan sektor maju, mereka tidak
melupakan sektor pertanian. Sampai saat ini Amerika tetap menjadi salah satu
lumbung dunia untuk komoditas pangan tertentu.
Perlu disadari di sini bahwa tercukupinya
kebutuhan pangan bagi seluruh anggota masyarakat ialah wujud penerapan HAM di
bidang pangan. Namun, hal itu jangan dilakukan dengan mengorbankan petani
melalui kebijakan pertani an yang disinsentif. Petani harus tetap mempunyai
posisi tawar yang baik sehingga pendapatan nya memenuhi syarat untuk hidup
layak.
Di sisi lain, negara wajib
menyediakan pangan bagi rakyatnya dengan harga terjangkau sehingga tujuan
akhir berupa terbentuknya masyarakat yang sehat da pat terwujud. Pemerintah
telah sejak lama mendistribusikan raskin (beras untuk keluarga miskin) bagi
golongan masyarakat yang kurang beruntung dari segi ekonomi. Dengan harga
hanya Rp2.000 per kg, raskin telah menyela matkan jutaan rakyat dari
kemungkinan kurang pangan akibat harga beras normal yang tinggi.
Harus dipahami, petani tidak bisa
hidup tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tak dihormati karena
korupsi, dan pedagang pun banyak yang bangkrut karena produknya tak mampu
bersaing dengan produk impor. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai
bangsa agraris ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari bidang pertanian.
Kebijakan pertanian yang tepat
ialah yang berpihak kepada petani. Salah kebijakan, korbannya ialah pertaruhan
nasib jutaan petani. Hal itu akan meningkatkan jumlah orang miskin di
Indonesia. Fokus pembangunan pertanian ialah keberdayaan petani, daya saing
produk, dan kelestarian lingkungan. Inilah paradigma baru pertanian di abad
ke-21. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar