Pemimpin
yang Dirindukan
Imam Cahyono ; Warga
Muhammadiyah;
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
|
KOMPAS,
04 Maret 2015
This is a different Venezuela,
where the wretched of the earth know that they can free themselves from their
past. And this is a different Latin
America.
Hugo Chavez
Suatu malam pada Februari 1992 Hugo Chavez yang berpangkat
letnan kolonel melakukan kudeta, mengirim sejumlah tank dan tentara menyerbu
Istana Miraflores di Caracas.
Diktator militer Venezuela, Presiden Carlos Andres Perez,
lari, kudeta gagal, dan Chavez masuk penjara. Enam tahun kemudian, ia muncul
kembali sebagai kandidat presiden dan menang dalam pemilu. Pada Februari 1999, ia dilantik sebagai
Presiden Venezuela termuda yang diperhitungkan dunia.
Chavez tampil sebagai sosok pemimpin modern yang populis
dan kontroversial. Ia dianggap sebagai
mesias sekaligus tiran, dibenci, tetapi juga dirindukan. Sejarah mencatatnya sebagai pemimpin
Amerika Latin yang menyalakan kembali api revolusi sosialis kerakyatan
Bolivarian.
Ia melawan neokolonialisme dengan nasionalisasi perusahaan
migas untuk kemakmuran rakyat, menyerukan solidaritas internasional melawan
hegemoni kapitalisme Barat dan dominasi Amerika Serikat. Kepergian Chavez pada 5 Maret 2013 diantar
isak tangis jutaan rakyat dan bela sungkawa masyarakat dunia yang
mengaguminya.
Transformasional versus
transaksional
Kepemimpinan terbukti menentukan corak warna sejarah. Sulit dibayangkan dunia tanpa
pemimpin. Negara tanpa kehadiran
pemimpin pasti berjalan autopilot.
Tanpa Chavez, bisa jadi Amerika Latin tetap terpinggirkan, kekayaan
alamnya tetap dikuasai korporasi asing.
Tanpa Chavez, Venezuela lebih dikenal dengan ratu kecantikannya,
sebuah negara dengan Miss Universe terbanyak di dunia. Sepeninggal Chavez, kemelut yang melanda
negeri itu nyaris tak pernah surut.
Joko Widodo jelas bukan Chavez. Latar belakang Jokowi bukan the Big Man,
tanpa trah genetik dan biologis darah biru, menjadi antitesis bahwa pemimpin
tidak harus dari kalangan ningrat atau ksatria. Ia berasal dari kalangan orang biasa, tanpa
ikatan dan dosa penguasa masa lalu, sehingga menumbuhkan harapan baru
regenerasi kepemimpinan di pentas nasional.
Bagi masyarakat, pemimpin baru senantiasa menumbuhkan harapan
baru.
Gagasan revolusi mental untuk melakukan perubahan disambut
dengan besarnya ekspektasi rakyat. Tak
hanya slogan jujur, merakyat, dan sederhana, tetapi inisiasi dan karya nyata
seperti mobil Esemka, kerja keras blusukan ke berbagai tempat, menjadi daya
tarik yang memukau. Tak mengherankan,
Jokowi melesat dari Solo menaklukkan Ibu Kota hingga menjadi orang nomor satu
di republik ini.
Kinerja pemimpin menjadi titik sentral maju-mundurnya
kapal yang dikemudikan. Ia dituntut
untuk menginspirasi, menggerakkan, dan memobilisasi sehingga dapat berjalan
bersama mencapai tujuan. Kepemimpinan, menurut filsuf William James, tak
lepas dari aras pemikiran dan tindakan.
Visi harus sejalan dengan aksi.
Gagasan mesti berbanding lurus dengan kebijakan.
Di sinilah aura kepemimpinan Jokowi
diuji. Keefektifan kinerjanya dalam
memimpin dipertanyakan. Penyelesaian konflik
KPK vs Polri yang berlarut-larut, melenggangnya perpanjangan kontrak Freeport
yang merugikan, munculnya proyek mobil nasional Proton, menjadi sekelumit
potret pengambilan keputusan yang tidak tegas alias membingungkan.
Janji kabinet ramping, program kartu sakti,
membeli kembali Indosat, tersandera transaksi politik balas budi, yang
bertentangan dengan Nawacita yang terus didengungkan.
Tipikal kepemimpinan transaksional mengutamakan
maksimalisasi keuntungan dalam setiap keputusan. Pemimpin transaksional menggunakan konstituen
karena ada sesuatu (Machiavellian) dan untuk mendapatkan sesuatu, terutama
keuntungan nominal.
Sebaliknya,
pemimpin transformatif bergandeng erat, memotivasi, membantu, menggerakkan
passion masyarakat untuk menciptakan sekaligus mencapai tujuan bersama yang
terbaik. Pemimpin transformatif mampu
membuat kebijakan yang sulit serta berani mengambil risiko.
Bukan pemimpin boneka
Venezuela beruntung punya Chavez yang tegas. Indonesia pun harus bangga punya pemimpin
pemberani, seperti Soekarno. Mereka
adalah figur pemimpin transformatif yang bertakhta di hati rakyat, pemimpin
yang energik, berani ambil risiko, optimistis, empatik, dan persuasif. Pemimpin transformatif membangkitkan
harapan, juga berupaya mengatasi masalah, rasa takut, frustrasi, dan
kegundahan yang melanda rakyat.
Bung Karno
berpenampilan perlente, tetapi hati, pikiran, dan tindakannya ditujukan untuk
rakyat. Sebagai pemimpin besar
revolusi, Bung Karno tidak hanya memerdekakan, tetapi juga memberdayakan,
bukan memperdayai rakyat. Ia patut
menjadi contoh pemimpin yang konsisten dalam visi dan aksi, antara mimpi
besar dan kerja nyata.
Semboyan "Go to
hell with your aid!," "Ganyang Malaysia!" menjadi wujud
keberanian dalam melawan intervensi asing demi tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Konferensi
Asia-Afrika 1955 yang melahirkan Dasa Sila Bandung menjadi tonggak sejarah
peran serta bangsa-bangsa terjajah dalam mewujudkan perdamaian dan kerja sama
dunia.
Kepemimpinan modern dihadapkan pada konteks dan tantangan
yang dinamis. Namun, kinerja pemimpin tetap menjadi denyut nadi maju-mundur,
hidup-mati institusi yang dipimpinnya. Seperti kata Napoleon, a leader is a
dealer in hope. Pemimpin modern harus mendorong masyarakat dalam menciptakan
tujuan, memperkuat kohesi sosial, menyediakan tatanan sekaligus memobilisasi
kerja kolektif secara efektif.
Di era demokrasi rakyat dituntut aktif berpartisipasi
dalam proses pengambilan kebijakan.
Kepercayaan publik juga menjadi keniscayaan.
Tak ada pemimpin
yang sempurna dan sejarah telah menjadi laboratorium yang tidak sempurna.
Angin dan badai selalu mengarungi nasib pemimpin, seperti dialami Chavez dan
Soekarno. Mereka terbukti menjadi
sosok pemimpin yang dirindukan bukan semata-mata karena jabatan, melainkan
lebih pada apa yang telah mereka lakukan.
Jokowi pun akan dikenang rakyat tidak saja karena ia
seorang wali kota, gubernur, atau presiden, tetapi dari apa yang telah ia
perbuat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar