Keindahan
Ilmu dan Seni
L Wilardjo ; Fisikawan
|
KOMPAS,
07 Maret 2015
Forum guru besar dan empu seni di kalangan
institut-institut seni di Indonesia akan mengadakan simposium antara lain
untuk membahas pendidikan yang terpumpun di TRIMS. Singkatan ini meringkas
rangkaian teknologi, rekayasa, ilmu, matematika dan seni; merupakan padanan
dari science, technology, engineering,
art, and mathematics (STEAM). Rencana simposium ini patut disambut hangat
dan bergairah karena kaitan seni dengan TRIM dan peranannya dalam
pengembangan TRIM belum cukup disadari khalayak ramai. Bahkan, ada budayawan
yang menganggap matematika tak lebih dari telaah yang ”kaku”, dingin, dan
teknis. Berarti tidak berseni.
Meski matematika tak seiras (identik) dengan TRI, rasanya
tidak ada orang yang menyangkal bahwa matematika dan TRI saling
bertaut-berkelindan. Kita hanya bisa terheran-heran melihat betapa efektif
dan saksamanya matematika dalam ”membahasakan” dan ikut mengembangkan TRI.
”Memilih keindahan”
Teknologi dapat dianggap ilmu yang diterapkan untuk
mengatasi kesulitan yang dihadapi manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Di terasnya, artinya di inti yang menumbuhkembangkan teknologi
itu, ada rekayasa (engineering), yakni usahayang dilakukan manusia untuk
menghadirkan perubahan yang terbaik. ”Terbaik” ini menurut persepsi manusia,
yang tidak selalu selaras dengan yang benar dan terbaik secara alami.
Karena itu, teknologi dan perekayasaan yang membuahkannya
tidak ”mengatasi masalah tanpa masalah”. Jika teknologi terlalu gegabah
melanggar asas ilmiah, muncullah masalah. Dan, masalah ini bisa justru lebih
parah daripada yang sedianya hendak diatasinya. Bahkan, yang terjadi bisa
saja bukan sekadar masalah, tetapi musibah!
Itu semua karena perekayasaan dan sentuhan-sentuhan akhir
yang ”menyempurnakan” purwarupa (prototype)
yang dihasilkannya menjadi teknologi dilakukan dalam situasi dan kondisi yang
tidak dimengerti sepenuhnya dan terkendala oleh berbagai keterbatasan.
Teknologi dibangun melalui perekayasaan dengan ilmu dan
kiat. Semakin tinggi dan canggih suatu teknologi, semakin besar pula muatan
ilmunya daripada kiatnya. Namun, seberapa canggihnya suatu teknologi,
niscayalah ia masih mengandung kiat. Kiat itu bermanfaat dan memudahkan
pekerjaan, tetapi kalau dicermati secara ilmiah, bisa saja kiat itu ternyata
salah. Kalaupun tidak salah, batas-batas ranah kesahihannya tidak diketahui
sehingga secara tak disengaja dilangkahi. Alhasil: musibah!
Teknologi itu lalu harus diperbaiki atau diganti dengan
teknologi yang lebih baik. Perekayasa dan perancangnya harus mulai lagi dari
awal. Penggarapan dan penggarapan ulang ini bagaikan kisah Sisyphus. Raja
Korintus ini memerintah dengan bengis. Karena itu, setelah kemangkatannya, di
Hades (alam barsah) ia dihukum Dewa. Ia harus mengingsut-ingsut batu ”gajah”
yang besar dan sangat berat ke atas bukit. Namun, sesampainya di puncak bukit
itu, batu itu menggelinding ke bawah lagi. Maka, Sisyphus-Kumara harus turun
ke kaki bukit itu, lalu mulai menggeser-geserkan batu besar itu ke atas lagi.
Menurut astronomiwati-cum-filsuf Karlina Supelli, nasib
buruk Sisyphus menggambarkan kesia-siaan pekerjaan rekayasawan dan
teknologiwan. Namun, tidak demikian menurut Samuel C Florman. Dalam pandangan
filsuf perekayasaan ini, keikhlasan menjalani suratan nasibnya justru
menunjukkan betapa mulianya profesi perekayasaan. Seperti Sisyphus-Kumara,
rekayasawan merasakan kenikmatan eksistensial dari penunaian tugasnya yang
sulit dan berat itu, yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas.
Pada aras yang tinggi, apabila sudah mendekati ”sempurna”,
TRIM itu indah; berarti artistik, berseni. Kebenaran ilmiah menyatu dengan
keindahan seni. Adalah Hermann Weyl, matematikawan-cum-fisikawan Jerman, yang
menyatakan, ”Karyaku selalu berusaha memadukan kebenaran dengan keindahan dan
jika aku harus memilih salah satu dari keduanya, biasanya aku memilih
keindahan.”
Ya, ilmu itu seperti seni. Pada tingkatannya yang tinggi,
yang nyaris ”sempurna”, baik ilmu maupun seni sama-sama indah. Bagi filsuf
Plato, matematikawan Geoffrey H Hardy, dan astronom Max Tegmark,
setidak-tidaknya matematika itu bukan hanya alat atau bahasa, kendati
alat/bahasa keefektifannya tak terkira. Matematika berpijak pada realitas
tersendiri, yang bukan hanya kokoh, tetapi juga indah dan lebih hebat
daripada realitas fisis.
Ada juga ilmuwan-ilmuwan yang berpandangan sebaliknya.
Bagi matematikawan seperti Morris Kline, Sir Michael Atiyah, dan James
Newman, matematika adalah konsep abstrak ciptaan pikiran manusia. Begitu pula
bagi fisikawan Albert Einstein dan kosmolog Mario Livio.
Keindahan matematika ada yang dapat dinikmati secara
visual, seperti pada pola repetitif yang dibangkitkan dengan algoritma dan
dikerjakan dengan komputer. Visualisasi himpunan Mandelbrot itu, yang disebut
fraktal, seindah panorama alam.
Namun, keindahan matematika yang dimaksud Hardy dan
keindahan teori fisika yang matematis—seperti elektrodinamika Maxwell dan
relativitas Einstein—adalah bukan keindahan visual, melainkan keindahan yang
diserap dan diresapkan dengan pikiran. Itulah keindahan yang membersit ke
luar dari kesederhanaan, keefektifan, kepanggahan (konsistensi), kesaksamaan,
dan kerampatan (generality).
Hakikat realitas
Baiklah, ilmu beserta matematika yang membantu
pengembangannya serta rekayasa dan teknologi yang memberinya jalan
penerapannya, tidak hanya benar, tetapi juga indah. Ia seindah seni. Akan
tetapi, apakah ia lebih hakiki dan lebih pasti daripada seni? Ilmu berancas
menemukan kebenaran tentang hakikat realitas. Namun, ujar astronom Australia,
Robert Hanbury Brown, di satu pihak realitas itu sangat kompleks dan bahkan
misterius. Sementara di pihak lain, sepintar apa pun manusia, akal budinya
terbatas. Maka, mampukah ilmu mencapai tujuannya? Akan pernah terwujudkah
impian ilmuwan untuk merajut teori tentang ”segala sesuatu”, yang dinamika theory of everything (TOE)? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar