Supersemar
dan Kontroversinya
James Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
07 Maret 2015
Empat hari lagi, 11 Maret 2015. Ingatan tertarik mundur ke
tanggal 11 Maret 1966, 49 tahun lalu, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah 11 Maret 1966 di Istana Bogor, Jawa Barat. Sesungguhnya, tidak
ada yang khusus tentang Supersemar itu. Oleh karena surat itu dibuat atas
permintaan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang
menyatakan, apabila ia diberi kepercayaan, ia bisa mengatasi keadaan.
Pesan itu dititipkan Soeharto kepada tiga jenderal AD yang
datang menemui Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966 sore. Ketiga jenderal
itu adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf
(Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan
Demobilisasi).
Permintaan Soeharto itu pun tidak dianggap luar biasa oleh
Soekarno karena situasi pada hari-hari itu memang tidak menentu. Demonstrasi
mahasiswa menentang pemerintah berlangsung setiap hari sehingga mengganggu
aktivitas pemerintah.
Pada 11 Maret 1966 pagi, dijadwalkan akan diadakan sidang
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan di Istana Merdeka. Ada permintaan kepada
para menteri untuk berkumpul ke Istana pada tanggal 10 Maret 1966 sore dan
menginap di guest house agar dapat
menghadiri sidang kabinet tepat waktu. Beberapa menteri memilih menginap di guest house dan beberapa menteri
datang ke Istana pagi-pagi sekali. Soeharto tidak hadir dalam sidang kabinet
itu dengan alasan sakit.
Presiden Soekarno, yang bermalam di Istana Bogor, 11 Maret
1966 pukul 07.30, menanyakan situasi Ibu Kota kepada Pangdam Jaya Brigjen
Amir Machmud. Setelah mendapatkan jaminan bahwa situasi Ibu Kota aman,
Soekarno menggunakan helikopter ke Jakarta untuk memimpin sidang kabinet.
Hari itu, ribuan mahasiswa dan pelajar menutup ruas-ruas
jalan menuju Istana guna membatalkan sidang kabinet itu. Namun, upaya itu
gagal karena para menteri sudah mengantisipasinya.
Akan tetapi, suasana berubah menjadi tegang ketika di antara
para mahasiswa dan pelajar yang sedang berdemonstrasi itu hadir pasukan yang
tidak dikenal (pasukan yang tidak memakai identitas kesatuannya).
Anggota pasukan pengamanan presiden, Tjakrabirawa, yang
sedang berjaga-jaga segera melaporkan kehadiran pasukan tidak dikenal di
antara para mahasiwa dan pelajar itu kepada Komandan Tjakrabirawa Brigjen
Sabur, yang memberikan nota kepada Amir Machmud sebagai Pangdam Jaya. Namun,
Amir Machmud hanya memberikan tanda kepada Sabur agar tidak perlu khawatir.
Kepanikan muncul ketika beberapa anggota Tjakrabirawa itu menginformasikan
kepada Sabur bahwa mereka mengenal beberapa personel pasukan tidak dikenal
itu sebagai anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kini
bernama Komando Pasukan Khusus AD (Kopassus).
Merasa tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari Amir
Machmud, Sabur langsung mengontak Soekarno dan menyarankan kepadanya untuk
meninggalkan Istana Merdeka dan menuju Istana Bogor. Saat berjalan ke
helikopter, Soekarno bertanya kepada Amir Machmud, ”Mir, ada apa lagi ini?”
Amir Machmud menjawab, ”Itu tentara di luar tidak banyak paling-paling 50
orang. Bapak pergi saja ke Istana Bogor.” Presiden Soekarno didampingi ketiga
Wakil Perdana Menteri (PM), yaitu Subandrio, Chairul Saleh, dan Johannes Leimena.
Belakangan, pada 1995, Letjen (Purn) Kemal Idris mengungkapkan, dialah yang
memimpin pasukan tidak dikenal itu. Ia diperintah Menteri/Panglima Angkatan
Darat Letjen Soeharto untuk menangkap Subandrio, Wakil PM I/Menteri Luar
Negeri Subandrio.
Galau
Kepergian Soekarno secara terburu-buru ke Istana Bogor itu
membuat Amir Machmud galau. Ia menganggap itu dipicu oleh kekhawatiran Sabur
yang berlebihan. Ia kemudian berbincang-bincang dengan Brigjen M Yusuf dan
Mayjen Basuki Rachmat. M Yusuf kemudian menyarankan agar menyusul Soekarno ke
Istana Bogor, yang ditimpali oleh Basuki Rachmat, bahwa Presiden perlu diberi
penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Jangan sampai nanti Presiden
ditinggalkan oleh Angkatan Darat.
Ketiga jenderal itu lalu melaporkan niat mereka kepada
Menteri Koordinator Pertahanan Mayjen Mursid, yang langsung setuju. Mereka
lalu melapor kepada Soeharto di kediamannya. Soeharto kemudian menitipkan
pesan untuk disampaikan kepada Soekarno. Setelah itu berangkatlah ketiga
jenderal itu ke Istana Bogor dengan helikopter. Ketika tiba di Istana Bogor,
suasana biasa-biasa saja, tidak ada ketegangan.
Di Istana Bogor, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil
PM I/Menlu Subandrio, Wakil PM II/Ketua MPRS Chairul Saleh, dan Wakil PM III
J Leimena. Dan, di tempat itu juga hadir Panglima Kodam Siliwangi Mayjen
Ibrahim Adjie. Ketiga jenderal yang datang pun adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan dekat dengan Soekarno.
Permintaan Letjen Soeharto pun saat itu dianggap tidak
berlebihan mengingat beberapa hari setelah peristiwa Gerakan 30 September
1965 (G30S), Soeharto telah diinstruksikan Soekarno untuk mengembalikan
keamanan dan ketertiban. Muncullah lembaga yang belakangan dikenal dengan
nama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), di mana
Soeharto menjadi komandan.
Jika dibaca secara saksama, Supersemar sama sekali bukan
surat pengalihan kekuasaan. Salinan (copy)
Surat Perintah 11 Maret 1966, yang sesuai aslinya, dimuat di harian Kompas,
Senin, 14 Maret 1966, di halaman 3. Itu sebabnya Presiden Soekarno marah
ketika Letjen Soeharto menggunakan Supersemar untuk membubarkan PKI. Soekarno
mengatakan, Soeharto tidak berhak melakukan itu, walaupun ia menggenggam
Supersemar. Pada 13 Maret 1966, Soekarno mengutus Wakil PM III Leimena untuk
meminta pertanggungan jawab (kini pertanggungjawaban) Soeharto. Namun,
Soeharto tak menggubrisnya.
Jika pemuatan salinan Surat Perintah 11 Maret 1966, di
harian Kompas, Senin, 14 Maret 1966, itu tidak sesuai aslinya, tentunya
Soekarno akan mengoreksinya. Pada 17 Maret 1966, Soekarno memerintahkan Chairul Saleh
untuk membacakan pengumuman tertulis Soekarno bahwa Supersemar tidak berarti
penyerahan kekuasaan dari Presiden ke Men/Pangad Letjen Soeharto malah menahan 15 menteri Kabinet Dwikora yang
Disempurnakan dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Ironisnya, Chairul
Saleh termasuk dalam daftar 15 menteri yang ditahan.
Sempat muncul desas-desus bahwa Soekarno dipaksa untuk
menandatangani Supersemar. Desas-desus itu dibantah oleh Mayjen Ibrahim Adjie
di harian Kompas, 21 Maret 1966. Bantahan itu rasanya masuk akal. Jika
Soekarno berkeras bahwa Supersemar bukan penyerahan kekuasaan dari Soekarno
ke Soeharto, lalu mengapa ia harus dipaksa untuk menandatanganinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar