Ahok
Melawan Groupthink DPRD
Irwanto ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
|
KOMPAS,
07 Maret 2015
Kasus "dana siluman" yang digunakan Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk
melawan DPRD merupakan wacana politik yang berpotensi menjadi kasus abadi
dalam textbook kajian pembangunan maupun psikologi sosial dan organisasi.
Gayanya yang frontal dan blakblakan akan segera diuji oleh
sejarah, apakah akan menjadi bumerang atau pisau tajam yang memang diperlukan
untuk meruntuhkan groupthink para politikus elite negeri ini.
Rezim totalitarian
Istilah groupthink diperkenalkan Irvin Janis (1918-1988),
psikolog dari Universitas Yale. Ia meminjam istilah George Orwell
(1903-1950), seorang novelis Inggris yang menggunakan istilah tersebut untuk
menggambarkan rezim totalitarian. Dalam pengamatan Janis, orang saling mengikatkan diri satu sama lain, bersatu,
karena mempunyai pandangan atau situasi yang lebih kurang sama sehingga
kebersamaan mereka menjadi tembok pelindung kepentingan bersama.
Kepentingan tersebut dibangun bukan atas nilai-nilai
terpuji atau prestasi, melainkan justru di atas berbagai kesalahan,
ketidakmampuan, ketamakan, kekuasaan yang koruptif, dan ancaman atas status
quo mereka.
Dalam studinya mengenai rezim-rezim atau kelompok yang
membangun groupthink, Janis mengidentifikasi delapan elemen menonjol dari
kelompok atau rezim ini. Mereka memiliki illusion of invulnerability, yaitu
merasa kelompoknya tidak memiliki celah untuk dijatuhkan. Mereka juga merasa
bahwa pikiran dan cara mereka berpikir sudah benar, tidak perlu dikritik,
apalagi dibuktikan. Mereka menganggap diri mempunyai standar moral lebih
tinggi daripada orang lain.
Mereka memandang rendah anggota out-group. Adanya ancaman
yang jelas dan pasti bagi mereka yang mengkhianati kelompok. Dalam norma
kelompok terjadi self-sensorship yang sangat kuat. Pandangan kelompok
dianggap disetujui secara aklamasi oleh semua anggota. Mereka menghalangi
pimpinan mereka dari berbagai informasi yang dapat merusak cara berpikir dan
citra yang telah dibentuk.
Dalam mempertahankan groupthink ini ada sikap militan,
terutama untuk mempertahankan in-group
mereka. Tidak ada toleransi terhadap orang-orang atau kelompok di luar
mereka. Kalian bersama kami atau menjadi musuh kami. Sikap ini disertai
dorongan kuat untuk menghancurkan musuh bersama mereka dengan segala cara.
Zaman Orde Baru, groupthink
merupakan ciri umum dari birokrat dan pimpinan pemerintahan. Setelah
reformasi, situasinya terbalik, bentuk-bentuk groupthink menjadi liar, ada di
mana pun selama ada ketamakan kekuasaan yang koruptif, termasuk di lembaga
perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi sumber suara hati nurani. Dalam
kasus DKI, pimpinan pemerintah daerah justru harus berhadapan dengan kekuatan
politik yang dikristalisasi oleh kepentingan kolusif-koruptif yang seharusnya
mendukung kiprah pemda.
Mendobrak "groupthink"
Mampukah Ahok mendobrak groupthink?
Posisi Gubernur DKI dalam berhadapan dengan DPRD sedikit
berbeda jika dibandingkan dengan posisi rakyat Indonesia melawan rezim Orde
Baru. Saat itu, groupthink ditopang dengan kekuasaan dan kekuatan riil-dalam
maupun luar negeri, bersenjata, sistemik, dan berakar.
Hal itu tidak ada pada DPRD DKI saat ini. Kekuatan mereka
hanya setengah riil, artinya benar mereka mempunyai kekuatan politik, tetapi
ada risiko kekuatan itu bertubrukan dengan kekuatan moral konstituennya
(rakyat). Walau praktik seperti ini
sudah jadi kebiasaan, masyarakat menunggu kepemimpinan yang berani dan
berkomitmen pada rakyat. Tanpa dukungan rakyat, pameran groupthink DPRD DKI
bisa jadi hanyalah macan ompong.
Ada dua skenario yang akan menentukan perjuangan melawan
groupthink ini. Skenario pertama, perjuangan Ahok akan berhasil jika ada
dukungan presiden dan wakil presiden (masing-masing sudah menyatakan dukungan
secara terpisah) dan menyerahkan kasus ke ranah hukum. Sistem inilah yang
akan membedah elemen groupthink yang disajikan DPRD DKI. Masyarakat akan
menjadi sumber legitimasi atas temuan dan pembuktian dana siluman Rp 12,7
triliun.
Unsur kunci dalam skenario pertama adalah Menteri Dalam
Negeri, yang berasal dari partai politik pendukung hak angket, tetapi
sekaligus anggota kabinet kerja Jokowi. Kementerian Dalam Negeri wajib
mengevaluasi secara independen kedua versi budget. Jika anggaran DKI versi
Pemprov tidak segera disahkan, hal itu akan menyulut kemarahan rakyat.
Maka, orang berharap Mendagri berani mengesahkan anggaran
DKI tanpa tekanan. Proses hukum pun biarkan berjalan terus. Jika ini yang
terjadi, kita akan menyaksikan buah-buah manis dari Ahok. Masyarakat yang
merasa dibela akan tetap memelihara harapan dan kepercayaan pada
pemerintah.
Jika yang terjadi Mendagri menekan Pemprov DKI untuk
memperbaiki hubungan dengan DPRD DKI, Mendagri akan menolak pengesahan
anggaran di luar prosedur. Peristiwa itu akan memicu skenario kedua, rakyat
akan merasakan untuk kesekian kalinya "berada di ruang kosong publik
tanpa pemimpin". Tumbuh apatisme dan perasaan marah yang dapat membabi
buta dan berdampak buruk.
Pemerintahan Jokowi lahir dalam kancah perseteruan antara
suara dan nalar yang berakal budi dengan nafsu dan ketamakan kekuasaan
disertai autodestruct mechanism
(mekanisme bunuh diri). Pemerintahan Jokowi harus mengedepankan akal budi dan
tidak membiarkan pemerintahan bermisi bunuh diri karena absennya keberanian
moral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar