Rabu, 18 Maret 2015

Kecenderungan Parpol Terbelah

Kecenderungan Parpol Terbelah

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM
MEDIA INDONESIA, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PASCADILAKSANAKANNYA beberapa agenda kegiatan forum tertinggi dari bebe rapa partai politik (parpol), terdapat kecenderungan terjadinya pembelahan. Artinya, kontestasi politik elite yang lazim terjadi di parpol mana pun di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, pada beberapa parpol tertentu justru menciptakan situasi terbelahnya parpol. PPP merupakan fenomena politik parpol terbelah pascamuktamar yang merupakan forum tertingginya. 

Pascamuktamar PPP di Surabaya yang menghasilkan struktur kepengurusan baru di bawah pimpinan Romahurmuziy, kubu Suryadharma Ali (SDA) juga melakukan muktamar sendiri di Jakarta yang menurut versi mereka telah melahirkan kepengurusan di bawah pimpinan Jan Fariz.

Belum lama berselang, Partai Golkar yang mengadakan munas akhirnya menghasilkan kepengurusan baru di bawah Agung Laksono menyusul munas gagal yang dilaksanakan di Bali yang tetap menempatkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai pemimpin kepengurusan yang dihasilkan munas tak sempurna di Bali. Masih terdengar lamat-lamat konon kongres yang diselenggarakan DPP PAN, meskipun sudah menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua baru, masih ada ketidakpuasan dari kubu Hatta Rajasa.

Salah satu kecenderungan yang juga terjadi dalam fenomena konflik partai tersebut ialah selalu menyeret birokrasi pemerintah, dalam hal ini Kemenkum dan HAM RI, untuk terlibat dalam fenomena parpol yang terbelah tersebut. UU No 2 Tahun 2008 jo UU No 2 Tahun 2011 yang mengatur tentang Parpol (UU Parpol) memang mengatur mekanisme pengesahan struktur kepengurusan baru parpol oleh Menkum dan HAM sebagai syarat formal bagi terpilihnya formatur kepengurusan baru suatu parpol. Bahkan, dalam kasus PPP, ketua majelis hakim PTUN Jakarta yang menyidangkan sengketa pengesahan parpol dan memutuskannya sambil menangis terlihat salah memaknai kewenangan pengesahan tersebut dan menuduh sebagai campur tangan pemerintah terhadap parpol.

Padahal, kewajiban Menkum dan HAM untuk mengesahkan formatur kepengurusan parpol baru atas permohonan pengurus baru parpol itu diundang UU Parpol tersebut dalam konstruksi kewajiban negara untuk sekadar mengesahkan saja. Dalam teori hukum administrasi negara yang dikenal secara luas sebagai sebuah communis opinio doctorum, keputusan pejabat pemerintah untuk mengesahkan sesuatu hanya merupakan sisi formal dari bentuk pengakuan negara/pemerintah terhadap suatu aktivitas hukum subjek hukum privat tertentu. Legalitas materiil dari aktivitas hukum privat tersebut tetap melekat pada substansi dari aktivitas hukum privat itu sendiri.

Dalam kasus pengesahan kepengurusan parpol baru, legalitas materiil dari terpilihnya formatur kepengurusan baru suatu parpol tidak tergantung keputusan (beschikking) Menkum dan HAM, tetapi dari proses internal dalam pemilihan formatur kepengurusan parpol baru tersebut berdasarkan UU Parpol dan AD/ART Parpol itu sendiri. Sungguh merupakan suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika menganggap pemerintah cq Menkum dan HAM ikut campur dalam konflik internal suatu parpol dalam penggunaan kewenangan pengesahan struktur kepengurusan baru dari suatu parpol. Hal itu justru memperlihatkan upaya mencari kambing hitam atas kegagalan resolusi konflik internal parpol yang terjadi karena lemahnya manajemen internal parpol. UU Parpol memang mengundang kewenangan Menkum dan HAM untuk mengesahkan formatur kepengurusan baru suatu parpol setelah memenuhi syarat prosedur tertentu dalam mekanisme pemilihan formatur baru parpol.

Dalam perspektif UU No 30 Tahun 2012 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) bahkan ditegaskan bahwa jika badan atau pejabat pemerintah tidak menetapkan suatu keputusan tata usaha negara atas permohonoan subjek hukum privat dalam waktu 10 hari sejak tanggal penerimaan permohonan tersebut, permohonan itu harus dianggap dikabulkan oleh pemerintah. Hal itu, dalam teori hukum administrasi negara, dikenal dengan keputusan yang bersifat fiktif-positif. Maka, dalam kasus PPP, putusan PTUN Jakarta mengandung keganjilan karena kurang cermat dalam mempertimbangkan hal-hal seputar kewenangan formal pengesahan formatur kepengurusan baru parpol dan kewajiban penetapan keputusan sebagaimana diatur pada Pasal 53 UU Adpem.

Dalam kasus Partai Golkar, Menkum dan HAM terlihat bertindak dengan cermat dan hati-hati untuk sampai pada peng gunaan kewenangan pengesahan formatur kepengurusan baru dari Partai Golkar atas permohhonan dari struktur kepengurusan baru yang telah menempatkan Agung Laksono sebagai ketua umum baru partai berlambang pohon beringin keramat itu. Dalam kondisi tersebut, masih juga timbul ketidakpuasan dari kubu Ical karena surat dari Menkum dan HAM yang tak lebih sekadar menindaklanjuti keputusan dari mahkamah partai di lingkungan Partai Golkar dianggap mencampuri persoalan internal partai.

Berbagai fenomena terbelahnya parpol pascadilaksanakannya agenda pemilihan formatur kepengurusan baru melalui forum tertinggi setiap parpol tersebut seharusnya justru menjadi bahan untuk melakukan introspeksi terhadap parpol-parpol terkait. Secara teoretis, parpol dibentuk untuk menjadi sarana resolusi konflik yang bisa terjadi dalam situasi masyarakat yang plural dan heterogen. Dalam kondisi tersebut, parpol seharusnya bisa menjadi instrumen resolusi konflik melalui dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung, dan memadukan berbagai aspirasi serta kepentingan dalam musyawarah untuk mencapai penyelesaian yang berupa keputusan politik. Dalam perspektif teori kelembagaan, partai politik dibentuk kalangan legislative (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para anggota parlemen untuk mengadakan kontak dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Fenomena parpol yang terbelah merupakan realitas politik yang memperlihatkan lemahnya visi ideologis parpol-parpol yang bersangkutan dan manajemen internal parpol yang tak dengan jelas disandarkan atas prinsip-prinsip tata kelola parpol yang baik (good political party governance) sebagaimana diamanatkan dalam UU Parpol. Watak kepengurusan parpol yang oligarkis, kurangnya transparansi, rendahnya partisipasi anggota parpol, dan minimnya akuntabilitas dari pimpinan parpol bisa saja merupakan penyebab dari lemahnya manajemen internal parpol yang menyebabkan kerentanan parpol dalam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan anggotanya.  Parpol sebagai instrumen demokrasi justru telah mengembangkan watak otoritarian karena kecenderungan tumbuhnya kepemimpinan yang berwatak tirani, suka memaksakan kehendak, dan abai terhadap pluralitas pandangan/opini dari para anggotanya.

Dalam perspektif teori historis, parpol merupakan instrumen demokrasi yang sangat penting. Bahkan pascaamendemen UUD 1945, parpol kini telah memiliki kedudukan konstitusional dan menjadi pintu masuk satu-satunya dalam penentuan pasangan capres dalam pilpres.

Partai politik terbentuk karena adanya suatu sistem politik yang mengalami transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi bentuk modern yang berstruktur kompleks. Parpol perlu melakukan pembenahan internal agar tetap mampu menopang sistem demokrasi konstitusional yang telah berkembang semakin baik di negeri ini.

(Elite) parpol tak boleh justru menjadi batu sandungan bagi tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi di negeri ini yang telah mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai salah satu dari lima negara demokrasi terbesar di dunia. Maka, jangan terbiasa untuk `membelah cermin' atas realitas `buruk rupa' parpol yang terjadi selama ini.

Parpol harus terus diperkuat sebagai instrumen demokrasi sipil yang penting dan jangan sampai tersandera oleh perpecahan internal akibat ambisi politik sebagian oknum elitenya karena parpol merupakan salah satu unsur terpenting dari sebuah negara yang menisbahkan dirinya sebagai negara demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar