Rabu, 18 Maret 2015

Mengembalikan Citra Islam

Mengembalikan Citra Islam

Robitul Umam  ;  Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta
Konsentrasi Kajian Pemikiran Islam
MEDIA INDONESIA, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

DEWASA ini, dunia diresahkan dengan gerakan radikal ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Timur Tengah dan kelompok Boko Haram di Afrika. Kedua kelompok ini sama-sama mengatasnamakan Islam sebagai pembenar tindakan kekerasan yang telah mereka lakukan. Kedua kelompok ini juga sama dalam memimpikan berdirinya kembali pemerintahan yang berasaskan ajaran Islam. Namun, benarkah ajaran Islam baik dari sisi syariat (Islamic law) maupun akidah (teologi) membenarkan tindakan mereka? Ataukah itu semua hanya interpretasi dari ISIS dan Boko Haram yang memahami Islam hanya secara parsial?

Tindakan kelompok radikal ISIS dan Boko Haram tentu merusak citra positif Islam dan umat Islam dunia. Islamophobia pun bermunculan di berbagai negara, terutama negara yang mayoritas berpenduduk nonmuslim. Oleh karena itu, perlu ada gerakan kontra ISIS dan Boko Haram yang masif dari kalangan muslim moderat dunia, baik melalui gerakan sosialisasi maupun melalui tulisan untuk menjelaskan kepada dunia bahwa tindakan ISIS dan Boko Haram tidak dibenarkan dalam Islam.

Dalam sebuah hadis sahih (valid) yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari yang sangat dipercaya kredibilitasnya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.“ Dari hadis ini, dapat kita bayangkan bagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin agama menginginkan Islam tersebar dengan penuh keramahan dan kesantunan, bahkan beliau menyerukan agar menanamkan unsur-unsur kegembiraan kepada khalayak umum, bukan malah membuat orang lari ketakutan dari Islam. Karena sejatinya kebenaran itu dengan sendirinya akan diterima tanpa ada intimidasi dan pemaksaan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran Surah Albaqarah (2): 256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat.

Sayyid Qutb dalam tafsirnya “Fî Dzilâlil Quran“ juz III (1400 H/1980 M) menjelaskan bahwa kalimat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)“ ini untuk `Nafyuljinsi' meniadakan segala jenis, yaitu menegaskan semua bentuk pemaksaan di dunia dalam realitas kehidupan beragama tidaklah dibe narkan, sedangkan makna dari kalimat “Sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat“, Sayyid Qutb berpendapat bahwa iman itu adalah jalan yang benar, yang sudah secara naluriah manusia menyukai dan menginginkannya, tanpa harus dipaksa.

Dr Abdul Moqsith Ghazali dalam bukunya yang berjudul ` `Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Alquran' (2009) juga mengatakan bahwa ayat La ikraha fi din (Albaqarah, 256) ialah termasuk dalam kategori lafd `am (pernyataan umum) yang menurut usul fiqih mazhab Hanafi ialah tegas dan pasti (Qath'i) sehingga meniscayakan ayat ini tidak dapat dihapuskan (tkhashish, nasikh) oleh ayat-ayat yang sifatnya kontekstual, apalagi oleh hadis ahad (seperti hadis yang memerintahkan membunuh orang yang pindah agama) yang dalalatnya ialah zhanni (relatif). Ayat La ikraha fi din (Albaqarah, 256) ini bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilainilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushul (ushul Alquran atau ayat kulliyat).

Sejarah juga mencatat bagaimana Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama bagi umat beragama lain. Karen Armstrong memuji tindakan Umar bin Khattab saat penaklukan Jerusalem. Di saat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum `heresy' karena berbeda agama, Umar bin Khattab justru tampil memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem.Karena mencatat Umar bin Khattab ialah penguasa pertama yang menaklukkan Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia, bahkan menandatangani perjanjian `Iliya' dengan pemimpin Kristen Jerusalem.

Dalam kehidupan keseharian, umat muslim secara normatif juga dianjurkan mengucapkan salam perdamaian (assalamualaikum). Para ulama berpendapat bahwa hukum menjawab salam ialah fardhu kifayah.

Ini artinya, bahwa Islam mesti diinternalisasikan ke dalam jiwa setiap muslim sehingga perdamaian, keselamatan, dan kemaslahatan menjadi pijakan dalam beragama.Kemudian, perlu juga ditegaskan di sini bahwa teks Islam, Alquran dan hadis, sebagai sumber utama hukum Islam tidak pernah menjelaskan konsep sistem kenegaraan yang rinci.

Islam sebagai way of life manusia tidak mengenal pandangan yang jelas, pasti, dan terperinci mengenai ideologi negara, konstitusi negara, mekanisme pemilihan dan pergantian pemimpin, serta alat kelengkapan negara.

Dalam literatur sejarah Islam, dapat kita dapati bagaimana para pemimpin awal Islam (khalifah) dipilih dan diganti dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar dipilih dengan cara dibaiat atau prasetia, Umar dengan cara sistem ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya (Abu Bakar), Utsman dipilih oleh sistem dewan pemilih (electoral college - ahl halli wa al-aqdli) yang beranggotakan tujuh orang. 

Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib dengan proses serbamendesak. Pada saat yang sama, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak-cucunya untuk mengisi jabatan khalifah se bagai pengganti Ali bin Abi Thalib.Kemudian pada masa berikutnya, umat Islam menggunakan sistem monarki yang diadopsi dari sistem kekaisaran Romawi dan Persia.

Belum lagi, perbedaan pendapat sarjana awal Islam mengenai konsep negara dan ciri pemimpin yang ideal. Misalnya, perbedaan pendapat antara al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn taymiyyah, dan Ibn Khaldun. Dengan demikian, jelaslah bahwa gagasan ISIS untuk mendirikan negara Islam tidaklah konseptual dan tidak benar-benar berdasar dari teks-teks Islam (Alquran dan hadis).

Gagasan ISIS dan Boko Haram untuk mendirikan negara Islam hanyalah `pemikat' untuk menarik umat Islam dunia agar terjerumus pada `jebakan' kepentingan politik mereka saja.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap keagamaan yang didasari akan kesadaran perbedaan, pengakuan akan adanya hak-hak orang lain tanpa adanya pemaksaan, toleransi dengan tanpa kehilangan sibghah (jati diri) ialah pilar-pilar dalam ajaran Islam. Dengan pengakuan dan pelaksanaan inilah, Islam akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (Rahmatan lil'alamin). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar