Di
Balik Kemenangan Zulkifli Hasan
Bawono Kumoro ; Peneliti
Politik di The Habibie Center
|
REPUBLIKA,
06 Maret 2015
Partai Amanat Nasional (PAN) baru saja usai menggelar
kongres untuk memilih ketua umum baru. Melalui pemungutan suara berlangsung
sangat ketat, Zulkifli Hasan terpilih sebagai ketua umum PAN periode
2015-2020 mengalahkan ketua umum petahana Hatta Rajasa dengan keunggulan
selisih enam suara. Hasil ini tentu saja kabar menggembirakan bagi para
pendukung Zulkifli, tak terkecuali sang pendiri partai, Amien Rais.
Dalam sejumlah kesempatan sebelum kongres digelar, Amien
berkal-kali meminta para pemilik suara untuk memilih Zulkifli. Bahkan, Amien
meminta Hatta mengurungkan niat maju kembali dalam bursa pencalonan ketua
umum.
Amien berdalih, hal itu dimaksudkan untuk melanjutkan
tradisi selama ini di mana ketua umum cuma menjabat satu periode sekaligus
demi keberlangsungan regenerasi di tubuh partai berlambang matahari terbit
tersebut. Meskipun sesungguhnya pembatasan jabatan satu periode ketua umum
partai tidak diatur di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART)
partai.
Sudah menjadi rahasia umum bila Amien merupakan figur
dominan di PAN. Keberadaan tokoh gerakan Reformasi 1998 ini di PAN mirip
dengan keberadaan pemegang saham tunggal di sebuah perusahaan. Harus diakui,
di Indonesia hampir seluruh partai politik dikelola seperti perusahaan oleh
para figur dominan di masing-masing partai.
Mereka sering memaksakan kehendak agar partai diurus
sesuai keinginan mereka. Tidak heran bila kemudian penentuan figur-figur
sentral dalam kepengurusan partai politik harus melalui persetujuan pemegang
saham tersebut.
Dewasa ini dominasi seorang figur memang seakan telah
menjadi fenomena umum dari kehidupan partai politik di Indonesia. Partai
Demokrat sangat bergantung kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku
pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan identik dengan Megawati
Soekarnoputri. Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat mewarnai setiap langkah
dan kebijakan Partai Gerindra.
Partai Hanura tidak dapat melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap kepemimpinan Wiranto. Demikian pula dengan Amien Rais
yang selalu menampilkan diri sebagai tokoh sentral di PAN sehingga
seolah-olah setiap kader hendak mencalonkan diri sebagai ketua umum harus
mendapatkan restu politik dari Amien.
Kemenangan Zulkifli dalam kongres lalu menjadi buktinya.
Sejak awal Zulkifli sangat direstui oleh Amien untuk menjadi ketua umum PAN.
Berbeda dengan Hatta yang tidak memperoleh restu politik Amien untuk
mencalonkan diri kembali meskipun pada pemilu legislatif lalu mampu membawa
PAN meraih 9,4 juta suara.
Hal menarik lain dari kongres PAN lalu adalah kedua calon
ketua umum memiliki hubungan kekeluargaan (baca: besan) dengan dua tokoh
politik nasional berpengaruh. Zulkifli merupakan besan dari Amien, sedangkan
Hatta adalah besan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Wajar saja bila muncul
persepsi Kongres IV PAN juga merupakan pertarungan terselubung antara Amien
dan SBY.
Dalam konteks itu, jikalau di kongres lalu Hatta terpilih
kembali sebagai ketua umum untuk kali kedua, secara tidak langsung SBY akan
menjelma sebagai tokoh politik paling memiliki pengaruh di langgam politik
nasional selama lima tahun ke depan. Mengapa?
Dengan Hatta menjabat kembali ketua umum PAN, kekuatan
politik SBY di DPR tidak lagi cuma berjumlah 61 kursi Partai Demokrat, tapi
menjadi 110 kursi di mana 49 kursi tambahan merupakan kursi PAN.
Penulis tidak sama sekali bermaksud ingin mengatakan PAN
akan menjadi subordinasi Partai Demokrat jika Hatta kembali menjadi ketua
umum. Namun, penulis tidak mampu untuk membayangkan bahwa langkah politik PAN
dan Partai Demokrat selama lima tahun ke depan akan tidak seiring jalan
apabila Hatta dan SBY menjabat sebagai ketua umum di partai mereka
masing-masing.
Kegagalan Hatta untuk kembali tampil sebagai ketua umum
PAN tentu sangat melegakan bagi Amien. Dengan keberhasilan menempatkan
Zulkifli di kursi ketua umum PAN untuk lima tahun mendatang, Amien akan
memperoleh garansi untuk tetap berlaku sebagai pemegang saham tunggal di
partai berlambang matahari terbit tersebut.
Posisi ketua Majelis Pertimbangan Partai boleh saja tidak
lagi ditempati Amien, tetapi hubungan keluarga sebagai besan jelas dapat
menjadi ruang politik bagi Amien untuk mengendalikan partai melalui
kepemimpinan Zulkifli. Agaknya, jalan bagi PAN untuk menjadi partai modern
dan terinstitusionalisasi baik dengan tidak bergantung pada karisma figur
tertentu masih sangat panjang.
Dominasi Amien selaku pemegang saham tunggal di PAN masih
akan berlanjut selama lima tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar