Perpecahan
Partai
Firman Noor ; Peneliti
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
REPUBLIKA,
06 Maret 2015
Perpecahan partai tengah melanda dua partai lawas, Golkar
dan PPP, yang menyebabkan hadirnya kepengurusan kembar. Jika dilihat dari
kacamata sejarah, fenomena perpecahan itu bukan hal baru, bahkan sebetulnya
telah melanda banyak partai sejak awal reformasi.
Sepintas, akar persoalan perpecahan yang dialami oleh
partai-partai itu berbeda. Namun dalam beberapa hal, penyebab perpecahan
menjadi klasik karena melibatkan faktor yang hampir sama.
Persoalan pertama yang kerap menjadi pemicu di balik
munculnya faksionalisasi adalah penafsiran akan aturan main yang tidak
seragam. Dalam sebuah momen krusial, masing-masing pihak merasa mereka yang
paling konsisten dan teguh atas konstitusi atau aturan main.
Perbedaan penafsiran itu muncul sebagai respons atau
reaksi dari manuver politik yang dianggap tidak biasa atau kontroversial. Hal
ini, misalnya, dipicu oleh upaya seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan
pendekatan politik kepada pihak tertentu, seperti saat Suryadharma Ali
menggadang-gadang Prabowo Subianto di PPP atau saat dulu Matori Abdul Jalil
mendukung pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dalam pemakzulan Gus Dur di PKB.
Pemicu lainnya adalah kebijakan memajukan atau memundurkan
pelaksanaan pergelaran politik penting, seperti saat Hamzah Haz yang
memundurkan Muktamar PPP yang memicu protes kelompok Zainuddin MZ—belakangan
membentuk PBR—atau seperti yang terjadi di Golkar saat ini, di mana persoalan
pelaksanaan waktu munas menjadi salah satu inti persoalan. Kemudian, merambat
pada kecurigaan atas motif manuver tersebut.
Di sisi lain, perbedaan penafsiran aturan main itu
merembet pada soal-soal sensitif yang mengusik legitimasi kepemimpinan partai.
Pertanyaan seperti sebesar apa kewenangan seorang ketua umum itu dapat
digunakan, apakah forum keputusan itu tepat atau tidak, adalah pertanyaan
yang kerap digunakan untuk melabeli sebuah kelompok sebagai otoriter,
oportunis, pragmatis, atau inkonstitusional yang akhirnya memanaskan situasi.
Perbedaan penafsiran ini mengindikasikan setidaknya dua
hal, yakni aturan main (atau tafsirannya) itu sendiri yang masih menyisakan
celah perdebatan dan atau tak adanya kesepahaman yang disosialisasikan secara
kontinu dan konsisten sehingga setiap kader memiliki pemahaman yang sama atas
aturan main.
Kesemua perdebatan ini sayangnya kerap tidak disalurkan
pada media penyelesaian konflik yang tepat. Sudah menjadi rahasia umum
manajemen konflik di kebanyakan partai tidak terlembaga dengan baik.
Akibatnya, banyak keputusan terkait penyelesaian konflik yang tidak disadari
oleh tahapan penyelesaian konflik tertulis yang detail, terstandardisasi, dan
dengan institusi pelaksana yang sah dan berwibawa.
Pada masa lalu, badan peradilan internal jarang secara
detail disebutkan perannya di AD/ART. Saat ini, meski situasi lebih baik,
kenyataannya walau telah disebutkan di AD/ART, kerap badan-badan peradilan
internal—apakah itu badan arbitrase, dewan syariah, atau mahkamah internal—sekadar
ada dan dalam parktiknya sarat kepentingan yang menyebabkan legitimasi dan
tingkat kepercayaan kader atas badan-badan ini rendah.
Cerita yang umum terjadi, penyelesaian konflik akhirnya
bersifat subjektif dengan semangat like-dislike. Situasi ini menyebabkan
keputusan yang ditetapkan dinilai parsial, tidak otoritatif, dan
membangkitkan ketidakpuasan. Muncul kemudian tuduhan keputusan itu tidak
didudukkan pada iktikad baik dan upaya penyelesaian yang taat prosedur. Dan
atas dasar inilah, sebuah faksi atau kelompok merasa berhak mempertahankan
eksistensinya hingga kepentingannya terwujud.
Hal lain yang menarik adalah mengapa manakala konflik
dirasa semakin tak terjembatani, sebuah faksi dapat membentuk kepengurusan
sedemikian cepat. Setiap pihak yang bertikai, baik di PPP maupun Golkar (dulu
juga PKB), mengklaim memiliki kepengurusan yang lengkap dan sah hingga di
daerah.
Penyebab mendasar adalah karena adanya “soliditas semu” di
partai-partai tersebut, yang memungkinkan kader atau simpatisan mudah sekali
direkrut mendukung kelompok tertentu dengan iming-iming pragmatis sebagai
kompensasinya.
Kerap pula terjadi manipulasi untuk mengokohkan eksistensi
kelompok. Untuk alasan ini, masing-masing kelompok yang bertikai kerap
menggunakan “kewenangannya” untuk merekrut dan mendudukkan seseorang pada
jabatan tertentu. Akibatnya, banyak orang tak dikenal yang tiba-tiba
menduduki sebuah jabatan di pengurus daerah. Di sini, jelas aturan main lagi
yang dikorbankan.
Perilaku di atas mengindikasikan elite maupun kader partai
kurang merasa terpanggil untuk mendahulukan upaya menyatukan barisan dengan
bersikap kritis atas ajakan kelompok tertentu membentuk faksi. Orientasi
politik dan loyalitas lebih ditujukan kepada figur atau kelompok dan bukan
pada partai. Sikap ini muncul sebagai hasil dari hilangnya nilai-nilai
pemersatu yang ditaati kader. Penyebab utamanya jelas, yakni tidak bekerjanya
internalisasi ideologi seiring dengan, sekali lagi, mati surinya kaderisasi.
Dengan situasi seperti ini—redupnya kaderisasi yang
berujung hilangnya soliditas dan munculnya multitafsir atas aturan main dan
juga strategi, serta pelembagaan manajemen konflik yang lemah—menyebabkan
ambisi individu, terutama mereka yang masuk kategori elite dalam partai dapat
meluas secara tidak terkontrol, menguat, dan akhirnya mendorong pertikaian
tidak sehat yang berujung pada faksionalisasi.
Dalam beberapa kasus, perpecahan partai juga semakin
kompleks dengan adanya intervensi pihak luar, baik langsung maupun tidak
langsung. Pihak luar bisa lembaga nonpemerintah, seperti serikat buruh,
pemilik modal, atau kelompok agama berpengaruh. Namun, dapat pula dari pihak
pemerintah, termasuk lembaga peradilannya.
Dalam banyak kasus di Indonesia, perpecahan parpol
diperburuk lebih oleh sikap pemerintah. Pada masa Orde Baru, pertarungan
faksi di partai diperumit kepentingan rezim untuk menanam atau memperkuat
orang-orang yang dianggap pendukung rezim. Di era Reformasi, kisruh PKB
sedikit banyak diperuncing atau diperlama dengan keputusan pengadilan yang kabur,
yang memungkinkan masing-masing pihak menafsirkan sebagai pembenaran atas
keberadaannya.
Dalam kasus PPP dan Golkar, konflik internal turut
“dimeriahkan” dengan sikap intervensionis pemerintah. Sikap pemerintah itu
menyebabkan ada pihak yang merasa mendapat angin dan sah untuk eksis. Meski
sebenarnya peluang pencarian penyelesaian atau islah belum tertutup, sikap
pemerintah yang memberi angin ini kerap meninggikan kecurigaan dan
mengentalkan pengubuan. Apalagi, tak tertutup kemungkinan adanya kepentingan
pemerintah memenangkan kelompok yang ramah rezim.
Namun, akar persoalan jelas bukan ada pada pihak
eksternal. Berbagai intervensi itu hanya memainkan peran sekunder. Dan, jelas
hal itu tidak akan muncul jika partai-partai yang bertikai sejak dini meredam dan menyelesaikan
konflik secara mandiri dengan elegan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar