Sabtu, 07 Maret 2015

Siluman Mengoyak Daulat Rakyat

Siluman Mengoyak Daulat Rakyat

Mariyadi Faqih  ;  Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
KORAN JAKARTA, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Saat  atmosfir politik  memanas dan muncul  tirani parlemen,  rakyat  paling dirugikan. Kasus DPRD DKI Jakarta melawan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi  tontonan perhelatan  para oportunis yang sibuk memikirkan kepentingan sendiri,  melupakan  rakyat.

Mereka   berani meninggalkan  (minjam istilah budayawan Kuntowijoyo)   politik berhati nurani. Mereka  menghalalkan berbagai bentuk koalisi untuk “membunuh” hak-hak rakyat lewat menyilumkan  dana  bernilai 12 triliun rupiah lebih. Ini  identik dengan menghabisi hak-hak (daulat) rakyat. Maka, masyarakat harus merapatkan barisan untuk mewujudkan oposisi guna  membangun  gerakan moral  menyadarkan para siluman.

Jika sikap politik eksklusif dan monologis para dewan berlanjut, yang paling dirugikan tentulah rakyat karena dimiskinkan. Ini terjadi karena elite politik yang mewakilinya justru terjerumus menjadi kumpulan “para siluman.”

Para koboi itu seharusnya menyadari jumlah orang miskin masih tinggi. Menurut  ukuran Bank Dunia parameter kemiskinan orang Indonesia takmampu mengeluarkan  2 dolar AS per hari. Dengan parameter ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih mencapai 59 persen atau setengah lebih dari jumlah keseluruhan penduduk.

Kalau rakyat miskin dan tertindas kelak akhirnya mengadang  “para siluman”  harus disikapi dengan kearifan dan  persuasif. Rakyat   krisis kepercayaan amanat terhadap wakilnya. Bisa saja rakyat marah.

Barangkali mereka itu sudah tidak bisa menahan desakan emosi dalam dirinya akibat (merasa) ditindas secara berlarut-larut oleh “para siluman”. Mereka merasa kehadirannya tidak dihargai oleh “parlemen” dan sengaja dijadikan obyek permainan.

Sosiolog Hurton dan Hunt  membenarkan  bahwa akar dari semua gerakan atau aksi massa  sesungguhnya karena  ketidakpuasan. Hernando de Soto menguatkan,  rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan.

Jika kemudian akibat krisis kredibilitas pada elitis “siluman”, ternyata memunculkan dan memperluas gerakan oposisi masyarakat, maka ini hanya jawaban atas sikap parlemen. Jadi, bukan masyarakat sebagai kelompok yang mengawali gerakan perlawanan tersebut.
Girand dalam Violence and Sacred (1989) mengingatkan dengan keras,   rakyat bisa marah karena  perasaan tertekan yang berlangsung secara intens dan meluas.  Bisa saja ini mendorong ke tindak yang tidak diharapkan. Kekerasan politik  sosial  bisa terjadi dan meledak secara massif karena rakyat  frustrasi akut. Penderitaan ini bisa berkaitan dengan kepentingan fundamentalnya yang dimarjinalisasikan atau diabaikan oleh para  siluman.

Ketika hak-hak rakyat  terus terancam terdegradasi,  wajar kalau mereka berusaha unjuk mempertahankan kedaulatan. Di antaranya dengan  berbagai ragam tindakan. Sikap masyarakat ini muncul karena  berkali-kali dihadapkan  pada krisis keadaban elite politik.

Rakyat tentu tidak akan diam melihat kedaulatannya dirampas. Mereka akan beraksi.  Rakyat yang hebat mampu menjaga  kedaulatannya. Mereka tidak membiarkan diri menjadi  obyek eksperimentasi para siluman.

Maka dari itu, harus dijaga jangan sampai rakyat melakukan kekerasan karena  secara signifikan   tidak puas, diperlakukan tidak adil. Mereka juga melihat  disparitas sumber pendapatan, praktik dehumanitas atau ketidakadaban  dan ketidakdemokratisasian dalam mengelola pemerintahan.

Bagi masyarakat, suguhan  elite politik bergaya “siluman” merupakan bentuk sepak terjang yang tidak egaliter, tidak adil, dan tidak bermartabat dalam mengelola pemerintahan. Masyarakat  merasa diperlakukan  secara tidak manusiawi. Para elite  tidak   tulus memperjuangkan kesejaheraan rakyat  dan demokratisasi.

Mosi

Logis ketika rakyat merasa hidupnya dalam tekanan hebat akibat kehilangan hak politik, kemudian tergiring menjatuhkan mosi tidak percaya pada para elite. Rakyat melihat kaum elite   menghancurkan demokrasi.

Kesalahan sekelompok “siluman” selain sebagai “penyulut” yang mendestruksi demokrasi, juga memperlihatkan  egoisme sektoral yang diwujudkan dengan membentuk blok diktator mayoritas. Mereka  membodohi publik dengan logika bahwa  Jakarta atau negara ini seolah milik sendiri.

Rakyat yang kian tereduksi keberdayaannya berhak  menghentikan aksi-aksi kolaborasi politik para “siluman” yang jelas-jelas tidak bernurani dan merugikan. Komunitas elitis yang mengobral arogansi koalisi harus disadarkan  agar mereka tahu bahwa  jabatan empuk yang diraihnya,  berkat dukungan suara rakyat. Warga akan melawan segala bentuk ketidakadilan, ketidakjujuran, dan ketidakamanahan. Rakyat melihat para elite pemimpin tidak bersungguh-sungguh  menegakkan demokrasi.

Ketika banyak hak rakyat  terancam  semakin hancur di masa depan  akibat ulah “para siluman” memang sudah seharusnya rakyat melawannya. Secara  yuridis, “para siluman” bisa sangat ketakutan saat ada bukti permulaaan yang mengindikasikan  sebagai pelaku penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Mereka harusnya  lebih menunjukkan ketakutannya, bilamana rakyat sudah tidak mempercayai lagi dan mengeluarkan  mosi tidak percaya kepada para elite.

Gerakan rakyat  juga bentuk check and balance  yang logis guna menyikapi kecenderungan makin mengabsolutnya “para siluman” dalam mempermainkan hak-hak rakyat. Gerakan rakyat ini diharapkan menyadarkan para elite agar kembali pada  khittah sejati demokrasi.

Gerakan kritis  menjadi jawaban atas “kondisi kritis” yang ditabur para siluman. Rakyat tidak boleh diam terus ketika di depan mata, hak-haknya terus digerogoti para siluman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar