Siluman
Mengoyak Daulat Rakyat
Mariyadi Faqih ; Doktor
Ilmu Hukum di PPS Unibraw
|
KORAN
JAKARTA, 06 Maret 2015
Saat atmosfir
politik memanas dan muncul tirani parlemen, rakyat
paling dirugikan. Kasus DPRD DKI Jakarta melawan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi
tontonan perhelatan para
oportunis yang sibuk memikirkan kepentingan sendiri, melupakan
rakyat.
Mereka berani
meninggalkan (minjam istilah budayawan
Kuntowijoyo) politik berhati nurani.
Mereka menghalalkan berbagai bentuk
koalisi untuk “membunuh” hak-hak rakyat lewat menyilumkan dana
bernilai 12 triliun rupiah lebih. Ini
identik dengan menghabisi hak-hak (daulat) rakyat. Maka, masyarakat
harus merapatkan barisan untuk mewujudkan oposisi guna membangun
gerakan moral menyadarkan para
siluman.
Jika sikap politik eksklusif dan monologis para dewan
berlanjut, yang paling dirugikan tentulah rakyat karena dimiskinkan. Ini
terjadi karena elite politik yang mewakilinya justru terjerumus menjadi
kumpulan “para siluman.”
Para koboi itu seharusnya menyadari jumlah orang miskin
masih tinggi. Menurut ukuran Bank
Dunia parameter kemiskinan orang Indonesia takmampu mengeluarkan 2 dolar AS per hari. Dengan parameter ini,
jumlah orang miskin di Indonesia masih mencapai 59 persen atau setengah lebih
dari jumlah keseluruhan penduduk.
Kalau rakyat miskin dan tertindas kelak akhirnya
mengadang “para siluman” harus disikapi dengan kearifan dan persuasif. Rakyat krisis kepercayaan amanat terhadap
wakilnya. Bisa saja rakyat marah.
Barangkali mereka itu sudah tidak bisa menahan desakan
emosi dalam dirinya akibat (merasa) ditindas secara berlarut-larut oleh “para
siluman”. Mereka merasa kehadirannya tidak dihargai oleh “parlemen” dan
sengaja dijadikan obyek permainan.
Sosiolog Hurton dan Hunt
membenarkan bahwa akar dari
semua gerakan atau aksi massa
sesungguhnya karena
ketidakpuasan. Hernando de Soto menguatkan, rasa tidak puas yang timbul dapat dengan
mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan.
Jika kemudian akibat krisis kredibilitas pada elitis
“siluman”, ternyata memunculkan dan memperluas gerakan oposisi masyarakat,
maka ini hanya jawaban atas sikap parlemen. Jadi, bukan masyarakat sebagai
kelompok yang mengawali gerakan perlawanan tersebut.
Girand dalam Violence
and Sacred (1989) mengingatkan dengan keras, rakyat bisa marah karena perasaan tertekan yang berlangsung secara
intens dan meluas. Bisa saja ini mendorong
ke tindak yang tidak diharapkan. Kekerasan politik sosial
bisa terjadi dan meledak secara massif karena rakyat frustrasi akut. Penderitaan ini bisa
berkaitan dengan kepentingan fundamentalnya yang dimarjinalisasikan atau
diabaikan oleh para siluman.
Ketika hak-hak rakyat
terus terancam terdegradasi,
wajar kalau mereka berusaha unjuk mempertahankan kedaulatan. Di
antaranya dengan berbagai ragam
tindakan. Sikap masyarakat ini muncul karena
berkali-kali dihadapkan pada
krisis keadaban elite politik.
Rakyat tentu tidak akan diam melihat kedaulatannya dirampas.
Mereka akan beraksi. Rakyat yang hebat
mampu menjaga kedaulatannya. Mereka
tidak membiarkan diri menjadi obyek
eksperimentasi para siluman.
Maka dari itu, harus dijaga jangan sampai rakyat melakukan
kekerasan karena secara
signifikan tidak puas, diperlakukan
tidak adil. Mereka juga melihat
disparitas sumber pendapatan, praktik dehumanitas atau
ketidakadaban dan
ketidakdemokratisasian dalam mengelola pemerintahan.
Bagi masyarakat, suguhan
elite politik bergaya “siluman” merupakan bentuk sepak terjang yang
tidak egaliter, tidak adil, dan tidak bermartabat dalam mengelola
pemerintahan. Masyarakat merasa
diperlakukan secara tidak manusiawi.
Para elite tidak tulus memperjuangkan kesejaheraan
rakyat dan demokratisasi.
Mosi
Logis ketika rakyat merasa hidupnya dalam tekanan hebat
akibat kehilangan hak politik, kemudian tergiring menjatuhkan mosi tidak
percaya pada para elite. Rakyat melihat kaum elite menghancurkan demokrasi.
Kesalahan sekelompok “siluman” selain sebagai “penyulut”
yang mendestruksi demokrasi, juga memperlihatkan egoisme sektoral yang diwujudkan dengan
membentuk blok diktator mayoritas. Mereka
membodohi publik dengan logika bahwa
Jakarta atau negara ini seolah milik sendiri.
Rakyat yang kian tereduksi keberdayaannya berhak menghentikan aksi-aksi kolaborasi politik
para “siluman” yang jelas-jelas tidak bernurani dan merugikan. Komunitas
elitis yang mengobral arogansi koalisi harus disadarkan agar mereka tahu bahwa jabatan empuk yang diraihnya, berkat dukungan suara rakyat. Warga akan
melawan segala bentuk ketidakadilan, ketidakjujuran, dan ketidakamanahan.
Rakyat melihat para elite pemimpin tidak bersungguh-sungguh menegakkan demokrasi.
Ketika banyak hak rakyat
terancam semakin hancur di masa
depan akibat ulah “para siluman”
memang sudah seharusnya rakyat melawannya. Secara yuridis, “para siluman” bisa sangat
ketakutan saat ada bukti permulaaan yang mengindikasikan sebagai pelaku penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power). Mereka harusnya
lebih menunjukkan ketakutannya, bilamana rakyat sudah tidak
mempercayai lagi dan mengeluarkan mosi
tidak percaya kepada para elite.
Gerakan rakyat juga
bentuk check and balance yang logis
guna menyikapi kecenderungan makin mengabsolutnya “para siluman” dalam
mempermainkan hak-hak rakyat. Gerakan rakyat ini diharapkan menyadarkan para
elite agar kembali pada khittah sejati
demokrasi.
Gerakan kritis
menjadi jawaban atas “kondisi kritis” yang ditabur para siluman.
Rakyat tidak boleh diam terus ketika di depan mata, hak-haknya terus
digerogoti para siluman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar