Rabu, 11 Maret 2015

Cara Melupakan Para Maestro

Cara Melupakan Para Maestro

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS, 08 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

DENGAN pikiran seperti apa mereka bekerja dan membangun situasi sehingga orang yang, tampaknya, biasa-biasa saja pun bisa menghasilkan karya yang bagus?

Pada 1990, Dances with Wolves yang disutradarai dan dibintangi Kevin Costner meraih Piala Oscar sebagai film terbaik dan Kevin dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Saya menonton film itu di gedung bioskop setelah membaca kabar tersebut. Itu film yang membuat saya tercengang bukan karena ia memang bagus, melainkan karena disutradarai Kevin Costner. Jika Francis Ford Coppola yang menyutradarai film tersebut, saya tidak akan tercengang. Coppola sudah membuat banyak film bagus dengan The Godfather sebagai puncaknya. Hingga sekarang, sekadar mendengar theme song film tersebut saya tetap merinding dan ingin menangis sejadi-jadinya karena film itu bagus sekali.

Namun, Kevin Costner? Sebagai aktor, dia enak ditonton meski tidak terlalu istimewa. Dia pernah mendapat Piala Oscar sebagai pemeran pembantu. Namun, saya kira, dia belum bisa disejajarkan dengan Marlon Brando, Robert de Niro, Anthony Hopkins, Meryl Streep, dan para raksasa akting yang lain. Maka, hal itulah yang mencengangkan. Rupanya, aktor yang biasa-biasa saja itu bisa juga membuat film bagus dan mendapat Oscar sebagai sutradara terbaik dengan film pertamanya.

Lima tahun kemudian, 1995, muncul lagi film yang memberi saya efek serupa, yakni Braveheart. Film itu dibintangi dan disutradarai Mel Gibson. Sama dengan Kevin Costner, si Mad Max yang di layar suka bertindak brutal dan srudak-sruduk itu ternyata bisa juga membuat film bagus. Pada tahun itu, Braveheart dinominasikan untuk sepuluh Oscar. Ia memenangi separonya, termasuk sebagai film terbaik dan Mel Gibson menjadi sutradara terbaik.

Satu lagi yang lebih mencengangkan ialah Clint Eastwood, aktor yang sepanjang hidupnya hanya membintangi film-film kacangan, yang tidak tahu cara tersenyum, dan hanya tahu cara menembak. Kena senggol sedikit, dia menembak. Merasa gatal-gatal di punggung, dia langsung mencabut pistol dan menembak. Namun, astaga!, ketika menjadi sutradara, dia ternyata menghasilkan film-film bagus yang sama sekali berbeda dari film-film kacangan yang dbintanginya. Dua filmnya memenangi Oscar sebagai film terbaik, yakni Unforgiven dan Million Dollar Baby. Dari dua film tersebut, dia juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Dua filmnya yang lain, Mystic River dan Letters from Iwo Jima, juga bagus.

Bagaimanapun, itu merupakan hal yang menyenangkan dalam kehidupan di muka bumi; selalu ada yang mengejutkan, selalu ada yang luput dari perkiraan. Ketika Madonna memerankan Eva Peron, ibu negara Argentina, dalam film musikal Evita, dia ternyata bisa membawakan dengan sempurna lagu-lagu dalam film itu, yang coraknya sungguh berbeda dari lagu-lagu yang selama ini dia bawakan.

Pada pergelaran Academy Awards 2015, kejutan itu dihadirkan Lady Gaga. Di panggung dia membawakan lagu-lagu dari film musikal The Sound of Music dengan cara yang amat bagus. Dia seperti berubah menjadi Julie Andrews, pemeran Maria, perempuan yang membawakan kegembiraan kepada anak-anak dari sebuah keluarga yang semula sangat murung. ’’Terima kasih, Lady Gaga,’’ kata Julie Andrews yang kemudian muncul di panggung, ’’kau memberiku rasa bahagia.’’

Di sana setiap orang seperti bisa membuat karya yang bagus. Bintang film kacangan pun bisa menjadi sutradara terbaik. Di sana, jika menginginkan sesuatu, seseorang rupanya mengetahui cara melakukannya sebaik mungkin. Di sana pula orang tahu bagaimana menghargai prestasi seseorang dan bagaimana menghargai karya yang bagus. Mereka pintar menyampaikan penghormatan dalam kalimat-kalimat singkat yang bagus. Saya sangat menyukai cara mereka menuturkan kalimat-kalimat pujian. Mereka bisa memuji dalam cara yang baik dan tahu pada sisi mana dia harus mengarahkan pujian.

Academy Awards tahun ini digelar sekaligus sebagai penghargaan untuk film The Sound of Music yang sudah berusia 50 tahun. Ketika menonton acara tersebut, saya menjadi sadar akan satu hal lagi bahwa masalah di negeri kita bukan hanya korupsi. Itu masalah besar kita, tentu saja. Tetapi, ada masalah-masalah lain yang, rupanya, kita abaikan selama ini. Kita tidak pernah tahu cara menghargai orang-orang yang berprestasi. Di sana, misalnya, ada Hall of Fame dan ada berbagai macam penghargaan kepada orang-orang yang telah mendedikasikan diri dalam bidang-bidang yang dia geluti.

Hall of Fame pastilah tidak ada dalam pikiran kita. Bahkan, buku-buku riwayat hidup para juara yang pernah kita miliki pun kita tidak punya. Saya selalu menganggap biografi adalah sebentuk penghargaan bagi orang-orang yang pencapaiannya layak dicatat dan dikekalkan dalam bentuk buku. Dengan begitu, orang-orang dari generasi berikutnya bisa melacak pencapaian dan belajar dari para pendahulu mereka.

Kita tidak bisa mendapatkan buku riwayat hidup Bing Slamet, Rudy Hartono, Liem Swie King, Verawaty, Elyas Pical, Chris John, Benyamin S., Ronny Paslah, dan lain-lain. Tetapi, kita memang tidak mungkin mengerjakan itu semua. Industri perbukuan kita tidak sebaik industri perbukuan di negara-negara maju yang orang-orangnya tahu cara menghargai mereka yang berprestasi. Jika ada buku biografi di rak toko buku kita, itu kebanyakan adalah buku yang didanai sendiri oleh orang yang bersangkutan.

Jejak mereka hilang hanya beberapa tahun setelah mereka mundur dan tidak mungkin lagi menggeluti dunia mereka. Dan kita melupakan mereka. Sesekali kita akan mendengar tentang mereka, para juara di masa lalu itu, ketika ada wartawan menulis berita tentang mereka. Ada yang sekarang menjadi satpam, ada yang bernasib mujur dipekerjakan sebagai mandor, atau staf administrasi perkantoran. Ada pula yang apes menjadi penarik becak karena hanya itu kecakapan yang dia miliki sebagai juara balap sepeda pada masa lalu.

Tentu saja kita susah menyelenggarakan acara semacam Academy Awards. Kita tidak memiliki gedung yang memadai untuk itu. Kita tidak memiliki pikiran ke arah sana. Kita tidak memiliki uang untuk acara-acara semacam itu.

Kita tidak melakukan sesuatu yang memungkinkan kita untuk melacak jejak para maestro yang pernah kita miliki. Kita tidak memiliki gagasan untuk menghargai orang-orang hebat yang pernah memberi kita perasaan bahagia pada masa jaya mereka.

Kita tidak memiliki kepedulian terhadap urusan-urusan ’’sepele’’: menghargai mereka yang pernah berprestasi. Jadi, sesungguhnya banyak hal yang tidak kita kerjakan. Sebab, itu semua tidak ada dalam pikiran kita. Anda tahu, kita tidak akan pernah mengerjakan apa pun yang tidak ada dalam pikiran kita.

Mal-mal megah ada di mana-mana dan yang baru akan terus tumbuh di tanah-tanah yang masih bisa dibangun. Sebab, mal megah ada dalam pikiran kita. Tetapi, bagaimana memajukan perfilman, bagaimana memajukan kesastraan, bagaimana memajukan industri perbukuan, misalnya, itu semua tidak ada dalam pikiran para pengambil kebijakan di negara ini. Jika sesuatu ada dalam pikiran, mereka akan memikirkan apa saja yang bisa kita butuhkan, langkah apa yang perlu ditempuh, dan bagaimana menyiapkan diri ke arah sana.

Memang selalu ada individu yang memiliki kepedulian. Namun, itu sangat menguras tenaga dan sering tidak tampak pengaruhnya. Upaya-upaya individu hanya akan berhasil jika negara ini sejahtera dan kebanyakan warganya sejahtera. Dalam situasi itu, setiap orang akan mampu membiayai apa saja yang diinginkan. Seseorang bisa membayar guru catur yang paling hebat di dunia dan akhirat sekiranya dia memiliki kemampuan mendatangkan guru catur tersebut dan sanggup membiayai pembelajarannya. Orang bisa mengirim anaknya ke sekolah-sekolah terbaik untuk memastikan si anak mendapatkan pendidikan yang dia kehendaki asalkan dia sanggup membayar uang sekolah.

Untuk sekarang, ketika banyak hal absen dari pikiran, kita sudah akan sangat berterima kasih sekiranya program asuransi kesehatan untuk semua warga negara berjalan baik. Dengan banyak urusan yang masih semrawut, dalam situasi yang sangat membingungkan, dan setiap hari pikiran kita dihajar oleh berita-berita kejahatan yang meningkatkan rasa cemas, serta disibukkan oleh berita-berita buruk di seputar pengelolaan negara, orang akan mudah sakit.

Karena itu, bersamaan dengan program asuransi kesehatan untuk semua warga, pemerintah mestinya memikirkan cara menambah rumah sakit umum. Tanpa penambahan rumah sakit umum, kegunaan asuransi kesehatan untuk orang miskin juga tidak akan maksimum. Sebab, rumah sakit akan terpaksa menolak pasien jika memang sudah penuh. Dan orang melarat sangat sensitif. Mereka akan merasa ditolak oleh pihak rumah sakit karena melarat.

Kalau hal itu juga tidak ada dalam pikiran, kita tidak tahu apa sebetulnya yang ada dalam pikiran para penyelenggara negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar