Cara
Melupakan Para Maestro
AS Laksana ; Sastrawan,
Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di
Indonesia
|
JAWA
POS, 08 Maret 2015
DENGAN pikiran seperti apa mereka bekerja dan membangun
situasi sehingga orang yang, tampaknya, biasa-biasa saja pun bisa
menghasilkan karya yang bagus?
Pada 1990, Dances
with Wolves yang disutradarai dan dibintangi Kevin Costner meraih Piala
Oscar sebagai film terbaik dan Kevin dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Saya
menonton film itu di gedung bioskop setelah membaca kabar tersebut. Itu film
yang membuat saya tercengang bukan karena ia memang bagus, melainkan karena
disutradarai Kevin Costner. Jika Francis Ford Coppola yang menyutradarai film
tersebut, saya tidak akan tercengang. Coppola sudah membuat banyak film bagus
dengan The Godfather sebagai
puncaknya. Hingga sekarang, sekadar mendengar theme song film tersebut saya tetap merinding dan ingin menangis
sejadi-jadinya karena film itu bagus sekali.
Namun, Kevin Costner? Sebagai aktor, dia enak ditonton
meski tidak terlalu istimewa. Dia pernah mendapat Piala Oscar sebagai pemeran
pembantu. Namun, saya kira, dia belum bisa disejajarkan dengan Marlon Brando,
Robert de Niro, Anthony Hopkins, Meryl Streep, dan para raksasa akting yang
lain. Maka, hal itulah yang mencengangkan. Rupanya, aktor yang biasa-biasa
saja itu bisa juga membuat film bagus dan mendapat Oscar sebagai sutradara
terbaik dengan film pertamanya.
Lima tahun kemudian, 1995, muncul lagi film yang memberi
saya efek serupa, yakni Braveheart. Film itu dibintangi dan disutradarai Mel
Gibson. Sama dengan Kevin Costner, si Mad Max yang di layar suka bertindak
brutal dan srudak-sruduk itu ternyata bisa juga membuat film bagus. Pada
tahun itu, Braveheart dinominasikan untuk sepuluh Oscar. Ia memenangi
separonya, termasuk sebagai film terbaik dan Mel Gibson menjadi sutradara
terbaik.
Satu lagi yang lebih mencengangkan ialah Clint Eastwood,
aktor yang sepanjang hidupnya hanya membintangi film-film kacangan, yang tidak
tahu cara tersenyum, dan hanya tahu cara menembak. Kena senggol sedikit, dia
menembak. Merasa gatal-gatal di punggung, dia langsung mencabut pistol dan
menembak. Namun, astaga!, ketika menjadi sutradara, dia ternyata menghasilkan
film-film bagus yang sama sekali berbeda dari film-film kacangan yang
dbintanginya. Dua filmnya memenangi Oscar sebagai film terbaik, yakni
Unforgiven dan Million Dollar Baby. Dari dua film tersebut, dia juga
dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Dua filmnya yang lain, Mystic River dan
Letters from Iwo Jima, juga bagus.
Bagaimanapun, itu merupakan hal yang menyenangkan dalam
kehidupan di muka bumi; selalu ada yang mengejutkan, selalu ada yang luput
dari perkiraan. Ketika Madonna memerankan Eva Peron, ibu negara Argentina,
dalam film musikal Evita, dia ternyata bisa membawakan dengan sempurna
lagu-lagu dalam film itu, yang coraknya sungguh berbeda dari lagu-lagu yang
selama ini dia bawakan.
Pada pergelaran Academy
Awards 2015, kejutan itu dihadirkan Lady Gaga. Di panggung dia membawakan
lagu-lagu dari film musikal The Sound
of Music dengan cara yang amat bagus. Dia seperti berubah menjadi Julie
Andrews, pemeran Maria, perempuan yang membawakan kegembiraan kepada
anak-anak dari sebuah keluarga yang semula sangat murung. ’’Terima kasih, Lady Gaga,’’ kata
Julie Andrews yang kemudian muncul di panggung, ’’kau memberiku rasa bahagia.’’
Di sana setiap orang seperti bisa membuat karya yang
bagus. Bintang film kacangan pun bisa menjadi sutradara terbaik. Di sana,
jika menginginkan sesuatu, seseorang rupanya mengetahui cara melakukannya
sebaik mungkin. Di sana pula orang tahu bagaimana menghargai prestasi
seseorang dan bagaimana menghargai karya yang bagus. Mereka pintar
menyampaikan penghormatan dalam kalimat-kalimat singkat yang bagus. Saya
sangat menyukai cara mereka menuturkan kalimat-kalimat pujian. Mereka bisa
memuji dalam cara yang baik dan tahu pada sisi mana dia harus mengarahkan
pujian.
Academy Awards tahun ini digelar sekaligus
sebagai penghargaan untuk film The
Sound of Music yang sudah berusia 50 tahun. Ketika menonton acara
tersebut, saya menjadi sadar akan satu hal lagi bahwa masalah di negeri kita
bukan hanya korupsi. Itu masalah besar kita, tentu saja. Tetapi, ada
masalah-masalah lain yang, rupanya, kita abaikan selama ini. Kita tidak
pernah tahu cara menghargai orang-orang yang berprestasi. Di sana, misalnya,
ada Hall of Fame dan ada berbagai
macam penghargaan kepada orang-orang yang telah mendedikasikan diri dalam
bidang-bidang yang dia geluti.
Hall of Fame pastilah tidak ada dalam pikiran
kita. Bahkan, buku-buku riwayat hidup para juara yang pernah kita miliki pun
kita tidak punya. Saya selalu menganggap biografi adalah sebentuk penghargaan
bagi orang-orang yang pencapaiannya layak dicatat dan dikekalkan dalam bentuk
buku. Dengan begitu, orang-orang dari generasi berikutnya bisa melacak
pencapaian dan belajar dari para pendahulu mereka.
Kita tidak bisa mendapatkan buku riwayat hidup Bing
Slamet, Rudy Hartono, Liem Swie King, Verawaty, Elyas Pical, Chris John,
Benyamin S., Ronny Paslah, dan lain-lain. Tetapi, kita memang tidak mungkin
mengerjakan itu semua. Industri perbukuan kita tidak sebaik industri
perbukuan di negara-negara maju yang orang-orangnya tahu cara menghargai
mereka yang berprestasi. Jika ada buku biografi di rak toko buku kita, itu
kebanyakan adalah buku yang didanai sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Jejak mereka hilang hanya beberapa tahun setelah mereka
mundur dan tidak mungkin lagi menggeluti dunia mereka. Dan kita melupakan
mereka. Sesekali kita akan mendengar tentang mereka, para juara di masa lalu
itu, ketika ada wartawan menulis berita tentang mereka. Ada yang sekarang
menjadi satpam, ada yang bernasib mujur dipekerjakan sebagai mandor, atau
staf administrasi perkantoran. Ada pula yang apes menjadi penarik becak
karena hanya itu kecakapan yang dia miliki sebagai juara balap sepeda pada
masa lalu.
Tentu saja kita susah menyelenggarakan acara semacam
Academy Awards. Kita tidak memiliki gedung yang memadai untuk itu. Kita tidak
memiliki pikiran ke arah sana. Kita tidak memiliki uang untuk acara-acara
semacam itu.
Kita tidak melakukan sesuatu yang memungkinkan kita untuk
melacak jejak para maestro yang pernah kita miliki. Kita tidak memiliki
gagasan untuk menghargai orang-orang hebat yang pernah memberi kita perasaan
bahagia pada masa jaya mereka.
Kita tidak memiliki kepedulian terhadap urusan-urusan
’’sepele’’: menghargai mereka yang pernah berprestasi. Jadi, sesungguhnya
banyak hal yang tidak kita kerjakan. Sebab, itu semua tidak ada dalam pikiran
kita. Anda tahu, kita tidak akan pernah mengerjakan apa pun yang tidak ada
dalam pikiran kita.
Mal-mal megah ada di mana-mana dan yang baru akan terus
tumbuh di tanah-tanah yang masih bisa dibangun. Sebab, mal megah ada dalam
pikiran kita. Tetapi, bagaimana memajukan perfilman, bagaimana memajukan
kesastraan, bagaimana memajukan industri perbukuan, misalnya, itu semua tidak
ada dalam pikiran para pengambil kebijakan di negara ini. Jika sesuatu ada
dalam pikiran, mereka akan memikirkan apa saja yang bisa kita butuhkan,
langkah apa yang perlu ditempuh, dan bagaimana menyiapkan diri ke arah sana.
Memang selalu ada individu yang memiliki kepedulian.
Namun, itu sangat menguras tenaga dan sering tidak tampak pengaruhnya.
Upaya-upaya individu hanya akan berhasil jika negara ini sejahtera dan
kebanyakan warganya sejahtera. Dalam situasi itu, setiap orang akan mampu
membiayai apa saja yang diinginkan. Seseorang bisa membayar guru catur yang
paling hebat di dunia dan akhirat sekiranya dia memiliki kemampuan mendatangkan
guru catur tersebut dan sanggup membiayai pembelajarannya. Orang bisa
mengirim anaknya ke sekolah-sekolah terbaik untuk memastikan si anak
mendapatkan pendidikan yang dia kehendaki asalkan dia sanggup membayar uang
sekolah.
Untuk sekarang, ketika banyak hal absen dari pikiran, kita
sudah akan sangat berterima kasih sekiranya program asuransi kesehatan untuk
semua warga negara berjalan baik. Dengan banyak urusan yang masih semrawut,
dalam situasi yang sangat membingungkan, dan setiap hari pikiran kita dihajar
oleh berita-berita kejahatan yang meningkatkan rasa cemas, serta disibukkan
oleh berita-berita buruk di seputar pengelolaan negara, orang akan mudah
sakit.
Karena itu, bersamaan dengan program asuransi kesehatan
untuk semua warga, pemerintah mestinya memikirkan cara menambah rumah sakit
umum. Tanpa penambahan rumah sakit umum, kegunaan asuransi kesehatan untuk
orang miskin juga tidak akan maksimum. Sebab, rumah sakit akan terpaksa
menolak pasien jika memang sudah penuh. Dan orang melarat sangat sensitif.
Mereka akan merasa ditolak oleh pihak rumah sakit karena melarat.
Kalau hal itu juga tidak ada dalam pikiran, kita tidak
tahu apa sebetulnya yang ada dalam pikiran para penyelenggara negara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar