Gagalnya
Institusi Swasembada Beras
MT Felix Sitorus ; Praktisi Agrobisnis
dan Peneliti Sosial Independen
|
JAWA
POS, 10 Maret 2015
KRISIS beras yang berakibat lonjakan harga sampai 30
persen di pasaran dalam sebulan terakhir menimbulkan pertanyaan apakah
pemerintahan Jokowi sungguh-sungguh bekerja. Sebab, data pangan beras
nasional 2014 menunjukkan surplus 5,5 juta ton.
Perhitungannya, menurut data BPS (Aram II), total produksi
padi 2014 mencapai 70,6 juta ton GKP atau setara 44,3 juta ton beras.
Misalnya ramalan BPS meleset 10 persen, produksi riil beras adalah 39,9 juta
ton. Dengan jumlah penduduk 247,4 juta jiwa, total konsumsi 2014 adalah 34,4
juta ton (asumsi 139 kg/kapita), masih sisa 5,5 juta ton per awal Januari
2014.
Jika surplus 2014 ditambahi produksi 4,4 juta ton beras
pada Januari–Februari 2015, total persediaan beras kita mencapai 9,9 juta
ton. Kebutuhan konsumsi per bulan adalah 2,9 juta ton. Dengan demikian,
sampai akhir Februari 2015, semestinya masih ada persediaan sekitar 5,5 juta
ton beras, termasuk 1,4 juta ton stok Bulog.
Jadi, pertanyaannya, apa penyebab kelangkaan beras di
pasaran dan langkah apa yang sebaiknya ditempuh guna mengatasi?
Kegagalan Pemerintah
Menuding mafia beras sebagai biang kelangkaan dan lonjakan
harga beras, seperti sinyalemen Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, adalah
ibarat ’’buruk rupa cermin dibelah’’. Tudingan semacam itu adalah
pengingkaran atas kegagalan pemerintah menjamin swasembada beras.
Mungkin benar ada kekuatan ’’kartel’’ yang mengatur suplai
dan harga beras di pasaran. Demi mengejar keuntungan atau memaksakan impor,
kekuatan itu memanfaatkan perpanjangan masa paceklik untuk merekayasa
kelangkaan beras di pasaran. Tapi, hal itu tidak bisa disalahkan. Sebab,
begitulah moralitas saudagar.
Justru sebaliknya, pemerintah harus disalahkan. Khususnya
Kemenko Perekonomian yang mengoordinasi kementerian-kementerian terkait
dengan swasembada beras. Kementerian itu telah gagal mengendalikan stabilitas
pasar. Akibatnya, terbukalah ruang bagi ’’kartel’’ untuk mengatur suplai dan
harga beras di pasaran.
Ceritanya akan lain jika sejak dini Kemenko Perekonomian
sudah mengantisipasi perilaku pasar beras. Lalu, secara cepat dan tepat
mengambil langkah pencegahan krisis beras. Wapres Jusuf Kalla dan bahkan
Presiden Joko Widodo tentu tidak perlu turun lapangan memimpin operasi pasar
(OP) dan raskin besar-besaran.
Bagaimanapun, OP dan raskin besar-besaran semestinya
bukanlah pilihan. Langkah itu tidak lebih dari cermin kegagalan pemerintah
dalam mengendalikan stabilitas pasar beras. Langkah kuratif seperti itu jelas
anti-revolusi mental. Pilihan paling efisien dan efektif seharusnya adalah
langkah preventif. Tentu setelah mengetahui penyebab utama krisis beras di
pasaran.
Revitalisasi Institusi
Tidak diragukan lagi, penyebab utama krisis beras bulan
lalu tidak lain adalah kegagalan kerja institusi swasembada beras nasional.
Institusi itu dibentuk Presiden Megawati pada 2001 (Inpres No 9/2001 dan No
9/2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan). Dia mengintegrasikan
fungsi-fungsi swasembada beras di sejumlah kementerian/badan pemerintah.
Subsistem produksi, distribusi, sampai konsumsi dipadukan menjadi sebuah
sistem pengelolaan stabilitas perberasan nasional.
Sistem tersebut menjamin peningkatan produktivitas dan
produksi beras melalui dukungan teknologi budi daya (Kementan), irigasi (PU),
sarana produksi padi/saprodi (BUMN pertanian), pembiayaan (BUMN perbankan),
serta pasar (Bulog). Lalu, distribusi dan pasar beras yang stabil didukung
pembatasan impor (Kemendag), stok beras yang optimal (Bulog), dan
langkah-langkah preventif untuk stabilisasi harga pasaran (Bulog). Sementara
itu, kecukupan konsumsi yang merata secara nasional dijamin Kemendag dan
Bulog melalui operasi pasar khusus (OPK)/raskin.
Kinerja positif institusi swasembada beras itu pernah
terbukti. Pada 2007–2008, institusi tersebut mampu meningkatkan (rata-rata
5,4 persen) produksi sekaligus menstabilkan pasar beras sehingga Indonesia
selamat dari krisis pangan dunia 2008.
Disayangkan, sejak pemerintahan Presiden SBY hingga
sekarang, institusi itu ’’mati suri’’. Berbagai kementerian/badan pemerintah
terkait dengan swasembada beras lalu berjalan sendiri-sendiri, sibuk dengan
ego sektoral masing-masing. Akibatnya, krisis beras terjadi di pasaran.
Jadi, setelah kehebohan OP/raskin, saatnya pemerintahan
Jokowi mengambil langkah mendasar, yaitu revitalisasi institusi swasembada
beras tersebut. Untuk itu, sekurangnya tiga langkah mendasar perlu segera
dilakukan.
Pertama, merevisi Inpres No 9/2001 dan No 9/2002 agar
relevan dengan konteks ekonomi dan politik sekarang. Khususnya terkait dengan
perubahan rezim pangan dari rezim ketahanan menjadi rezim kedaulatan. Juga,
terkait dengan perubahan postur dan nomenklatur kabinet pemerintah. Harus dipastikan,
visi inpres revisi itu adalah ’’kedaulatan pangan’’ yang harus diwujudkan
melalui pendekatan lintas sektoral.
Kedua, membentuk konsorsium swasembada beras (KSB) yang
menjalin sinergi fungsi-fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi beras yang
bersifat lintas sektoral. Fungsi produksi melibatkan Kementerian Pertanian
(teknologi budi daya); PU (pengairan); BUMN (benih, pupuk, dan pembiayaan);
koperasi dan UKM (distribusi sarana produksi pertanian/saprotan); serta
pedesaan (bumdes untuk distribusi saprotan). Juga, melibatkan Kemenkominfo,
BPS, dan Lapan untuk peramalan produksi.
Fungsi distribusi melibatkan Kementerian Perdagangan
(pengendalian impor, pemerataan antardaerah/wilayah, dan pengendalian pelaku
pasar) serta BUMN/Bulog (stabilisasi suplai dan harga). Fungsi konsumsi
melibatkan Kementerian Sosial (target grup raskin), pedesaan (penyaluran
raskin melalui bumdes), dan Bulog (distribusi raskin).
Karena bersifat lintas sektoral, KSB selayaknya langsung
berada di bawah kendali Wapres. Dengan begitu, konsorsium memiliki kewenangan
yang kuat untuk menggerakkan kementerian/badan pemerintah dalam mewujudkan
swasembada beras.
Ketiga, segera membangun dan menerapkan sistem kewaspadaan
pangan nasional (SKPN), khususnya pangan beras. Termasuk menegakkan sistem
isyarat dini (SIDI) untuk mendeteksi potensi kelangkaan beras di tingkat
lokal dan nasional. Itu perlu dilakukan sebagai acuan bagi tindakan preventif
terhadap upaya-upaya destabilisasi pasar beras.
Dengan tiga langkah revitalisasi institusi swasembada
beras tersebut, pengulangan krisis pasar beras yang menguras energi sosial,
ekonomi, dan politik seperti sekarang ini niscaya bisa dihindarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar