Kotak
Pandora Kisruh RAPBD DKI Jakarta
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
10 Maret 2015
Mencermati berbagai laporan media tentang anggaran siluman
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta tahun 2015,
benar-benar membuat miris dan bulu kuduk merinding. Kecanggihan kejahatan
kerah putih dilakukan dengan tindak-tanduk serta wacana publik sarat dengan
simulacra. Perilaku lemah lembut hanya merupakan bagian dari simulacra
politik (kepura-puraan politik) atau politik simulacra (kebijakan
berpura-pura baik kepada rakyat) yang sempurna. Kebijakan yang memanipulasi
kenyataan serta mengemas diskursus publik dengan mengutamakan pencitraan
tanpa refleksi dan substansi.
Kesantunan tidak berkorelasi dengan kejujuran, tetapi sebaliknya,
kesantunan berkelindan dengan perbuatan durhaka. Mungkin inilah yang
menyebabkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama muak terhadap kesantunan
palsu sehingga dia mencoba mengimbangi atau menetralisasi dengan bicara
galak, tetapi kelakuan lurus. Kekesalan Basuki mirip dengan politisi
Australia, Don Chipp, Ketua Australian Democrats. Karena rasa jengkel
terhadap kepalsuan lawan politiknya, ia menulis buku Keeping The Bastards Honest’ 1997 (John Warhurst, Editor).
Namun, iklim keterbukaan telah berhasil menelanjangi oknum
penyusup anggaran siluman dengan gamblang, nyaris tidak terbantahkan.
Khususnya laporan investigasi yang membongkar mulai dari tingkat
penggelembungan harga, perusahaan abal-abal, sampai caci maki orang-orang
yang seharusnya dapat menjaga martabatnya (obligation of nobility). Misalnya, pengakuan Wakil Ketua DPRD DKI
Ferrial Sofyan membeberkan praktik titipan pokok pikiran dalam penyusunan
(RAPBD) DKI. Ia menegaskan penyusunan APBD tak pernah bermasalah sejak
kepemimpinannya di Kebon Sirih atau dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir
ini. Setiap program yang diajukan anggota Dewan selalu dapat diakomodasi
Pemerintah Provinsi DKI (Kompas.com,
6/3; majalah Tempo edisi 9-15 Maret 2015).
Pengakuan jujur tersebut merupakan simtom bahwa kejahatan
korupsi politik mungkin sekali merambah di seluruh peme- rintah daerah,
bahkan tidak mustahil terjadi pula di pemerintah pusat. Sindrom itu juga
menengarai lunglainya kedigdayaan putusan MK No 35/PUU-XI/2013 yang
membatalkan kewenangan membahas anggaran sampai satuan tiga (kegiatan dan
jenis belanja) pada UU No 17 Tahun 2013 Pasal 15 Ayat 5.
Sementara itu, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 11 Juni
2014 memberikan pedoman yang jelas. Pertama, larangan DPRD membahas APBD yang
sudah diparipurnakan di tingkat komisi sampai satuan tiga. Kedua, melarang
lobi-lobi antara DPRD dan SKPD (satuan kerja pemerintah daerah). Oleh karena
itu, Kemendagri harus benar-benar serius menyelesaikan kekisruhan ini.
Terlebih, kendali desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
dilakukan Kemendagri dalam dua hal: pengawasan anggaran dan kebijakan tata
ruang.
Perseteruan Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD telah membuka
kotak pandora yang membongkar perilaku tidak terpuji sebagian pejabat publik.
Bahkan, kotak ajaib mengungkapkan gejala yang lebih menakutkan, yaitu niat
baik politik para pengambil keputusan yang diragukan. Kasus anggaran siluman
sangat gamblang memberikan fakta kepada publik. Kalau sebagian kalangan
mempersoalkan dari segi hukum tidak terbukti, tetapi kalau dari perspektif
politik, atau lebih tepatnya niat baik politik, perilaku mereka yang kurang
terpuji sulit dibantah.
Perspektif politik ini jauh lebih penting dalam negara di
mana praktik penegakan hukum lebih banyak didasarkan pada penafsiran bunyi
pasal daripada dimensi keadilan.
Maka, rakyat harus bergerak dan memberikan dukungan kepada
kebijakan yang memihak rakyat. Publik harus semakin sadar bahwa lembaga
perwakilan bukan institusi yang mengabsorbsi habis kedaulatan rakyat. Wakil
rakyat hanya mendapatkan sebagian dari kedaulatan rakyat. Rakyat tetap
berdaulat penuh sehingga rakyat mempunyai otoritas mengoreksi perilaku wakil
rakyat yang menyimpang dari harapan publik. Pemahaman yang menganggap lembaga
perwakilan rakyat menyedot habis kedaulatan rakyat akan mereduksi demokrasi.
Opini publik dan kekuatan masyarakat sipil harus mengoreksi sesat pikir
tersebut.
Momentum kekisruhan penyusunan RAPBD DKI harus diambil
hikmahnya. Penyebab utamanya adalah dominasi kapital dalam kompetisi mengisi
jabatan publik. Akibatnya, kader-kader parpol yang menduduki jabatan publik
harus mencari dana untuk menggerakkan mesin partainya.
Kebijakan selama ini tidak masuk akal. Anggaran negara
untuk parpol hanya sebesar jumlah pemilih dikalikan Rp 108 (seratus delapan rupiah).
Sensus Politik yang dilakukan CSIS bersama Cyrus Network bulan Februari 2015,
dalam kasus Partai Amanat Nasional, sekitar 85 persen DPD kabupaten/kota per
bulan mengeluarkan dana Rp 1 juta sampai Rp 10 juta.
Temuan ini dapat dijadikan dasar melakukan ekstrapolasi
kebutuhan anggaran partai politik yang lebih wajar. Oleh karena itu, perlu
dipikirkan kemungkinan pembiayaan partai oleh negara. Tentu disertai dengan
tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, misalnya melalui
e-budgeting. Dengan demikian, kebijakan anggaran lebih terkontrol serta dapat
juga memitigasi peran modal dalam kehidupan politik Indonesia. Namun, rakyat
juga harus melek anggaran, karena tansparansi, tetapi buta anggaran, tidak
banyak manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar