Hukum
di Mata Asyani dan Harso
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
20 Maret 2015
Sebuah
ironi sekaligus tragedi hukum yang terjadi untuk kesekian kalinya di negeri
yang salah satu sila dari dasar negaranya ingin mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, ketika Asyani, seorang nenek tua renta di
Situbondo, dan kakek Harso Taruno di Gunung Kidul harus menghadapi jeruji
besi sebagai buah kriminalisasi.
Nenek
Asyani adalah rakyat kecil berusia 63 tahun dan harus menghadapi tuduhan
pencurian tujuh batang kayu jati di lahan milik Perhutani. Ia ditahan sejak
15 Desember 2014 dan baru beberapa hari silam memperoleh penangguhan
penahanan setelah sering sakit-sakitan di dalam tahanan serta permohonan
penangguhan penahanan yang diajukan kuasa hukumnya ditolak pengadilan.
Kasus
ini sejatinya telah terjadi lima tahun silam, tetapi baru dilaporkan
Perhutani pada Agustus 2014. Saat ini, kasus Asyani sedang disidangkan di
Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur.
Kasus
yang nyaris serupa dialami Harso Taruno, seorang kakek 65 tahun di Kabupaten
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sang kakek tersebut juga harus
menghadapi kriminalisasi karena didakwa merusak hutan konservasi di Hutan
Suaka Margasatwa Paliyan. Kejadian itu bermula saat dia pergi ke ladang dan
melihat ada sebatang kayu jati tergeletak di atas lahan yang ia sewa itu.
Kemudian,
Harso berniat menyingkirkan kayu itu. Namun, karena kesulitan dalam
menyingkirkan kayu, dia memutuskan untuk memotong kayu itu menjadi tiga
bagian. Bermula dari hal tersebut, sang kakek dijerat dengan Pasal 12 C
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Milik BKSDA Yogyakarta juncto Pasal 82 Ayat (1) huruf C UU No
18/2013. Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menuntut Harso dengan ancaman
hukuman 2 bulan penjara dan denda Rp 400.000.
Tragedi hukum
Hukum
dalam kedua kasus tersebut telah dilucuti dari hakikat eksistensialnya
sebagai pemberi keadilan dan telah menjelma tak lebih dari sekadar alat
kekerasan penguasa terhadap rakyat yang tidak berdaya. Di satu sisi negara
sibuk mencari pembenaran untuk memberikan remisi terhadap para koruptor kakap
yang telah dihukum penjara karena kejahatan strukturalnya yang merugikan
keuangan negara serta sibuk mengkriminalisasikan pimpinan dan penyidik KPK
serta aktivis anti korupsi.
Di
sisi lain, negara justru abai mewujudkan janjinya untuk memberikan keadilan
sosial bagi rakyatnya. Jika konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin
dipelihara oleh negara, yang terjadi justru negara sibuk memenjarakan fakir
miskin, di saat hukum didominasi oleh rasionalitas instrumental.
Sejatinya,
tragedi hukum yang dialami sang nenek dan kakek di atas justru memperlihatkan
cara berpikir dogmatis. Cara berpikir tersebut telah memenjarakan akal sang
penegak hukum sendiri meskipun secara lahiriah terlihat kedua warga negara
papa tersebut yang mendekam dibui, di saat ia menggunakan hukum menjadi alat
kekerasan yang kejam dan tajam menghunjam ke bawah, tetapi tumpul berhadapan
dengan kuasa.
Dalam
pandangan filsuf Hannah Arendt, tragedi kriminalisasi yang dilakukan sang
penegak hukum terhadap Asyani dan Harso tersebut diibaratkan algojo yang
telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan tercabut dari realitasnya.
Ketidakmampuan
sang algojo untuk melakukan refleksi moral tersebut merupakan sebuah
”kejahatan radikal” melalui strategi dehumanisasi menggunakan teknik yang
menyebabkan ketakutan dan penderitaan permanen yang digambarkan Arendt
sebagai ”banalitas kejahatan struktural”.
Seharusnya,
hukum yang merefleksikan cita hukum (rechtsidee)
Pancasila dengan salah satu silanya bersendikan kemanusiaan yang adil dan
beradab mampu mengukuhkan humanitas, bukan justru merayakan dehumanisasi
ketika hukum hanya menjadi mesin yang mereproduksi kekerasan. Kasus
kriminalisasi Asyani dan Harso telah kesekian kalinya menjadi pertanda
matinya hukum sebagai alat keadilan di tangan sang penegak hukum.
Di
mana keadilan harus dicari jika palu keadilan sang hakim tak lagi mewartakan
keadilan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar