Mendengar
Suara Papua
Atmakusumah Astraatmadja ; Pengamat
Pers;
Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Jakarta
|
KOMPAS,
09 Maret 2015
Kurang dari satu setengah bulan sejak Presiden Joko Widodo
menganjurkan agar rakyat Papua ”didengarkan dan diajak bicara,” harian
”Sydney Morning Herald” yang berpengaruh di Australia, memuat laporan Michael
Bachelard, ”High tension in Papua and
West Papua.”
Selama beberapa dasawarsa terakhir, Bachelard seorang dari
sangat sedikit wartawan dan akademisi peneliti dari luar negeri yang mendapat
visa bekerja untuk melakukan penelitian atau peliputan pers di pulau paling
timur Indonesia itu.
Namun, Human Rights
Watch, lembaga internasional pengamat hak asasi manusia yang berpusat di
New York, mencatat bahwa Joko Widodo telah berkomitmen untuk mencabut
pembatasan peliputan oleh pers asing di Papua. Komitmen ini dikemukakan dalam
kampanye pemilihan presiden tahun 2014.
Wartawan media Australia itu berkelana di pegunungan Papua
Barat ”untuk mencari kisah yang lebih mendalam di kawasan yang terpencil dan
indah ini”.
”Saya ingin menguji komentar
Presiden Joko (Jokowi) Widodo yang disampaikan kepada saya, bahwa kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur ekonomi yang lebih baik akan mengurangi agitasi
menjadi negara Papua merdeka,” demikian bagian dari laporannya yang dimuat pada edisi 7
Februari 2015.
Ia tidak menguraikan, apakah wartawan asing yang akan
meliput di Papua masih sesulit yang diceritakan Andreas Harsono, peneliti
Human Rights Watch, dalam wawancara bulan Desember 2014. Menurut Andreas,
wartawan internasional yang berniat meliput di Papua harus mendapat
persetujuan dari 18 instansi clearing house di Kementerian Luar Negeri,
termasuk izin dari Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis.
Bachelard hanya mengatakan, Kemlu mengingatkan bahwa ia
tidak boleh mencari kelompok masyarakat yang mendukung kemerdekaan. Tetapi,
ternyata merekalah yang mencari wartawan itu.
Selama ini, sedikit sekali yang kita ketahui tentang
situasi di Papua karena sangat terbatasnya informasi faktual yang
mendalam—baik dari pemberitaan pers internasional maupun dari pers Indonesia.
Pemberitaan menyebar luas paling ketika petugas keamanan Indonesia menewaskan
warga sipil, kata Bachelard.
Akan tetapi, dalam peliputannya di pegunungan Papua Barat
itu, masalah yang ditemukan lebih kompleks. Menurut pengamatannya, ”ancaman paling penting bagi penduduk
Papua agaknya bukanlah berasal dari moncong senjata Indonesia, melainkan dari
kaum elite yang kleptokratik di kalangan suku Papua itu sendiri.” Mereka,
katanya, menyalahgunakan anggaran ”yang
dengan sembrono disalurkan oleh (pemerintah pusat di) Jakarta.”
Seorang birokrat senior di Wamena berkata blak-blakan, ”Saya khawatir, dalam waktu 5-10 tahun,
semua bupati di Papua masuk penjara.”
Pelayanan terbengkalai
Dalam Perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember
2014, Presiden Joko Widodo mengatakan: ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan,
diajak bicara.” Mereka ”tidak hanya membutuhkan layanan kesehatan, layanan
pendidikan, dan pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja.”
Dalam pengamatan Bachelard, pelayanan dasar dari
pemerintah itu ternyata sangat menyedihkan karena terbengkalai.
Misalnya, suatu kabupaten dengan angka HIV/AIDS tinggi,
memiliki banyak gedung untuk pelayanan kesehatan. Peta yang terpampang di
dinding menunjukkan ada 25 gedung. Namun, hanya tiga gedung yang
masing-masing mempunyai seorang dokter berpraktik di klinik itu. Agaknya
gedung-gedung baru ini dibangun bukan karena tujuan yang mendesak, melainkan
untuk memenuhi kontrak kongkalikong antara para pejabat dan kelompok
marganya.
Contoh lain, sebuah desa membanggakan satu sekolah dasar
dan satu sekolah menengah pertama. Keduanya adalah sekolah negeri, yang
kabarnya memiliki sembilan guru dengan gaji sebagai pegawai tetap. Tetapi,
tidak seorang pun dari para guru itu pernah datang ke sekolah.
Di desa itu juga ada gedung untuk pelayanan kesehatan,
yang tampaknya belum lama dibangun. Kepala klinik itu seorang pria dari desa
setempat dan memperoleh gaji dari pemerintah, Namun, ia tinggal di kota yang
jaraknya jauh dari desa. Ia tidak pernah muncul untuk meresmikan pusat
kesehatan ini.
Memang, ada warga yang takut bila Papua terlepas dari
Indonesia sebagai negara merdeka yang mereka impikan. Mereka khawatir bahwa
para pemimpin dari kalangan penduduk asli akan mengatur kekuasaan
pemerintahan, seperti berlaku pada adat kesukuan. Mereka masih percaya pada
takhayul dan terpecah belah oleh topografi, bahasa, dan permusuhan sejak
dahulu.
”Dengan kemerdekaan, kami akan mengalami Perang Dunia
III,” kata seorang kepala sekolah yang sebenarnya menginginkan kemerdekaan.
”Kami akan saling berkelahi, saling membenci. Kami akan mempunyai 25 negara
di satu pulau,” katanya.
Akan tetapi, keadaan tata pemerintahan di Papua dewasa
ini—yang dibiarkan tidak terkelola dengan baik—menimbulkan pendapat bahwa
situasi akan membaik bila Papua menjadi negara merdeka. Menurut Bachelard,
suara di pegunungan Papua yang menyerukan kemerdekaan sekarang semakin
nyaring.
Pers kita hanya menonton
Agak panjang saya mengutip laporan wartawan Sydney Morning Herald tentang
kegelisahan dan gejolak masyarakat di pegunungan Papua Barat, karena tidak
seluruh hasil pengamatannya pernah terungkap dalam arus informasi pers kita.
Sebenarnya, informasi yang diperoleh
Bachelard sudah sama-sama diketahui wartawan Indonesia di Papua, tetapi tidak
pernah diungkapkan media karena keterbatasan kebebasan pers di negeri ini.
Ketika kita kian percaya bahwa kebebasan pers,
berpendapat, dan berekspresi sangat penting untuk menegakkan demokrasi dan
mendorong kemajuan, maka pers kita perlu memperluas peliputan mendalam.
Terutama di wilayah yang selama ini dianggap sensitif, seperti Papua—yang
peliputan pemberitaannya sudah setengah abad dibatasi.
Dengan demikian, publik kita—pembaca, pendengar, dan
penonton media komunikasi massa—memperoleh haknya berupa informasi yang
mungkin penting dalam memajukan kehidupan dan kesejahteraan mereka.
Perlu
juga kita dengarkan pendapat teman saya, seorang wartawan senior dan pemilik
surat kabar, tentang kelangkaan pemberitaan masalah-masalah kritis dari Papua
dalam pers kita.
Menurut pendapat dia, hambatan bagi peliputan pers di kedua provinsi paling
timur itu bukan hanya berupa tekanan dari para pejabat setempat—yang
mempersulit verifikasi fakta yang diperoleh wartawan—melainkan juga biaya.
Dalam pengalamannya, mengirim wartawan dari luar Papua untuk meliput wilayah
itu juga memerlukan anggaran tinggi dan waktu lama karena letak pulau itu
jauh dari kebanyakan pulau di negeri kita.
Selain itu, ada kekhawatiran karena dalam pengamatannya
pers kita sedang mengalami kecenderungan (tren) menggemari talk show bersama
elite politik dan elite LSM—yang mau bolak-balik menjadi pembicara. Dalam
kegiatan ini, para wartawan hanya berperan sebagai penanya—bahkan sekadar
penonton.
Bahkan dengan kata lain, menurut teman saya yang lain,
seorang pengamat pers dan wartawan senior pula, pers kita sekarang lebih
reaktif daripada kreatif. Maksudnya ialah bahwa pers kita lebih banyak
menunggu untuk meliput masalah atau peristiwa yang sudah terjadi, bukan
membangun program yang ”pre-emptive”—melacak
dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang masih tersembunyi di balik layar.
Akan tetapi, kecenderungan apa pun yang sedang terjadi
dengan pers kita kini, para pengelola media tentunya tidak melupakan
kandungan idealisme pers—untuk selalu mendorong perbaikan dan kemajuan dalam
segala bidang.
Terkait situasi di Papua, pers dapat dengan intens
mendorong penyempurnaan tata pemerintahan di kedua provinsi dan tidak
membedakan perlakuan terhadap warga di pulau itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar